Jadi Korban Konflik Politik Amerika Serikat vs China, Kini Banyak Warga Hong Kong Ingin Bermigrasi

Penulis: Haris Chaebar
Editor: Archieva Prisyta
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Terminal keberangkatan di Hong Kong International Airport.

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Perseteruan antara Amerika Serikat (AS) dan China tak hanya berdampak terhadap hubungan bilateral dua negara.

Banyak negara dan bahkan lembaga internasional seperti organisasi kesehatan (WHO) ikut terseret dalam hubungan buruk antara Washington dan Beijing.

Salah satu negara yang terdampak adalah Hong Kong.

Wilayah dengan status negara kota atau otonomi khusus itu memperoleh dampak signifikan, setelah Amerika Serikat mencabut status istimewa Hong Kong.

Selain itu, Hong Kong menghadapi kemungkinan penguatan pengaruh Beijing di wilayah tersebut.

Setelah disetujui oleh Kongres Rakyat Nasional China (NPC), Undang-undang Keamanan Nasional untuk Hong Kong akan mulai berlaku pada awal tahun depan.

Langkah ini dinilai telah membuat semakin banyak orang memilih untuk meninggalkan wilayah bekas jajahan Inggris itu. 

Meskipun telah menikmati status otonomi sejak serah terima tahun 1997, kota yang menjadi rumah bagi sekitar 7,5 juta orang ini melihat adanya kemunduran dalam menikmati kebebasan dan demokrasi pada beberapa tahun terakhir.

Baca: Amerika Serikat Cabut Status Istimewa Hong Kong: Bukan Lagi Daerah Otonom dan China Kena Getahnya

Baca: Potret Beratnya Hidup di Hong Kong, Warga Hidup di Apartemen Kumuh, Dapur dan Toilet Jadi Satu Area

Baca: Amerika Serikat Putuskan Blacklist Puluhan Perusahaan China Pasca Terlibat Diskriminasi Etnis Uighur

Melansir berita DW via laman Kontan dengan judul Masa Depan Suram, Warga Hong Kong Pertimbangkan Emigrasi, anggota gerakan protes pendukung demokrasi Hong Kong khawatir undang-undang baru itu akan semakin mengukuhkan cengkeraman Beijing. Banyak warga kota yang selama ini menjadi pusat keuangan Asia pun khawatir akan masa depan bagi mereka dan keluarga.

Pada kuartal kedua tahun 2019 saja telah tercatat sedikitnya 50.000 orang beremigrasi.

Orang-orang yang memakai topeng mengunjungi pasar makanan segar di Hong Kong pada 29 Januari 2020, sebagai langkah pencegahan setelah wabah virus yang dimulai di kota Wuhan di Cina. Virus yang sebelumnya tidak dikenal telah menyebabkan alarm karena kemiripannya dengan SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), yang menewaskan ratusan di seluruh daratan Cina dan Hong Kong pada 2002-2003. (DALE DE LA REY / AFP)

Sementara di bulan Desember 2019, terdapat 20.000 orang melamar untuk mendapatkan semacam surat keterangan kelakuan baik ke kepolisian Hong Kong.

Surat ini adalah dokumen wajib bagi siapa pun yang ingin beremigrasi. Ini adalah peningkatan sebesar 60 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Penduduk Ingin Bermigrasi

Josephine, jurnalis berusia 30 tahun yang lahir di Hong Kong, mengatakan kepada DW bahwa dia telah ikut serta dalam protes melawan pemerintah dan RUU ekstradisi yang akhirnya dibatalkan tahun lalu.

Josephine mengatakan berniat untuk tinggal di Hong Kong meski cengkeraman Beijing semakin ketat. Namun, ia segera berubah pikiran setelah NPC meloloskan Undang-undang Keamanan Nasional untuk Hong Kong.

“Saya tidak pernah percaya bahwa suatu hari penduduk Hong Kong akan menjadi pengungsi,” katanya.

“Saya ingin bermigrasi.”

Suasana Hong Kong di malam hari. (aparturetours.com)

Dia mengatakan bahwa setelah pengumuman penyetujuan UU keamanan itu, ada suasana sedih di ruang redaksi tempatnya bekerja.

“Saya dan rekan-rekan terkaget."

"Kami memang telah memperkirakan bahwa cepat atau lambat akan ada undang-undang keamanan untuk Hong Kong, tapi kami tidak menyangka bahwa Beijing ingin memaksakannya kepada kami dengan cara ini.”

Dia mengatakan bahkan beberapa politisi yang mendukung China terkejut dengan tindakan ini.

Tragedi Tiananmen

Seorang bernama Chou, yang bekerja di sebuah bank milik China, mengatakan dirinya juga pesimistis tentang masa depan Hong Kong dan ingin beremigrasi, idealnya bersama keluarga ke Kanada.

Dia mengatakan kepada DW bahwa dia sudah lama berpikir untuk meninggalkan Hong Kong dan pengumuman tentang undang-undang baru kian membuat teguh niatnya itu.

“Semua jenis delik pelanggaran dapat dipakai untuk membatasi hak-hak sipil,” katanya.

“Tidak lagi mungkin ada jaminan kebebasan berbicara di tempat kerja, di rumah atau online."

"Sekarang saya sudah sangat berhati-hati dalam mengekspresikan diri saya di depan umum.”

Baca: Korea Utara Akan Tembak Warga China yang Langgar Perbatasan, demi Cegah Penyebaran Corona

Baca: Semakin Panas, Amerika Serikat Kini Minta Para Sekutunya Batalkan Proyek Besar dengan China

Baca: Di Tengah Tekanan dari Amerika Serikat, China Dongkrak Anggaran Militer sebesar 2.645 Triliun

Dia juga mengatakan tidak ingin putranya yang kini berusia dua tahun jadi sasaran kekerasan polisi di kemudian hari jika dia ikut dalam protes.

Chou tidak dapat melupakan betapa represifnya pemerintah China terhadap gerakan mahasiswa dan pendukung demokrasi di Lapangan Tiananmen di Beijing tahun 1989.

“Beijing ingin memegang kendali sepenuhnya,” ujar Chou dan menyatakan keraguan bahwa di masa depan demonstrasi damai atau debat di parlemen Hong Kong akan ditoleransi.

Dia juga pesimistis bahwa sanksi dari Barat akan dapat menolong.

Pemerintah China mengatakan undang-undang ini diperlukan untuk mengatasi terorisme di Hong Kong.

Orang-orang yang memakai topeng mengunjungi pasar makanan segar di Hong Kong pada 29 Januari 2020, sebagai langkah pencegahan setelah wabah virus yang dimulai di kota Wuhan di Cina. Virus yang sebelumnya tidak dikenal telah menyebabkan alarm karena kemiripannya dengan SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), yang menewaskan ratusan di seluruh daratan Cina dan Hong Kong pada 2002-2003. (DALE DE LA REY / AFP)

Woo Hong-pong, adalah seorang yang bekerja untuk sebuah agen yang berspesialisasi dalam pengurusan emigrasi ke Kanada dan Australia.

Ia mengatakan kepada DW bahwa dalam empat hari terakhir ini ada lebih dari 20 klien dari kalangan berkecukupan telah menghubunginya.

“Banyak dari mereka ragu untuk pergi pada tahun 2019, tetapi sekarang mereka ingin solusi cepat (pergi dari Hong Kong)."

"Mereka ingin keluar secepat mungkin.”

Selain Kanada dan Australia, Taiwan juga jadi pilihan lain bagi banyak orang yang ingin hengkang dari Hong Kong, meski Beijing juga berusaha membatasi otonomi dan kebebasan di sana.

Sementara Chang Heung-Lin yang bekerja untuk agen yang memfasilitasi emigrasi dari Hong Kong ke Taiwan mengatakan bahwa di Taiwan, orang yang mau berinvestasi dalam jumlah besar dapat relatif mudah mengajukan status kependudukan.

Chang Heung-Lin mengatakan agensinya telah menerima lebih dari 200 permintaan emigrasi akhir pekan lalu.

“Banyak orang tampaknya terburu-buru."

"Mereka bahkan tidak bertanya apa yang perlu mereka investasikan di Taiwan dan berapa biaya agensi."

Baca: Kematian Covid-19 di India Lampaui China, Ini 10 Negara dengan Kasus Positif Terbanyak di Dunia

Baca: Hasil Uji Coba Klinis Kedua Aman, China Bersiap Produksi Massal Vaksin Covid-19 Jelang Akhir 2020

Menurut Chang Heung-Lin, hasrat pindah dari penduduk Hong Kong saat ini lain dari biasanya, karena tak ingin hidup dalam cengkraman pemerintahan China, alih-alih berinvestasi atau orientasi bisnis.

"Ini tidak biasa bagi penduduk Hong Kong yang pikirannya berorientasi bisnis,” katanya.

“Kebanyakan dari mereka ingin segera menandatangani kontrak, memulai proses (emigrasi) secepat mungkin.”

Duduk perkara status Hong Kong

Pemerintahan Donald Trump menginformasikan kepada Kongres AS pada hari Rabu (27/05/2020), bahwa negara kota itu bukan lagi daerah otonom dari China.

Dampaknya pun luar biasa karena secara administratif dan legal akan mencabut Hong Kong dari hak istimewanya sebagai pusat keuangan global dalam aktivitas ekonomi dan bisnis Amerika Serikat selama ini.

Hal itu pun juga akan turut memukul China, mengingat Hong Kong sudah lama menjadi gerbang bagi China untuk masuk ke dalam perdagangan dan bisnis internasional. 

Dan tujuan Washington mencabut status istimewa Hong Kong adalah semata-mata untuk memberi efek negatif tersendiri bagi China.

Melansir South China Morning Post, penilaian ini merupakan langkah penting AS dalam memutuskan apakah Hong Kong akan terus menerima perlakuan ekonomi dan perdagangan istimewa dari Washington atau tidak.

Presiden China. Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. (kompasiana.com)

"Tidak ada orang yang memiliki alasan yang dapat menyatakan hari ini bahwa Hong Kong mempertahankan otonomi tingkat tinggi dari China, mengingat fakta di lapangan," jelas Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dalam sebuah pernyataan.

“Keputusan ini tidak membuat saya senang. Akan tetapi penentuan kebijakan yang sehat membutuhkan pengakuan berdasarkan realita.”

Sertifikasi Departemen Luar Negeri adalah sebuah rekomendasi dan tidak serta-merta mengarah ke langkah berikutnya.

Para pejabat AS, termasuk Presiden Donald Trump, sekarang harus memutuskan sejauh mana sanksi atau tindakan kebijakan lain harus ditujukan kepada Hong Kong.

"Sementara Amerika Serikat pernah berharap bahwa Hong Kong yang bebas dan makmur akan memberikan model untuk China yang otoriter, sekarang jelas bahwa China menjadi contoh bagi Hong Kong," kata pengumuman Pompeo.

Di bawah Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong yang disahkan oleh Kongres AS pada bulan November, pemerintah harus memutuskan setiap tahun apakah pemerintahan Hong Kong berbeda dengan China atau tidak.

Opsi sanksi yang tersedia bagi pemerintah AS -yang menurut analis sebagian besar mungkin tergantung pada reaksi Beijing- termasuk tarif perdagangan yang lebih tinggi, aturan investasi yang lebih ketat, pembekuan aset, dan peraturan visa yang lebih berat.

Langkah ini mengirim gelombang kejutan melalui lingkaran kebijakan China dan Hong Kong.

(Tribunnewswiki.com/Ris)



Penulis: Haris Chaebar
Editor: Archieva Prisyta
BERITA TERKAIT

Berita Populer