Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Menemukan 5 Kejanggalan dalam Kasus Penyerangan Novel Baswedan

Penulis: Febri Ady Prasetyo
Editor: Melia Istighfaroh
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan, ditemui di depan kediamannya di Jalan Deposito, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (11/4/2019). Pukat UGM menemukan beberapa kejanggalan dalam kasus penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakutas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) mengaku menemukan setidaknya lima kejanggalan dalam tuntutan yang diajukan oleh jaksa kepada terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.

Pukat menilai tuntutan 1 tahun hukuman penjara oleh jaksa kepada terdakwa sangat janggal.

Berikut lima kejanggalan tersebut:

1. Pernyataan jaksa bahwa tidak ada niat

Menurut Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, pernyataan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut bahwa tidak terpenuhinya unsur rencana terlebih dahulu merupakan pemahaman hukum pidana yang keliru.

Sebab, terdakwa dalam kasus ini telah memenuhi tiga unsur rencana terlebih dahulu, yaitu memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak, dan pelaksanaan kehendak dalam keadaan tenang.

Hal itu dibuktikan dengan adanya pengintaian dan air keras yang telah disiapkan oleh terdakwa sebelum melakukan penyiraman.

Di sisi lain, pihaknya menilai JPU salah dalam membangun argumen jenis-jenis kesengajaan.

"Tindakan terdakwa tidak semata-mata dikualifikasikan kesengajaan sebagai yang dimaksud, melainkan juga kesengajaan sebagai kemungkinan," kata Zaenur dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (15/6/2020).

Karenanya, kendati terdakwa tidak bermaksud melukai bagian mata Novel, tetapi tindakan penyiraman itu dilakukan pada kondisi gelap, sehingga memungkinkan untuk mengenai bagian tubuh lain, yaitu mata.

Baca: Begini Tanggapan Mahfud MD soal Penyiraman Air Keras terhadap Novel Baswedan

Baca: Anggap Peradilan Sesat, Refly Harun Sebut Dua Terdakwa Penyiraman Novel Baswedan Bisa Dibebaskan

2. Pasal yang dikenakan

Selain itu, Zaenur juga mengatakan, pasal yang dikenakan kepada terdakwa hanya penganiayaan biasa seperti dalam Pasal 353 ayat 2 KUHP, padahal tindakan terdakwa tergolong penganiayaan berat.

Menurut dia, JPU seharusnya mengarahkan tindakan terdakwa pada pasal penganiayaan berat sebagaimana dalam Pasal 355 ayat 1 KUHP.

Terdakwa Rahmat Kadir Mahulette menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (19/3/2020). Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette didakwa secara bersama-sama dan melakukan penganiayaan berat kepada penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Sebab, dalam konteks hukum pidana dikenal adanya kesengajaan yang diobjektifkan. Artinya, ada atau tidaknya kesengajaan dilihat dari perbuatan yang tampak.

"Penyiraman air keras ke tubuh Novel yang dilakukan oleh terdakwa merupakan penganiayaan berat yang berakibat timbulnya luka berat hingga kematian, bukan hanya penganiayaan biasa," kata dia.

3. JPU lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa

Sementara itu, jaksa yang seharusnya bertugas untuk membuktikan kebenaran materil dan keadilan, menurut Pukat justru memilih untuk lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa sebagai bukti.

Baca: Pangkat dan Gaji Fedrik Adhar, Jaksa Penuntut Umum Kasus Penyiraman Air Keras Novel Baswedan

Baca: Dinilai Tidak Adil, PHBI Minta Hakim Kesampingkan Tuntutan JPU atas Kasus Novel Baswedan

Padahal, terdakawa dalam memberikan keterangannya tidak disumpah, sehingga memiliki hak ingkat.

Selain itu, jaksa juga mengabaikan adanya barang bukti semisal air keras yang digunakan oleh terdakwa maupun rekaman rekaman CCTV dan saksi kunci yang pernah diperiksa oleh Tim Pencari Fakta atau Komnas HAM.

4. Tuntutan tidak logis

Halaman
12


Penulis: Febri Ady Prasetyo
Editor: Melia Istighfaroh
BERITA TERKAIT

Berita Populer