Padahal hingga berita ini ditulis, kasus positif Covid-19 di AS mencapai 1,5 juta kasus, dengan total lebih dari 90.000 kematian, seperti diberitakan Aljazeera (19/5/2020).
Aljazeera menggabarkan keinginan Trump untuk membuka ekonomi di tengah keadaan genting ini sebagai 'tonggak sejarah yang suram.'
Apa lagi ketika Gedung Putih terus berupaya menyalahkan pihak lain, termasuk ilmuwan, atas banyaknya korban di negara itu.
Trump Ingin Buka Negara Entah Sudah Ada Vaksin atau Belum
Baca: Dihujani Kritik, Presiden Donald Trump Pertimbangkan untuk Danai WHO 10 Persen dari Jumlah Biasanya
Sebelumnya, Trump mengatakan dirinya tetap akan membuka ekonomi Amerika Serikat dengan atau tanpa vaksin.
Hal itu ia sampaikan di sebuah konferensi pers Gedung Putih Rose Garden pada hari Jumat (15/5/2020), seperti diberitakan BBC.
"Saya tidak ingin orang berpikir ini semua tergantung pada vaksin," katanya.
"Vaksin atau tanpa vaksin, kita kembali. Dan kita sedang memulai prosesnya."
"Dalam banyak kasus mereka tidak memiliki vaksin dan virus atau flu datang dan Anda berjuang melewatinya," tambahnya.
"Hal-hal (penyakit) lain belum pernah memiliki vaksin dan mereka pergi."
"Saya pikir sekolah harus kembali pada musim gugur," lanjut Trump.
Baca: Amerika Kewalahan Tangani Covid-19, Kini Donald Trump Harus Jalani Tes Virus Corona Setiap Hari
Trump menyamakan proyek vaksin Covid-19 dengan 'Operation Warp Speed', upaya Perang Dunia II untuk menghasilkan senjata nuklir pertama di dunia.
Trump mengatakan proyek akan dimulai dengan studi pada 14 kandidat vaksin yang menjanjikan untuk mempercepat penelitian.
"Itu berarti besar dan berarti cepat," katanya tentang Operation Warp Speed.
"Sebuah upaya ilmiah, industri, dan logistik besar-besaran tidak seperti apa pun yang telah dilihat negara kami sejak Proyek Manhattan."
Trump menunjuk seorang jenderal Angkatan Darat dan mantan eksekutif kesehatan untuk memimpin operasi.
Ia juga menjalin kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta untuk menemukan dan mendistribusikan vaksin.
Moncef Slaoui, yang sebelumnya memimpin divisi vaksin di perusahaan raksasa farmasi GlaxoSmithKline, akan memimpin misi, sementara Jenderal Gustave Perna, yang mengawasi distribusi untuk Angkatan Darat AS, akan bertindak sebagai chief operating officer.