Hal ini diumumkan oleh World Health Organization (WHO) dan kini virus ebola menyebar di zona kesehatan Wangata, Mbandaka, Provinsi Equateur.
Keadaan ini menjadi semakin buruk karena Kongo juga tengah memerangi wabah campak.
Mengutip situs WHO, Selasa (2/6/2020), Kementerian Kesehatan Republik Demokratik Kongo mengumumkan ada enam kasus ebola yang ditemukan di Wangata.
Empat di antaranya meninggal dunia dan dua kasus sedang dalam perawatan.
Ini adalah outbreak ke-11 dari virus ebola di negara tersebut. Ebola memang merupakan virus endemik Afrika, pertama ditemukan pada 1976.
Kota Mbandaka merupakan lokasi outbreak ebola kesembilan yang terjadi pada Juli 2018.
Outbreak ebola terakhir berlokasi di tiga kawasan, yaitu North Kivu, South Kivu, dan Provinsi Ituri. Outbreak ini belum selesai.
Pada 14 Mei 2020, Kementerian Kesehatan Kongo memulai 42 hari hitung mundur deklarasi berakhirnya outbreak ke-10.
Baca: Republik Demokratik Kongo Kembali Diserang Virus Ebola, Empat Orang Meninggal Dunia
Virus ebola termasuk dalam famili Filoviridae yang mencakup tiga kelompok, yaitu Cuevavirus, Marburgvirus, dan Ebolavirus.
Dalam genus Ebolavirus, enam spesies ditemukan yaitu di Zaire, Bundibugyo, Sudan, Tai Forest, Reston, dan Bombali.
Ebola Virus Disease (EVD) atau Ebola haemorrhagic fever merupakan penyakit dengan tingkat keparahan yang tinggi.
Baca: Dokter di Italia Ungkap Virus Corona Telah Melemah dan Berbeda Dibanding 2 Bulan yang Lalu
Baca: Sederet Pekerjaan Baru yang Muncul Akibat Pandemi Corona: Pengukur Suhu hingga Penguji Covid-19
Penyakit ini menginfeksi manusia dan primata, serta kerap berujung pada kematian.
WHO menyebutkan bahwa angka mortalitas penyakit ebola berada pada kisaran 50 persen, tepatnya antara 25 hingga 90 persen.
Afrika adalah wilayah yang mengalami outbreak ebola terparah. Outbreak yang terjadi pada 2014-2016 di Afrika Barat merupakan kasus terparah sejak penyakit tersebut pertama ditemukan pada 1976.
Selain di Republik Demokratik Kongo, ebola juga menjangkiti beberapa negara lainnya di Afrika, seperti Sierra Leone dan Liberia.
Sama seperti Covid-19, ebola adalah penyakit zoonosis yang ditransmisikan dari satwa liar.
Para ilmuwan percaya bahwa inang dari virus ebola adalah kelelawar dari famili Pteropodidae, jenis kelelawar pemakan buah.
Selain kelelawar, beberapa satwa liar yang menjadi inang ebola adalah landak, simpanse, gorila, monyet, dan antelop.
Mayoritas penduduk Afrika terinfeksi ebola karena kontak langsung dengan hewan yang ditemukan sakit atau mati di hutan setempat.
Virus ebola kemudian menyebar antar-manusia melalui kontak langsung dengan darah, sekresi, organ, atau cairan tubuh lainnya dari orang yang terinfeksi.
Tak hanya kontak langsung, tetapi juga melalui benda mati yang terpapar cairan tubuh orang yang terinfeksi.
Banyak tenaga kesehatan di Afrika yang terinfeksi ebola karena menangani pasien tanpa alat pelindung diri (APD) yang lengkap.
Wanita hamil yang terinfeksi dan sembuh dari ebola bisa menurunkan virus tersebut kepada bayi atau janinnya lewat ASI dan jaringan di dalam rahim.
Mengutip situs resmi WHO, Selasa (2/6/2020), periode inkubasi ebola memiliki interval antara dua hingga 21 hari.
Seseorang yang terinfeksi virus ebola tidak bisa menularkan penyakitnya kepada orang lain sebelum ada gejala yang timbul.
Beberapa gejala penyakit ebola antara lain:
- Demam
- Kelelahan
- Nyeri otot
- Sakit kepala
- Sakit tenggorokan
Lima gejala utama tersebut kemudian diikuti oleh:
- Muntah-muntah
- Diare
- Ruam
- Gejala kerusakan ginjal dan fungsi hati
- Dalam beberapa kasus, pendarahan internal dan eksternal (misal pendarahan pada gusi)
- Dalam beberapa kasus, jumlah sel darah putih yang rendah serta peningkatan enzim hati.
Baca: Epidemiolog Jelaskan Alasan Mengapa Kasus Penyebaran Covid-19 di Jawa Timur Terus Meningkat
Oleh karena gejala yang mirip, sulit untuk membedakan ebola dengan beberapa penyakit lain seperti malaria dan tifus.
Ibu hamil punya kerentanan dan tingkat keparahan yang lebih tinggi dalam kasus ebola.
Oleh karena itu, diagnosis ebola terutama bagi ibu hamil dapat dilakukan lewat beberapa metode berikut:
- Tes antibodi Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
- Tes antigen
- Tes netralisasi serum
- Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
- Mikroskopi elektron
- Isolasi virus melalui kultur sel.
Pasien yang menderita penyakit ebola harus mendapat perawatan medis. Pemasangan infus dan tata laksana sesuai gejala penting untuk dilakukan.
Sampai saat ini, belum ada pengobatan spesifik untuk penderita ebola. Namun, ada beberapa perawatan potensial seperti terapi imun, sel darah, dan obat yang tengah dievaluasi.
Vaksin resmi ebola sampai saat ini belum ditemukan. Meski demikian, pada 2015, vaksin eksperimental ebola dikembangkan di Guinea.
Vaksin bernama rVSV-ZEBOV itu diuji kepada 11.841 orang. Dari 5.837 orang yang menerima vaksin, tidak ada kasus ebola ditemukan selama 10 hari dan setelahnya.
Sebagai perbandingan, ada 23 kasus dalam 10 hari terjadi pada populasi yang tidak menerima vaksin tersebut. Vaksin rVSV-ZEBOV digunakan pada outbreak ebola di Kongo pada 2018-2019.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jadi Epidemi di Afrika, Bagaimana Gejala hingga Pengobatan Ebola?" dan "Ebola Kembali Muncul di Kongo, Virus Apa Itu dan Bagaimana Penyebarannya?"