Hokkaido menjadi daerah pertama di Jepang yang menyatakan keadaan darurat akibat Covid-19.
Setelahnya, sekolah mulai ditutup, pertemuan besar dibatalkan, dan orang-orang mulai didorong untuk beraktivitas dari rumah saja.
Selain itu, Hokkaido juga melakukan pelacakan siapa saja yang telah melakukan kontak dengan pasien positif Covid-19, seperti diberitakan BBC, Jumat (17/4/2020).
Baca: Peneliti Sebut Lockdown Tak Cocok Diberlakukan di Afrika: Kebijakan Harus Disesuaikan Masyarakat
Baca: Jepang Darurat Corona, Pikotaro Ubah Lirik Pen Pineapple Apple Pen Menjadi Lagu Ajakan Cuci Tangan
Kebijakan itu berhasil menekan angka penularan.
Status keadaan darurat dicabut pada 19 Maret.
Sementara itu, sekolah mulai dibuka pada awal April.
Akan tetapi, hanya 26 hari setelah keadaan darurat dicabut, Hokkaido harus memberlakukannya kembali.
Gelombang kedua Covid-19 menyebar di daerah itu.
Mengapa hal demikian bisa terjadi?
Hokkaido cukup mudah mengendalikan wabah karena mereka terserang di awal, sehingga masih bisa mengendalikan ketika angka belum begitu tinggi.
"Relatif mudah untuk menangani cluster, untuk melacak jejak dan mengisolasi," kata Profesor Kenji Shibuya dari King's College London.
"Pihak berwenang cukup sukses dalam pendekatan kontrol cluster mereka. Jepang berada pada fase paling awal dari wabah saat itu. Itu dilokalkan dan itu adalah kisah sukses."
Baca: Tak Lakukan Lockdown, Korea Selatan Punya Cara Tersendiri Tekan Laju Penularan Covid-19
Baca: 91 Pasien di Korea Selatan Positif Covid-19 Lagi Setelah Dinyatakan Sembuh, Ada Kemungkinan Kambuh
Dalam hal ini, Hokkaido memiliki beberapa kesamaan dengan apa yang terjadi di kota Daegu, Korea Selatan.
Di sana, penyebaran wabah dilacak secara massif.
Mereka yang terinfeksi diisolasi dan angka penularan ditekan.
Tapi tindakan kedua dari Hokkaido jauh lebih tidak meyakinkan.
Setelah wabah Daegu, pemerintah Korea Selatan memulai program pengujian besar-besaran untuk mencoba dan melacak epidemi.
Jepang telah melakukan yang sebaliknya.
Bahkan sekarang, lebih dari tiga bulan setelah Jepang mencatat kasus pertama, masih hanya menguji sebagian kecil dari populasi.