Hal ini merupakan pembalasan terhadap kebijakan Gedung Putih yang menghapus perlakukan khusus atas Hong Kong terkait perdagangan.
Diberitakan oleh CNBC, Selasa (2/6/2020), pemerintah China meminta pembatalan pengiriman daging babi pada beberapa perusahaan importir milik negara.
Tidak hanya daging babi, impor komoditas kapas dan kedelai juga turut dibatalkan.
"China telah meminta sejumlah perusahaan untuk menunda pembelian besar-besaran atas produk pertanian AS seperti babi dan kedelai, sebagai balasan atas reaksi AS ke Hong Kong," ujar sumber yang tidak ingin disebutkan identitasnya.
"Sekarang kita lihat saja apa yang akan dilakukan oleh AS," kata dia lagi.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump meminta pemerintahannya untuk menghapus perlakukan khusus untuk Hong Kong, mulai dari kebijakan ekstradisi hingga perlakuan istimewa terkait perdagangan.
Penghapusan perlakukan khusus atas Hong Kong ini dilakukan AS setelah China memberlakukan UU keamanan negara di bekas koloni Inggris tersebut.
Beijing bahkan mengancam akan menghentikan ekspor pada produk-produk pertanian lain asal AS jika Gedung Putih terus mencampuri urusan dalam negerinya.
Baca: Donald Trump Akhiri Hubungan dengan WHO setelah Klaim Organisasi PBB Itu Jadi Boneka China
Baca: Amerika Serikat Cabut Status Istimewa Hong Kong: Bukan Lagi Daerah Otonom dan China Kena Getahnya
Perusahaan-perusahaan importir China diketahui telah membatalkan pesanan 10.000 hingga 20.000 ton pengiriman daging babi dari AS.
Jumlah ini setara dengan total daging babi yang dikirimkan ke China dalam satu minggu.
Selain daging babi, perusahaan-perusahaan China juga tak lagi mengimpor kapas, jagung, dan kedelai dari petani AS , meskipun jumlahnya tidak dipublikasikan secara rinci.
Dalam skenario terburuk, jika Trump terus menekan Beijing dalam masalah Hong Kong, China mengancam akan membatalkan lebih banyak lagi komoditas pertanian AS yang dikirimkan ke negaranya.
"Tidak mungkin Beijing mau membeli barang-barang dari AS ketika terus menerus diserang Trump," kata sumber tersebut.
Dalam sebuah kesepakatan perdagangan pada Januari 2017, China sebenarnya sudah berjanji untuk membeli produk pertanian AS senilai 32 miliar dollar AS selama kurun waktu 2 tahun.
Tahun ini, China sudah mendatangkan dalam jumlah besar komoditas pertanian AS seperti kedelai, jagung, gandung, minyak kedelai untuk memenuhi kesepakatan dagang tersebut.
Beijing juga meningkatkan jumlah kuota impor daging babi asa AS setelah negaranya diserang pandemi flu babi Afrika.
Kementerian Pertanian AS mencatat, sepanjang kuartal pertama 2020, China mengimpor kedelai dari AS sebesar 1,028 miliar dollar AS dan daging bagi sebesar 691 juta dollar AS.
Kendati China sudah meminta BUMN untuk menghentikan impor barang pertanian dari AS, perusahaan importir swasta belum diperintahkan untuk melakukan hal yang sama.
Jika Beijing meminta swasta untuk menyetor impor dari AS, dampaknya dipastikan akan lebih luas.
Di sisi lain, Beijing bisa dengan mudah menemukan negara lain yang bisa menggantikan produk pertanian AS tersebut.
"Skala perdagangan tertentu bisa berhenti," kata sumber tersebut.
Perseteruan antara Amerika Serikat (AS) dan China tak hanya berdampak terhadap hubungan bilateral dua negara.
Banyak negara dan bahkan lembaga internasional seperti organisasi kesehatan (WHO) ikut terseret dalam hubungan buruk antara Washington dan Beijing.
Salah satu negara yang terdampak adalah Hong Kong.
Wilayah dengan status negara kota atau otonomi khusus itu memperoleh dampak signifikan, setelah Amerika Serikat mencabut status istimewa Hong Kong.
Selain itu, Hong Kong menghadapi kemungkinan penguatan pengaruh Beijing di wilayah tersebut.
Setelah disetujui oleh Kongres Rakyat Nasional China (NPC), Undang-undang Keamanan Nasional untuk Hong Kong akan mulai berlaku pada awal tahun depan.
Langkah ini dinilai telah membuat semakin banyak orang memilih untuk meninggalkan wilayah bekas jajahan Inggris itu.
Meskipun telah menikmati status otonomi sejak serah terima tahun 1997, kota yang menjadi rumah bagi sekitar 7,5 juta orang ini melihat adanya kemunduran dalam menikmati kebebasan dan demokrasi pada beberapa tahun terakhir.
Baca: Potret Beratnya Hidup di Hong Kong, Warga Hidup di Apartemen Kumuh, Dapur dan Toilet Jadi Satu Area
Melansir berita DW via laman Kontan dengan judul Masa Depan Suram, Warga Hong Kong Pertimbangkan Emigrasi, anggota gerakan protes pendukung demokrasi Hong Kong khawatir undang-undang baru itu akan semakin mengukuhkan cengkeraman Beijing. Banyak warga kota yang selama ini menjadi pusat keuangan Asia pun khawatir akan masa depan bagi mereka dan keluarga.
Pada kuartal kedua tahun 2019 saja telah tercatat sedikitnya 50.000 orang beremigrasi.
Sementara di bulan Desember 2019, terdapat 20.000 orang melamar untuk mendapatkan semacam surat keterangan kelakuan baik ke kepolisian Hong Kong.
Surat ini adalah dokumen wajib bagi siapa pun yang ingin beremigrasi. Ini adalah peningkatan sebesar 60 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Josephine, jurnalis berusia 30 tahun yang lahir di Hong Kong, mengatakan kepada DW bahwa dia telah ikut serta dalam protes melawan pemerintah dan RUU ekstradisi yang akhirnya dibatalkan tahun lalu.
Josephine mengatakan berniat untuk tinggal di Hong Kong meski cengkeraman Beijing semakin ketat. Namun, ia segera berubah pikiran setelah NPC meloloskan Undang-undang Keamanan Nasional untuk Hong Kong.
“Saya tidak pernah percaya bahwa suatu hari penduduk Hong Kong akan menjadi pengungsi,” katanya.
“Saya ingin bermigrasi.”
Dia mengatakan bahwa setelah pengumuman penyetujuan UU keamanan itu, ada suasana sedih di ruang redaksi tempatnya bekerja.
“Saya dan rekan-rekan terkaget."
"Kami memang telah memperkirakan bahwa cepat atau lambat akan ada undang-undang keamanan untuk Hong Kong, tapi kami tidak menyangka bahwa Beijing ingin memaksakannya kepada kami dengan cara ini.”
Dia mengatakan bahkan beberapa politisi yang mendukung China terkejut dengan tindakan ini.
Seorang bernama Chou, yang bekerja di sebuah bank milik China, mengatakan dirinya juga pesimistis tentang masa depan Hong Kong dan ingin beremigrasi, idealnya bersama keluarga ke Kanada.
Dia mengatakan kepada DW bahwa dia sudah lama berpikir untuk meninggalkan Hong Kong dan pengumuman tentang undang-undang baru kian membuat teguh niatnya itu.
“Semua jenis delik pelanggaran dapat dipakai untuk membatasi hak-hak sipil,” katanya.
“Tidak lagi mungkin ada jaminan kebebasan berbicara di tempat kerja, di rumah atau online."
"Sekarang saya sudah sangat berhati-hati dalam mengekspresikan diri saya di depan umum.”
Dia juga mengatakan tidak ingin putranya yang kini berusia dua tahun jadi sasaran kekerasan polisi di kemudian hari jika dia ikut dalam protes.
Chou tidak dapat melupakan betapa represifnya pemerintah China terhadap gerakan mahasiswa dan pendukung demokrasi di Lapangan Tiananmen di Beijing tahun 1989.
“Beijing ingin memegang kendali sepenuhnya,” ujar Chou dan menyatakan keraguan bahwa di masa depan demonstrasi damai atau debat di parlemen Hong Kong akan ditoleransi.
Dia juga pesimistis bahwa sanksi dari Barat akan dapat menolong.
Pemerintah China mengatakan undang-undang ini diperlukan untuk mengatasi terorisme di Hong Kong.
Woo Hong-pong, adalah seorang yang bekerja untuk sebuah agen yang berspesialisasi dalam pengurusan emigrasi ke Kanada dan Australia.
Ia mengatakan kepada DW bahwa dalam empat hari terakhir ini ada lebih dari 20 klien dari kalangan berkecukupan telah menghubunginya.
“Banyak dari mereka ragu untuk pergi pada tahun 2019, tetapi sekarang mereka ingin solusi cepat (pergi dari Hong Kong)."
"Mereka ingin keluar secepat mungkin.”
Selain Kanada dan Australia, Taiwan juga jadi pilihan lain bagi banyak orang yang ingin hengkang dari Hong Kong, meski Beijing juga berusaha membatasi otonomi dan kebebasan di sana.
Sementara Chang Heung-Lin yang bekerja untuk agen yang memfasilitasi emigrasi dari Hong Kong ke Taiwan mengatakan bahwa di Taiwan, orang yang mau berinvestasi dalam jumlah besar dapat relatif mudah mengajukan status kependudukan.
Chang Heung-Lin mengatakan agensinya telah menerima lebih dari 200 permintaan emigrasi akhir pekan lalu.
“Banyak orang tampaknya terburu-buru."
"Mereka bahkan tidak bertanya apa yang perlu mereka investasikan di Taiwan dan berapa biaya agensi."
Menurut Chang Heung-Lin, hasrat pindah dari penduduk Hong Kong saat ini lain dari biasanya, karena tak ingin hidup dalam cengkraman pemerintahan China, alih-alih berinvestasi atau orientasi bisnis.
"Ini tidak biasa bagi penduduk Hong Kong yang pikirannya berorientasi bisnis,” katanya.
“Kebanyakan dari mereka ingin segera menandatangani kontrak, memulai proses (emigrasi) secepat mungkin.”
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Balas Donald Trump, China Stop Impor Daging Babi Asal AS"