Ini merupakan hasil riset para peneliti dari University of Chicago dan Universitu of Notre Dame.
Angka kemiskinan di negara itu turun 2,2 persentase poin pada bulan April dan Mei 2020.
Dilansir dari FOX Business, Selasa (23/6/2020), angka kemiskinan turun dari 10,9 persen pada Januari dan Februari 2020 menjadi 8,6 persen pada April dan Mei 2020.
Hal ini berdasarkan analisis data dari survei rumah tangga Biro Sensus AS.
"Anda bisa bertanya-tanya, bagaimana mungkin? Jawabannya adalah stimulus, suplemen tunjangan pengangguran, dan perluasan tunjangan pengangguran bagi warga yang sebelumnya tidak ditanggung," kata periset Bruce Meyer yang mengajar kebijakan publik di University of Chicago.
Sesuai dengan undang-undang CARES, pemerintah federal mengirim bantuan tunai hingga 1.200 dollar AS atau setara sekira Rp17 juta (kurs Rp 14.200 per dollar AS) kepada warga yang penghasilannya kurang dari 75.000 dollar AS per tahun atau setara sekira Rp1 miliar.
Adapun tunjangan pengangguran diberikan sebesar 600 dollar AS per minggu atau sekitar Rp 8,5 juta.
"Ini tidak berarti tidak ada warga yang penghasilannya turun dramatis di tengah pandemi ini. Lebih banyak warga yang penghasilannya bertambah ketimbang berkurang," kata Meyer.
Pada April 2020, angka pengangguran AS mencapai level tertinggi sejak Depresi Besar, yakni 14,7 persen.
Hingga kini pun angka pengangguran AS tetap dua digit. Akan tetapi, menurut para peneliti tersebut, angka kemiskinan menurun di semua kelompok usia.
Baca: Krisis Baru Amerika Serikat, Sejumlah Petugas Polisi Mengundurkan Diri Setelah Kematian George Floyd
Baca: Penerbitan Buku John Bolton Buat Donald Trump Geram, Menlu AS: Pengkhianat Perusak Amerika
"Ini menjadi masuk akal unruk memberikan bantuan yang lebih terarah bagi warga yang sangat mengalami kesulitan, yakni pengangguran. Perluasan tunjangan pengangguran saat ini dilakukan secara berantakan, menurut saya, marena direktur tunjangan pengangguran di negara bagian mengatakan tidak bisa menghitung suplemen tunjangan sebagsi bagian dari penghasilan sebelumnya," papar Meyer.
Para peneliti juga menyatakan tidak ada perbedaan berarti dalam penurunan kemiskinan di antara negara-negara bagian yang menerapkan keadaan darurat atau kebijakan karantina di rumah lebih dulu atau belakangan.
Banyak negara menyoroti kerusuhan dan kekacauan yang terjadi di Amerika Serikat belakangan ini.
Insiden kematian George Floyd memicu banyak demonstrasi di negeri Paman Sam tersebut.
Namun, diberitakan oleh Jerusalem Post, sejumlah negara tampak 'happy' atau "merayakan" dengan peristiwa itu.
Pada hari Senin (1/6/2020), misalnya, media Iran banyak memberitakan sejumlah kisah yang menyoroti "keruntuhan" AS dengan mengutip sumber-sumber dari Rusia.
Mengutip Jerusalem Post, AS menjadi negara paling kuat di dunia setelah Uni Soviet dan negara-negara sekutunya hancur berantakan pada tahun 1989.
Namun, Rusia, China, Iran, dan Turki berusaha untuk bekerja sama lebih erat dan sering duduk di forum global yang tidak dihadiri AS.
Disebutkan, demi mengoordinasikan upaya melawan AS, negara-negara ini memiliki media pemerintah yang didanai dengan baik, seperti RT, TRT, Tasnim and Fars News Iran dan sejumlah media Tiongkok.
Kebijakan negara-negara ini adalah perlahan-lahan merusak AS dan menunggu saat-saat kelemahan AS untuk mendorong agenda mereka.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan pernyataan baru-baru ini terkait kerusuhan di AS, dengan mengatakan bahwa Amerika adalah bagian dari "tatanan yang tidak adil" di dunia.
Mantan presiden Iran membuat komentar serupa tentang tatanan AS yang terus menurun. Ini merupakan referensi ke konsep poros perlawanan di Iran, dan kekalahan arogansi AS.
Baca: Warner Bros Gratiskan Nonton Streaming Film Just Mercy untuk Dukung Protes Kematian George Floyd
Baca: Demo Bela George Floyd Rusuh, Pemilik Toko Minuman Ini Siapkan Senapan Militer M16 Agar Tak Dijarah
Saat ini, aksi protes di AS dan krisis Covid-19 telah menyebabkan situasi di Washington menurun dengan cepat.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan bahwa AS sekarang harus berurusan dengan kesalahan polisi dan membanding-bandingkan AS dengan Rusia.
"Syukurlah, hal-hal yang terjadi di Amerika tidak terjadi di Rusia," katanya seperti yang ditulis media TASS Rusia.
NBCNews juga menuliskan berita yang sama. China, Rusia dan Iran menggunakan media yang disponsori negara untuk menyerang AS atas pembunuhan George Floyd dan kerusuhan sipil yang terjadi.
Menurut sebuah laporan yang dirilis Rabu (3/6/2020) oleh sebuah perusahaan swasta, tidak ada bukti adanya operasi pengaruh online yang mirip dengan campur tangan Rusia dalam kampanye presiden 2016.
"Musuh AS menggunakan gejolak di media tradisional dan sosial dengan menggunakan narasi mereka yang sedemikian rupa," demikian bunyi laporan oleh Graphika, yang menggunakan kecerdasan buatan untuk menganalisis volume besar lalu lintas media sosial, seperti yang dikutip dari NBCNews.
Ketiga negara menggunakan kehadiran editorial online mereka yang substansial untuk mengkritik pembunuhan Floyd, reaksi polisi terhadap protes, dan Presiden Donald Trump.
Akan tetapi, menurut laporan itu, tujuan mereka tampaknya berbeda.
“Tujuan utama Tiongkok tampaknya adalah untuk mendiskreditkan AS atas tindakan keras Tiongkok terhadap Hong Kong. Tujuan utama Iran tampaknya adalah untuk mendiskreditkan AS terhadap catatan hak asasi manusia Iran dan untuk menyerang sanksi AS," kata laporan tersebut.
Ditambahkan pula, “Media-media yang dikendalikan oleh Rusia sebagian besar terfokus pada fakta-fakta aksi protes, sejalan dengan praktik yang sudah berlangsung lama dalam meliput unjuk rasa di Barat; beberapa konten editorial individual juga menyerang kritikus Kremlin dan media arus utama."
"Malam ini, aktivitas media sosial tentang # protes & reaksi balasan dari akun media sosial terkait dengan setidaknya 3 musuh asing. Mereka tidak membuat divisi ini. Tapi mereka aktif memicu & mempromosikan kekerasan & konfrontasi dari berbagai sudut."
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Angka Kemiskinan di AS Diklaim Turun di Tengah Corona, Apa Sebabnya?"