Mulai Agustus, Obat Covid-19 Buatan Indonesia akan Beredar, Bisa Dibeli di Warung Tanpa Resep Dokter

Penulis: Niken Nining Aninsi
Editor: Putradi Pamungkas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Satu ampul obat Ebola remdesivir ditunjukkan dalam konferensi pers di Rumah Sakit Universitas Eppendorf (UKE) di Hamburg, Jerman, 8 April 2020. Remdesivir kini sedang diuji coba untuk pengobatan Covid-19.

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Pemerintah masih terus berupaya menangani wabah Virus Corona di Indonesia.

Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengungkapkan, pemerintah sedang membuat obat corona atau Covid-19.

Dia mengatakan, hasil penelitian terhadap obat corona ini nantinya paling lambat awal Agustus 2020 sudah bisa keluar.

"Mudah-mudahan nanti paling lama akhir Juli atau awal Agustus itu sudah keluar hasilnya," ujarnya saat teleconference di Jakarta, Sabtu (16/5/2020).

Saat ini, lanjutnya, pemerintah sedang proses uji klinik di rumah sakit di Indonesia atas kandidat obat Covid-19 dengan bukan kategori sintesis melalui resep dokter.

"Memang bukan yang sintetis, sintetis nanti kan harus pakai resep dokter. Mohon maaf kalau bisa misalkan seperti Panadol yang bisa dibeli di warung, di toko-toko, dan tidak perlu pakai resep," kata Rudiantara.

Kendati demikian, meski obat corona nantinya sudah ada juga tidak menghilangkan kemungkinan orang terkena virus tersebut, kecuali sudah ada vaksin.

"Kecuali sudah ada vaksin dan waktunya dikatakan tahun 2021, itupun kemudian akhir tahun. Artinya apa? Selama rentang waktu yang kosong itu, cari cara lain ini," ujarnya.

Baca: Isu Obat Herbal Diklaim Bisa Sembuhkan Corona, Badan POM Beri Klarifikasi

Baca: Ilmuwan China Temukan Dua Antibodi yang Potensial untuk Pengobatan Covid-19

Obat Remdesivir China untuk Tangani Corona Dapat Persetujuan BPOM AS

Dikutip dari CNBC, Rabu (19/4/2020), penasehat kesehatan Gedung Putih Dr Anthony Fauci menjelaskan uji coba obat remdesivir oleh National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) menunjukkan “kabar baik”.

Uji coba tersebut melibatkan sekitar 800 pasien.

Dr Anthony juga mengatakan obat tersebut akan menjadi standar perawatan baru bagi pasien Covid-19 di AS.

Inilah perjalanan pengembangan Remdesivir.

Baca: WHO Sebut Kecil Kemungkinan Peneliti Bisa Temukan Antivirus Corona Sebelum Akhir 2021

Baca: Peneliti Temukan Gejala Baru yang Tidak Ditemukan di Pasien Positif Corona Lainnya

Dikembangkan oleh China

China disebut sedang mengembangkan bermacam obat guna mengobati virus corona, satu diantaranya remdesivir pada Februari 2020 lalu.

China pun sudah mengajukan permohonan untuk mematenkan obat itu.

Mengutip dari Kompas.com, (6/2/2020), Remdesivir pada mulanya dikembangkan oleh Gilead, perusahaan farmasi besar di AS, untuk mengobati pasien Ebola.

Selanjutnya, obat itu diujicoba pada pasien Covid-19.

Hasilnya pasien itu membaik setelah diobati dengan Remdesivir.

Gilead Sciences juga setuju dan mendukung Kementerian Kesehatan China untuk melakukan uji klinis pada obat ini.

Dilansir Tribunnewswiki dari New York Times (6/2/2020), remdesivir diketahui sempat diujikan pada tikus dan kelelawar yang terinfeksi virus corona, termasuk MERS dan SARS.

Kesimpulannya, obat itu dikombinasikan dengan senyawa NHC yang bisa melawan virus corona.

Dalam percobaan tersebut, pihak Direktur Penyakit Menular dan Profesor pediatri di Vanderbilt University School of Medicine menyampaikan, remdesivir dan NHC tampaknya bisa menghalangi replikasi virus dengan mengganggu kemampuan mereka dalam melakukan mutasi genetik.

Disamping itu, obat tersebut dianggap akan efektif apabila diterapkan pada pasien virus corona.

Perlakuan ini dinilai sebagai terapi ganda untuk mencegah dan mengobati penyakit.

Ilmuan akhirnya mengungkap alasan pengembangan vaksin untuk virus corona sangat lambat, WHO: perlu waktu 18 bulan. (YouTube WGBH News)

Percobaan di Kongo

Mengacu pada artikel yang berjudul  "A Randomized, Controlled Trial of Ebola Virus Disease Therapiutitcs" yang terbit dalam The New England Journal of Medicine pada 12 Desember 2019, uji coba dilakukan pada 681 pasien di Kongo.

Ratusan pasien itu mempunya kategori penyakit yang berbeda dari 20 November 2018 sampai 9 Agustus 2019.

Uji coba dilaksanakan dengan empat obat, yaitu antibodi monoklonal tiga ZMapp, antivirus remdesivir, antibodi MAB114, dan antibodi tiga REGN-EB3.

Titik akhir primer riset tersebut yaitu kematian pada 28 hari.

Hasil uji coba menampakkan, kelompok pasien yang diberikan obat MAB114 dan REGN-EB3 mempunyai presentasi kematian yang lebih rendah dibandingkan ZMapp dan remdesivir.

Sukses uji coba pada monyet

monyet (ksdae.menlhk.go.id)

Seiring berjalannya waktu, para peniliti bereksperimen menguji coba obat remdesivir kepada dua kelompok dari enam kera khusus yang sengaja diinfeksi dengan SARS-CoV-2.

Satu kelompok menerima remdesivir, sementara yang lain tidak.

Kelompok yang menerima obat mendapat dosis intravena pertama mereka dalam 12 jam setelah infeksi, selanjutnya terus berlanjut setiap hari selama 6 hari.

Satu dari enam hewan yang dirawat menunjukkan kesulitan bernapas ringan.

Sementara semua enam monyet yang tidak diobati mengalami sesak napas.

Jumlah virus yang ditemukan di paru-paru secara dignifikan lebih rendah pada kelompok yang diobati, dibandingkan dengan kelompok yang tidak diobati.

Disetujui BPOM AS

Bendera Amerika Serikat.(MaxPixel's contributors) (MaxPixel's contributors)

Awalnya remdesivir oleh Gilead Sciences yang berbasis di AS untuk mengobati Ebola.

Selanjutnya obat ini diujikan kembali untuk mengobati Covid-19.

Pasien coronavirus pertama di AS diketahui membaik usai diobati dengan Remdesivir.

Melansir dari Kompas.com, Sabtu (2/5/2020), menyebut Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) telah mengizinkan penggunaan obat ebola, remdesivir untuk pengobatan darurat virus corona.

Dikuti dari BBC, Sabtu (2/5/2020), obat itu bisa digunakan pada orang yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19 yang parah.

Belum lama ini, sebuah uji klinis menunjukkan remdesivir membantu mempersingkat waktu pemulihan pasien yang berada dalam kondisi sakit parah.

Akan tetapi,otorisasi FDA tidak sama dengan persetujuan formal, yang membutuhkan tingkat tinjauan lebih tinggi.

Para ahli pun tak lupa untuk memperingatkan jika obat tersebut yang pada awalnya dikembangkan untuk mengobati penyakit ebola dan diproduksi oleh perusahaan farmasi Gilead, tidak boleh dilihat sebagai satu-satunya alternatif untuk obat virus corona

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Niken Aninsi/Kaka) (Tribunnews.com/Yanuar Riezqi Yovanda)

Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Awal Agustus Akan Beredar Obat Corona Buatan Indonesia, Bisa Dibeli di Warung.



Penulis: Niken Nining Aninsi
Editor: Putradi Pamungkas
BERITA TERKAIT

Berita Populer