Banyak anggota masyarakat yang menyayangkan keputusan Presiden Jokowi tersebut karena dikeluarkan di tengah pandemi virus corona atau Covid-19.
Berdasarkan Perpres No. 64 Tahun 2020, kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut akan mulai berlaku pada 1 juli mendatang untuk kelas I dan kelas II mandiri. Berikut perincian kenaikan iuran tersebut:
- Kelas 1 Rp 150.000
- Kelas 2 Rp 100.000
- Kelas 3 Rp 25.500 (Rp 42.000 dikurangi subsidi pemerintah Rp 16.500)
Kenaikan pada iuran kelas I diketahui hampir 100 persen.
Sebelumnya, pada April-Juni 2020 peserta kelas I hanya membayar Rp80.000, artinya untuk Kelas I naik Rp70.000.
Sementara itu untuk peserta kelas II sebelumnya hanya membayar Rp51.000, sehingga naiknya Rp49.000.
Karena kenaikan tersebut, banyak warganet mengeluh tak mampu membayar iuran.
Baca: Iuran BPJS Kesehatan Naik, Sri Mulyani Sebut Peserta Bisa Turun Kelas III Jika Tak Sanggup Bayar
Baca: Perpres tentang Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Dinilai Bisa Kembali Dibatalkan MA, Ini Alasannya
Lalu muncul pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyuruh peserta turun kelas jika tak mampu.
Sebenarnya bagaimana sebaiknya bagi masyarakat yang tidak mampu bayar?
Apakah turun kelas adalah solusi yang tepat?
Ataukah peserta bisa berhenti dari kepesertaan BPJS?
Penjelasan BPJS Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma'ruf, menyatakan terkait naiknya iuran, peserta bisa menyesuaikan dengan kemampuan membayarnya.
Jika memang masuk kategori tidak mampu bisa melakukan koordinasi dengan Dinas Sosial setempat untuk dapat didaftarkan ke Penerima Bantuan Iuran (PBI), baik pusat maupun daerah.
"Kalau berhenti karena ini program wajib ya enggak bisa," ujarnya pada Sabtu (16/5/2020) dikutip dari Kompas.com.
Iqbal menjelaskan juga tidak bisa berhenti membayar iuran bulanan BPJS. Hal itu akan menyebabkan tunggakan.
"Berhenti membayar berarti ada tunggakan dan kartunya non aktif," kata dia.
Menurut pasal 42 Perpres 64/2020 dijelaskan mengenai denda yang harus dibayarkan pada 2020 adalah 2,5 persen dari perkiraan biaya paket Indonesian Case Based Groups (ICBG).
Sementara itu pada 2021 dendanya naik menjadi 5 persen dari perkiraan biaya paket ICBG.
Lalu untuk mendapatkan layanan lagi saat peserta ingin berobat, maka peserta harus melunasi tagihan lebih dulu.
Baca: Jawab Kritik Soal Kenaikan Iuran BPJS, Istana: Negara Juga Dalam Situasi Sulit
Sebagaimana diketahui, peserta BPJS tidak hanya satu jenis saja.
Menurut laman Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), peserta BPJS Kesehatan ada 2 kelompok yaitu:
Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah peserta Jaminan Kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagaimana diamanatkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang iurannya dibayari Pemerintah sebagai peserta program Jaminan Kesehatan.
Peserta PBI adalah fakir miskin yang ditetapkan oleh Pemerintah dan diatur melalui Peraturan Pemerintah.
Peserta bukan PBI jaminan kesehatan terdiri dari:
- Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya.
- Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya.
- Bukan pekerja dan anggota keluarganya.
Aturan mengenai kenaikan iuran tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Padahal, sebelumnya Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan perpres terkait kenaikan iuran BPJS.
Terkait hal itu, Ketua DPD Partai Nasdem bidang kesehatan Okky Asokawati menilai, perpres tersebut bisa kembali dibatalkan oleh MA.
Hal tersebut karena, menurutnya, materi yang tertuang di Perpres Nomor 64 Tahun 2020 secara substansial tidak berbeda dengan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang telah dibatalkan Mahkamah Agung (MA).
"Secara substansial, materi Perpres 64/2020 tidak jauh berbeda dengan Perpres 75/2019 yang telah dibatalkan MA. Jadi, besar kemungkinan Perpes 64/2020 akan dibatalkan MA," kata Okky dalam keterangan tertulis, Jumat (15/5/2020).
Dilansir oleh Kompas.com, menurut Okky, perbedaan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 dengan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 hanya pada penundaan kenaikan iuran, khususnya di Kelas III pada awal tahun 2021.
Padahal, menurutnya, Mahkamah Agung dalam putusannya membatalkan norma di Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019.
"Nah, di Pasal 34 ayat (1) Perpres 64/2020 hakikatnya sama dengan norma yang dibatalkan oleh MA. Norma saat ini hanya menunda kenaikan kelas III hingga awal tahun 2021. Adapun kelas II dan kelas III hanya dikurangi Rp 10.000 dari rencana sesuai Perpres 75/2019 dan efektif pada awal Juli mendatang," kata Okky seperi dilansir oleh Kompas.com.
Baca: Respon AHY soal Kenaikan Iuran BPJS: Kita Harus Prioritaskan Jaminan Kesehatan untuk Masyarakat
Ia juga mengingatkan, salah satu yang menjadi pertimbangan MA dalam putusan atas pembatalan Perpres Nomor 75 Tahun 2019, karena terdapat kewajiban negara untuk menjamin kesehatan warga serta kemampuan warga negara yang tidak meningkat.
"Dari pertimbangan hakim ini saja, penyusun Perpres 64/2020 ini tampak gagal paham dalam memahami pertimbangan dan putusan MA," ucapnya.
Lebih lanjut, Okky mengatakan, secara objektif, kondisi masyarakat saat ini semakin sulit akibat terdampak pandemi Covid-19.
Kendati demikian, pemerintah malah menerbitkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang menabrak semangat yang terkandung dalam putusan MA terdahulu.
"Saat ini kondisi ekonomi masyarakat justru makin parah dibanding saat MA membatalkan Perpres 75/2019 pada 27 Februari 2020 lalu, dimana Indonesia belum terdampak Covid-19," katanya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perpres Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Dinilai Bisa Dibatalkan MA Lagi" dan "Tak Mampu Bayar Iuran BPJS, Apakah Solusinya Hanya Turun Kelas?"
dan di Tribunnews.com dengan judul Mengeluh Tak Mampu Bayar Iuran BPJS yang Naik saat Pandemi, Adakah Solusi selain Turun Kelas?