Tak terkecuali bidang pendidikan, sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia, pembelajaran jarak jauh pun mulai diberlakukan.
Hal ini membuat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus menyesuaikan dan membuat kebijakan baru untuk kegiatan belajar mengajar di rumah.
Sebelumnya, diketahui sekolah di Indonesia telah diliburkan sejak bulan Maret 2020 lalu dan menggantinya dengan belajar dari rumah.
Hal ini dilakukan guna memutus rantai penyebaran virus corona atau Covid-19.
Namun, hingga kini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim belum memutuskan kapan sekolah akan kembali dibuka.
Baca: Mendikbud Nadiem Makarim Akan Berikan Mekanisme dan Syarat Pembukaan Sekolah Pekan Depan
Baca: Kemendikbud Berencana Buka Sekolah, Bakal Ada Sederet Aturan Ini untuk Cegah Penularan Covid-19
Melihat hal ini, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim menyarankan pada Kemendikbud agar menggeser tahun ajaran baru sekolah ke bulan Januari 2021.
Penggeseran tahun ajaran baru hingga tahun depan, menurut Muhammad Ramli, bisa diterapkan lantaran situasi saat ini yang masih belum pasti.
"Dalam kondisi ketidakpastian ini, tak banyak yang bisa dilakukan karena terjadi ketidakpastian dalam perencanaan dan kinerja dunia pendidikan kita.
Ketidakpastian inilah yang memicu IGI menuntut Kemdikbud agar memberikan kepastian agar tahun ajaran baru digeser ke bulan Januari," ujar Ramli melalui keterangan tertulis, Kamis (28/5/2020).
Namun, tampaknya wacana ini tidak diamini oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
FSGI menilai, wacana pembukaan sekolah pada pertengahan Juli 2020 agar dipikirkan matang-matang serta memerhatikan data terkait penanganan Covid-19 di tiap wilayah.
Jika penyebaran Covid-19 masih tinggi, menurut FSGI, pilihan untuk memperpanjang metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) adalah pilihan terbaik.
Namun, FSGI menyebut, tak perlu ada penggeseran Tahun Ajaran Baru 2020/2021.
Baca: Orangtua Murid Mengaku Resah Jika Sekolah Dibuka Kembali pada Tahun Ajaran Baru di Tengah Covid-19
Baca: Penerapan New Normal untuk Sekolah, Kemen PPPA Sarankan Hilangkan Jam Istirahat, Belajar 4 Jam
Hal ini disampaikan oleh Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, Satriawan Salim.
“Artinya Tahun Ajaran Baru tetap dimulai pertengahan Juli, seperti tahun-tahun sebelumnya.
Hanya pembelajaran dilaksanakan masih dengan metode PJJ,” tutur Satriawan Salim, dikutip dari Kompas.com, Jumat (29/5/2020).
Satriwan mengatakan, untuk memastikan kondisi benar-benar aman, pilihan untuk memperpanjang PJJ bisa dilakukan satu semester ke depan.
Satu semester tersebut terhitung dari bulan Juli hingga akhir Desember 2020 atau setidaknya sampai pertengahan semester ganjil (akhir September).
Satriawan lalu mencontohkan peristiwa yang terjadi di sejumlah negara setelah dibukanya kembali aktivitas belajar di sekolah.
Di antaranya di Perancis, Finlandia, dan Korea Selatan yang menemukan kasus infeksi virus corona pada siswa dan guru setelah sekolah dibuka.
“Ada fakta di sejumlah negara yang menunjukkan perkembangan ancaman penyebaran Covid-19 Gelombang ke-2.
Ini akan sangat menakutkan bagi siswa, orangtua, dan guru," terangnya.
Menurut Satriawan, memulai tahun ajaran baru pada pertengahan Juli 2020 dan membuka kembali sekolah adalah dua hal berbeda.
Baca: KPAI Ungkap Nasib Pelajar Jika New Normal Berlaku di Sekolah, Bahaya dan Dampaknya Tak Main-main
Baca: Dinas Pendidikan DKI Jakarta Terbitkan Kalender Pendidikan & Jadwal Sekolah Tahun Ajaran 2020/2021
“Usulan agar tahun ajaran baru diundur ke Januari 2021 akan berisiko dan berdampak besar.
Hal ini akan berdampak terhadap: sistem pendidikan nasional, eksistensi sekolah swasta, pendapatan/kesejahteraan guru swasta, psikologis siswa, dan sinkronisasi dengan perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri,” tuturnya.
Menurut dia, Kemendikbud dan Kemenag harus melakukan evaluasi pelaksanaan PJJ termasuk tindak lanjut desain kurikulum darurat dari Kemdikbud.
“Kami mengapresiasi Kemenag dalam hal ini yang sudah membuat desain kurikulum darurat selama krisis pandemi,” ujar dia.
Sementara itu, Fahriza Tanjung Wasekjen FSGI, mengingatkan, perlunya perbaikan terkait komunikasi, koordinasi, dan pendataan terkait penyebaran Covid-19 antara pemerintah pusat dan daerah.
“Ini penting dilakukan, sebab pemerintah daerah adalah yang paling memahami daerah tersebut.
Maka kami mendukung pernyataan Nadiem Makarim yang menunggu keputusan dari Gugus Tugas Covid-19 terkait mana wilayah yang benar-benar zona hijau dan yang tidak,” ujar Fahriza.
Baca: Pandemi Corona, Kemendikbud Luncurkan Belajar dari Rumah, Hari ini Tayang di TVRI, Cek Jadwalnya
Baca: Presiden Filipina: Lebih Baik Siswa Tidak Naik Kelas, daripada Kembali Sekolah Tanpa Vaksin Covid-19
Fahriza lalu mencontohkan peristiwa yang terjadi di Bukit Tinggi.
Pemerintah Kota Bukittinggi baru-baru ini sudah menetapkan pertengahan Juli nanti sekolah-sekolah akan diaktifkan kembali.
Sementara, pemerintah pusat belum memutuskan.
Hal ini menurutnya menimbulkan kebingungan di kalangan siswa, guru, dan orangtua.
Jika sekolah akan kembali dibuka, ia mengatakan, dinas pendidikan dan sekolah harus menyiapkan sarana kesehatan pendukung.
Sarana tersebut antara lain hand sanitizer di setiap ruangan, sabun cuci tangan, perbanyak keran cuci tangan, semua warga sekolah wajib mengenakan masker, penyediaan APD di UKS/klinik sekolah, dan penerapan protokol kesehatan secara ketat.
Kemdikbud juga disarankan membuat Pedoman Pelaksanaan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang dikombinasikan dengan protokol kesehatan.
Penilaian kenaikan kelas sebaiknya dilakukan berdasarkan akumulasi proses pembelajaran selama 1 semester, penilaian sebelum pandemi maupun setelah pandemi saat pembelajaran jarak jauh.
Dalam membuat format Penilaian Akhir Tahun (PAT), dinas pendidikan dan sekolah diminta mempertimbangkan akses siswa terhadap internet dan kepemilikan gawai.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "FSGI: Perpanjang Pembelajaran Jarak Jauh, tetapi Jangan Geser Tahun Ajaran Baru"