Hal tersebut diungkapkan Anies saat wawancara dengan media asing Australia, The Sydney Morning Herald dan The Age dalam artikel yang terbit pada 7 Mei 2020 lalu.
Anies mengungkapkan, pada 6 Januari 2020 setelah mendengar berita tentang kasus virus corona pertama yang terjadi di Wuhan, dirinya mengaku langsung mengambil tindakan.
"Kami sudah mulai mengadakan pertemuan dengan semua rumah sakit di Jakarta, memberi tahu mereka tentang [apa] pada waktu itu kami menyebut 'pneumonia Wuhan' - belum ada COVID,” katanya seperti ditulis dalam The Sydney Morning Herald.
Nomor hotline dibuat untuk 190 rumah sakit di Jakarta untuk menelepon dalam kasus yang dicurigai.
"Jumlahnya terus meningkat pada bulan Januari, pada bulan Februari, dan kemudian segera kami menetapkan keputusan pemerintah ... untuk semua orang di kantor kami - di pemerintah provinsi - mereka semua diberi tugas untuk menangani COVID ini," kata Anies.
Baca: Anies Baswedan Tetapkan Sanksi Denda Pelanggar PSBB Jakarta, Mulai Rp 250 Ribu hingga Rp 10 Juta
Baca: Menkeu Ungkap Anies Angkat Tangan soal Bansos ke 1,1 Juta Warganya: Seluruhnya Diminta Dicover Pusat
Berdasarkan hasil pantauan Pemprov DKI, kasus yang dicurigai terkait Covid-19 itu terus meningkat.
Namun, Pemprov DKI saat itu tidak diizinkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium terkait Covid-19.
"Dan kemudian ketika jumlahnya mulai naik terus, pada waktu itu kami tidak diizinkan melakukan pengujian. Jadi, setiap kali kami memiliki kasus, kami mengirimkan sampel ke lab nasional [yang dikendalikan pemerintah]. Dan kemudian lab nasional akan menginformasikan, positif atau negatif. Pada akhir Februari, kami bertanya-tanya mengapa semuanya negatif,” katanya.
"Pada waktu itu saya memutuskan untuk go public dan saya katakan kami telah memantau, ini adalah angkanya. Segera itu semacam ditanggapi oleh Kementerian [Kesehatan] yang mengatakan kami tidak memiliki kasus positif."
Sepanjang Januari dan Februari, Menteri Kesehatan Terawan Agus berulang kali menyangkal Indonesia memiliki kasus coronavirus - meskipun ada banyak bukti yang bertentangan - karena "kekuatan doa", sementara Presiden Joko Widodo telah mengakui menahan informasi dari masyarakat untuk menghindari kepanikan.
Sementara Indonesia sekarang melaporkan angka-angka virus korona setiap hari, Anies membantah pandangan optimis pemerintah nasional bahwa negara ini telah melalui yang terburuk.
Dalam wawancara tersebut, Anies juga membantah klaim pemerintah pusat yang menyatakan bahwa Indonesia “meratakan kurva” infeksi dan sebaliknya, Anies mengklaim bahwa sesungguhnya jumlah kasus Covid-19 jauh lebih tinggi daripda yang diungkapkan pemerintah pusat.
"Saya belum yakin apakah kita akan merata. Kita harus menunggu beberapa minggu ke depan untuk menyimpulkan apakah tren itu sedang merata atau kita masih bergerak naik," katanya.
Baca: Warga Masih Nekat Mudik, Anies: Kalau Mudik Belum Tentu Bisa Kembali ke Jakarta dalam Waktu Singkat
Gugus tugas COVID-19 Indonesia telah menyarankan kehidupan "normal" - atau perkiraan - dapat dilanjutkan pada bulan Juni atau Juli.
Tanggal target itu sekarang tampaknya ‘tergelincir’ ke Agustus.
"Mengapa saya tidak ingin membuat prediksi? Karena saya melihat data, itu tidak mencerminkan sesuatu yang akan segera berakhir. Itulah yang dikatakan oleh para ahli epidemiologi. Ini adalah waktu di mana para pembuat kebijakan perlu mempercayai ilmu pengetahuan,” kata Anies.
Gubernur juga menyatakan frustrasi dengan pemerintah nasional - dan khususnya dengan Kementerian Kesehatan - karena kurangnya transparansi.
"Dari pihak kami, bersikap transparan dan memberi tahu [orang] apa yang harus dilakukan adalah memberikan rasa aman. Tetapi Kementerian Kesehatan merasakan sebaliknya, bahwa transparan akan membuat panik. Itu bukan pandangan kami."
Untuk mendukung klaimnya bahwa Jakarta memiliki lebih banyak kasus daripada angka resmi ibu kota yaitu 4.770 infeksi dan 414 kematian, Anies mengutip kenaikan tajam dalam jumlah pemakaman - 4.300 layanan pada paruh kedua Maret, 4.590 pada April.