Dari 60 pasien yang diteliti, mereka menemukan bahwa pasien Covid-19 dengan kondisi terparah memiliki jumlah sel kekebalan bernama sel-T yang sangat rendah.
Sel tersebut berfungsi membersihkan infeksi dari tubuh.
Profesor Adrian Hayday dari Crick Institute mengatakan bahwa riset yang dilakukan bertujuan untuk mengamati lebih jauh apa yang terjadi dengan sel-sel kekebalan pada penderita Covid-19.
"Sel-T berusaha melindungi tubuh dari infeksi. Tapi virus (corona SARS-CoV-2) tampaknya melakukan sesuatu yang membuat jumlah sel-T berkurang drastis," kata Adrian Hayday dilansir BBC, Jumat (22/5/2020).
Saat diteliti, pasien Covid-19 hanya memiliki 200-1.200 sel-T dalam satu mikroliter (0,001 ml) tetes darah.
Padahal, orang dewasa yang sehat punya sekitar 2.000-4.000 sel-T dalam satu mikroliter tetes darah.
Dari temuan ini, para peneliti akan melakukan uji klinis atau uji coba ke manusia untuk mengevaluasi kinerja obat interleukin 7 apakah dapat membantu pemulihan pasien.
Obat interleukin 7 dikenal dapat meningkatkan jumlah sel-T.
Baca: China Akan Mulai Menggunakan Vaksin Covid-19 pada Akhir Tahun, Meskipun Belum Selesai Diuji Coba
Baca: Punya 3 Jenis Virus Corona dari Kelelawar, Lab di Wuhan Bantah Pandemi Covid-19 Berasal dari Mereka
Para peneliti mengatakan bahwa temuan ini membuka jalan untuk mengembangkan "tes sidik jari" guna memeriksa kadar sel-T dalam darah yang dapat memberikan indikasi awal, siapa yang berisiko mengembangkan penyakit Covid-19 menjadi lebih parah.
Selain itu, hal ini juga memungkinkan pengobatan khusus untuk meningkatkan sel kekebalan, terutama sel-T.
Manu Shankar-Hari, seorang konsultan perawatan klinis di Guy's and St. Thomas Hospital mengatakan bahwa sekitar 70 persen pasien Covid-19 yang menjalani perawatan intensif memiliki 400-800 limfosit per mikroliter.
"Saat pasien pulih, tingkat limfosit naik kembali," tambah Shankar-Hari.
Obat interleukin 7 telah diuji ke sekelompok kecil pasien dengan sepsis dan terbukti aman meningkatkan produksi sel-T.
Baca: Dokter di China Klaim Virus Corona Telah Berubah hingga Mempersulit Penanganan, Bermutasi?
Baca: Kasus Baru di China Tunjukkan Kemungkinan Gejala Virus Corona Bisa Berubah
Untuk diketahui, sepsis atau septicaemia adalah kondisi medis serius ketika terjadi peradangan di seluruh tubuh yang disebabkan oleh infeksi. Sepsis dapat menyebabkan kematian pada pasiennya.
Dalam uji klinis berikutnya, tim akan memberikan interleukin ke pasien dengan jumlah limfosit rendah dan dalam kondisi kritis lebih dari tiga hari.
"Kami berharap, dengan meningkatkan jumlah sel kekebalan maka infeksi virus dapat hilang," ungkap Shankar-Hari.
"Sebagai dokter perawatan intensif, saya menangani pasien-pasien yang kondisinya sangat tidak baik. Selain perawatan pendukung, kami tidak punya penanganan langsung dan aktif untuk melawan penyakit ini."
"Sehingga adanya perawatan seperti ini, dalam konteks uji klinis, sangat memberi semangat para dokter perawatan intensif di seluruh Inggris."
Penelitian ini juga memberi wawasan tentang pengetahuan mengenai interaksi antara virus corona dengan sistem kekebalan tubuh, yang disebut Prof. Hayday sangat penting bagi para ilmuwan di seluruh dunia yang mencari informasi klinis berharga.
"Virus yang menyebabkan perubahan kedaruratan mendunia ini adalah virus yang unik—berbeda. Sama sekali belum pernah terjadi sebelumnya."
"Penyebab pasti gangguan ini - terhadap cara kerja sistem Sel T - belum begitu jelas bagi kami."
"Virus ini benar-benar melakukan sesuatu yang khas dan riset masa depan — yang akan kami mulai segera — perlu mencari tahu mekanisme yang membuat virus ini bisa menimbulkan efek-efek ini."
Baca: Bossman Mardigu Sebut Virus Corona Dibuat oleh Manusia, Ahli Biomolekuler: Buktikan Saja!
Baca: Pakar Ungkap Alasan Mendasar Virus Corona Berasal dari Alam, Bukan Buatan Manusia
(TribunnewsWiki/Tyo/Gloria Setyvani Putri)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Studi Soal Kekebalan Tubuh Beri Harapan dalam Perawatan Pasien Corona"