Perang Dagang dan Naikkan Tarif Impor Produk China, India Bersiap Korbankan Masyarakat Kelas Bawah

Penulis: Haris Chaebar
Editor: Archieva Prisyta
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Masyarakat lapisan kelas bawah India, terancam paling terdampak dengan kebijakan perang dagang terhadap luar negeri, termasuk dengan China.

TRIBUNNEWSWIKI.COM - India sepertinya tidak main-main dengan tindakan agresif China belakangan ini.

Pertempuran Ladakh yang berpusat di lembah Galwan dengan menewaskan puluhan tentara ternyata membawa dampak psikologis tersendiri bagi India.

Negara yang dipimpin Perdana Menteri Narendra Modi itu pun semakin berniat akan membalas China, meski dengan jalur yang berbeda dari cara-cara militer.

India sendiri saat ini serius akan menyalakan "sinyal" perang dagang dengan negara manapun, termasuk dengan rival mereka China.

India berencana memberlakukan hambatan perdagangan yang lebih tinggi dan menaikkan bea impor pada sekitar 300 produk dari China dan dari negara lain.

Ini sebagai bagian dari upaya India melindungi bisnis dalam negeri.

FOTO: Anggota Persatuan Pelajar Nasional India (NSUI) memegang poster Presiden Cina Xi Jinping yang terbakar sebagian saat demonstrasi anti-Tiongkok di Ahmedabad pada 18 Juni 2020. (SAM PANTHAKY / AFP)

Menurut pemberitaan Reuters, rencana tersebut telah dikaji setidaknya sejak April 2020 lalu, menurut dokumen pemerintah.

Kebijakan ini sejalan dengan pernyataan Perdana Menteri Narendra Modi yang baru-baru ini mengumumkan kampanye kemandirian untuk mempromosikan produk lokal.

Baca: India Kembali Tolak Klaim China Atas Status Kedaulatan Lembah Galwan di Ladakh, Himalaya

Baca: Buntut Tewasnya 20 Tentara India, Ormas Hindu Munnani Bakar Bendera China dan Rusak Smartphone

Baca: Pertemuan Trilateral India, China, Rusia Siap Digelar 23 Juni 2020 Bahas Konflik Perbatasan

Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan India, yang terlibat dalam diskusi, tidak menanggapi permintaan komentar soal rencana ini.

Pemerintah India sedang mempertimbangkan menaikkan bea impor pada 160-200 produk dan memberlakukan hambatan non-tarif, seperti persyaratan lisensi atau pemeriksaan kualitas yang lebih ketat, pada 100 produk lainnya, menurut seorang pejabat yang tak disebutkan namanya.

Keputusan itu akan menargetkan impor senilai US$ 8 miliar-US$ 10 miliar dengan tujuan menghalangi impor berkualitas rendah yang tidak esensial yang membuat produk India tidak kompetitif.

"Kami tidak menargetkan negara mana pun, tetapi ini adalah salah satu cara untuk mengurangi defisit perdagangan dengan negara-negara seperti China," kata pejabat India lain yang mengetahui soal rencana ini.

Perdagangan bilateral antara Cina dan India bernilai US$ 88 miliar pada tahun fiskal yang berakhir Maret 2019, dengan defisit perdagangan sebesar US$ 53,5 miliar.

Antara April 2019 dan Februari 2020, data terbaru yang tersedia, defisit perdagangan India dengan China mencapai US$ 46,8 miliar.

Menurut pemberitaan Reuters, dari sumber di kalangan industri yang mengetahui masalah tersebut mengatakan bahwa barang-barang teknik, elektronik, dan beberapa peralatan medis termasuk di antara barang-barang yang dipertimbangkan dalam rencana tersebut.

Suasana pemakaman Kolonel Santosh Babu di Kota Suryapet, Telangana, India. Kolonel Santosh Babu adalah pimpinan batalyon yang tewas dalam bentrokan dengan pasukan China di Lembah Galwan, Ladakh, Himalaya. (STR / AFP)

Sumber di pemerintahan India mengatakan hambatan non-tarif, seperti sertifikasi kontrol kualitas yang lebih ketat, dapat berlaku untuk produk impor seperti pendingin udara.

Modi telah berjanji untuk mempromosikan dan melindungi manufaktur lokal sejak ia meraih kekuasaan pada tahun 2014.

Dia telah mempromosikan program "Make in India" dalam beberapa tahun terakhir, dan bulan lalu mengumumkan kampanye "Atmanirbhar Bharat", atau kampanye India yang mandiri.

India telah menaikkan pajak impor barang-barang seperti barang elektronik, mainan dan furnitur pada Februari 2020 lalu.

Kebijakan ini menuai kritik karena dianggap langkah proteksionis terhadap bisnis asing. IKEA Swedia, misalnya, kecewa dengan tarif yang lebih tinggi.

Dokumen pemerintah menunjukkan umpan balik telah dicari dari berbagai kementerian India untuk sampai pada daftar sekitar 300 produk.

India telah meningkatkan bea pada lebih dari 3.600 jalur tarif yang mencakup produk-produk dari sektor-sektor seperti tekstil dan elektronik sejak 2014, sebut dokumen yang dilihat Reuters.

“Kami mendorong kebijakan untuk memperkuat manufaktur India dengan tetap memperhatikan kekuatan dan kelemahannya,” kata seorang pejabat pemerintah India yang lain.

Masyarakat kelas bawah jadi korban

Seruan boikot produk China semakin nyaring di seantero India.

Dilansir dari Indian Express, Minggu (21/6/2020), pemerintah India tengah berupaya menekan Beijing dengan mendorong warganya melakukan boikot pada barang-barang buatan dari China.

Wacana memulai perang dagang dengan China juga mulai disuarakan publik India.

Menteri Persatuan India, Ramdas Bandu Athwale, meminta masyarakat tak pergi ke restoran yang menjual makanan China tanpa pengecualian, meski pemiliknya maupun kokinya adalah seorang warga negara India.

Seruan boikot juga menggema untuk mencegah warga India membeli barang elektronik dari pabrikan China.

Baca: India Kembali Tolak Klaim China Atas Status Kedaulatan Lembah Galwan di Ladakh, Himalaya

Baca: Embrionya Dibekukan, Bayi di China Lahir Berjarak Sepuluh Tahun dari Saudara Kembarnya

Baca: Buntut Tewasnya 20 Tentara India, Ormas Hindu Munnani Bakar Bendera China dan Rusak Smartphone

Vivo dan produk-produk China lain mendapat serangan boikot akibat konflik dengan India. (Instagram/tech_z007 - Instagram/ggf.id)

Kendati demikian, memboikot produk China di India dianggap banyak kalangan malah akan merugikan ekonomi nasional negara itu. Ini karena India begitu bergantung pada barang impor dari Tiongkok.

Sepanjang tahun 2019-2020, perdagangan dengan China berkontribusi sebesar 10,6% dari seluruh neraca perdagangan India, atau yang terbesar kedua setelah perdagangan dengan Amerika Serikat (AS).

Sebaliknya bagi China, perdagangan dengan India hanya menyumbang 2,1%, sehingga tak terlalu siginifikan pengaruhnya bagi China.

Bagi India, China juga merupakan patner dagang vital. Sebaliknya bagi China, India tak memegang peran terlalu siginifikan dan komoditas impor dari India masih bisa digantikan negara lain.

Menurut data United National Conference on Trade and Development (UNCTAD) di tahun 2018, 15,3% barang impor yang ada di India berasal dari China. Sementara barang impor di China yang didatangkan dari India hanya sebesar 5,1%.

Dilansir dari Timesoft India, menabuh genderang perang dagang dengan China malah akan berimbas negatif pada ekonomi India.

Apalagi, negara ini sangat bergantung pada China untuk rantai pasok global, salah satunya pasokan bahan kimia untuk bahan baku industri obat yang harus dibeli dari China.

India selama ini dikenal sebagai salah satu produsen farmasi terbesar dunia.

Kekurangan bahan baku dari China bisa membuat ekspor obat India anjlok.

Selain itu, Negeri Bollywood ini juga tak bisa lepas dari investasi China.

Perang dagang dengan Beijing, tentu bisa membuat investasi luar negeri di India merosot.

Total ada 225 perusahaan besar China yang berinvestasi langsung di India sepanjang tahun 2003 hingga 2020.

Investor terbesar asal China yakni perusahaan telekomunikasi seperti Huawei dan Xiaomi.

Beberapa perusahaan raksasa lainnya dari China juga tengah menjajaki penambahan nilai investasi di India, termasuk membangun basis produksi. Mereka adalah ZTE, Benling, Dezan Shira, Wafangdian, dan Vivo.

[Peringatan: Foto mengandung konten sensitif]. FOTO: Terlihat foto Presiden Xi Jinping dibakar oleh massa India yang marah. (SAM PANTHAKY / AFP)

Dilansir dari Business Insider, tercatat 4 dari 5 merek handphone paling mendominasi di India berasal dari Negeri Tirai Bambu.

Samsung yang berasal dari Korea, jadi satu-satunya merek non-China yang berada di urutan 5 besar tersebut.

Harga yang murah namun dengan spesifikasi tinggi, membuat smartphone dari pabrikan China sulit tergantikan di India, terutama di kalangan masyarakat menengah dan menengah ke bawah.

Untuk menekan biaya, pabrikan ponsel pintar di China juga membangun pusat produksi di India. Merek paling laris di pasaran India adalah Xiaomi dengan pangsa pasar sebesar 30%.

Artinya, 3 dari 10 orang di India adalah pengguna ponsel besutan perusahaan yang didirikan Lei Jun pada 2010 tersebut.

Di luar itu, India sebelum pandemi virus corona, juga mendapatkan keuntungan sangat besar dari lonjakan turis asing dari China.

Baca: Suasana Pemakaman Kolonel Santosh Babu, Pimpinan Batalion India yang Tewas oleh Tentara China

Baca: Pertemuan Trilateral India, China, Rusia Siap Digelar 23 Juni 2020 Bahas Konflik Perbatasan

India juga sulit melepaskan dari ketergantungan pada barang-barang murah dari China.

Perang dagang dengan China bisa memicu kalangan menengah ke bawah dalam kondisi yang sangat sulit.

Selama ini, warga miskin di India banyak menggunakan produk-produk buatan China yang lebih terjangkau. Mereka juga sangat sensitif dengan harga.

Contoh saja produk pendingin ruangan, warga miskin di India bakal kesulitan jika harus mengganti AC buatan China dengan pabrikan Jepang yang harganya jauh lebih mahal.

"Kita harus bisa mandiri sebisa mungkin, tetapi kita tidak bisa memisahkan dari dunia."

"India harus terus mempertahankan diri menjadi bagian dari rantai pasokan global dan tidak memboikot barang-barang dari China," kata pemimpin Kongres India, Chidambaram dikutip dari Livemint.

(Tribunnewswiki.com/Ris)

Sebagian artikel tayang di Kontan.co.id dengan judul India nyalakan sinyal perang dagang, akan naikkan tarif impor 300 produk dari China.



Penulis: Haris Chaebar
Editor: Archieva Prisyta
BERITA TERKAIT

Berita Populer