Dirawat selama 6 Pekan, Penulis Chile Luis Sepulveda Meninggal karena Covid-19

Penulis: Febri Ady Prasetyo
Editor: Ekarista Rahmawati Putri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Luis Sepulveda pada 2009

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Penulis asal Chile, Luis Sepulveda, meninggal dalam usia 70 tahun pada Kamis (16/4/2020) di Asturias, Spanyol, karena terjangkit covid-19.

Sebelumnya, Luis Sepulveda dirawat selama enam pekan semenjak mengalami gejala virus corona pada 25 Februari lalu.

Dilansir dari France24, surat kabar setempat melaporkan Sepulveda berada dalam kondisi kritis per 10 Maret.

Namun, tidak ada keterangan mendetail yang diwartakan ke publik karena permintaan keluarga.

Presiden wilayah otonom Asturias, Adrian Barbon, turut mengucapkan belasungkawa pada penulis itu melalui akun Twitter.

"Tenaga medis melakukan segalanya untuk menyelamatkan hidupnya. Belasungkawa saya untuk istri dan putra, keluarga dan teman-temannya," tulis Adrian Barbon.

Mengutip Lavanguardia, Sepulveda mengalami gejala covid-19 setelah pulang dari festival sastra Correntes d'Escritas in Póvoa de Varzim di Portugal.

Dia kemudian dirawat di sebuah rumah sakit di Oviedo, Asturias.

Baca: WHO Kehilangan Sumbangan Rp 6,3 Triliun dari AS di Tengah Pandemi Covid-19, Bill Gates: Bahaya

Baca: Presiden Donald Trump Klaim AS Telah Lewati Puncak Pandemi Covid-19 dan Siap Cabut Lockdown

Luis Sepulveda di Italia pada 2013 (Associazione Amici di Piero Chiara (CC-BY-SA))

Mulai 10 Maret, Sepulveda juga dikabarkan mengalami koma dan menggunakan alat bantu pernapasan karena kegagalan pernafasan dan banyak organ lainnya.

Sementara itu, diberitakan oleh The Guardian, penulis novel masyhur The Old Man Who Read Love Stories itu sudah mengalami gejala sejak 25 Februari dan dikonfirmasi positif covid-19 pada 1 Maret.

Sepulveda menjadi pasien terkonfirmasi positif covid-19 pertama di wilayah Asturias.

Lahir pada 1949 di Ibu Kota Chile, Santiago, Sepulveda sudah menjadi aktivis politik sejak muda.

Dia begabung di Pemuda Komunis Chile, kemudian partai Sosialis.

Mulai 1973, dia dipenjara selama 2,5 di bawah rezim militer Pinochet karena alasan pengkhianatan.

Namun, dia akhirnya menjadi tahanan rumah karena intervensi Amnesty International.

Sepulveda kemudian melarikan diri dan bersembunyi selama hampir setahun sebelum ditangkap kembali dan divonis 28 tahun penjara.

Dibantu oleh Amnesty, hukumannya diubah menjadi pengasingan selama delapan tahun.

Ketika pergi ke Swedia pada 1977 untuk mengajar sastra Spanyol, dia melarikan diri dan menuju Paraguay.

Setelah meninggalkan negaranya, dia pergi ke berbagai negara di Amerika Latin.

Dia juga sempat berpartisipasi dalam proyek ekspedisi UNESCO di Amazon.

Di sana, Sepulveda hidup bersama orang Shuar dan memasukkan pengalamannya ke dalam novel The Old Man Who Read Love Stories.

Sepulveda pernah bekerja di Greenpeace dan mulai 1996 pindah ke Asturias bersama istrinya, Carmen Yanez.

Dia juga tidak pernah kembali lagi ke kampung halamannya di Chile.

Perkembangan terbaru pasien kasus covid-19

Perkembangan terbaru pasien virus corona di seluruh dunia hingga 16 April 2020, total mencapai 2.049.888 kasus.

Sementara itu, jumlah korban meninggal dunia mencapai 133.572 orang.

Kabar terbaru ini sejalan dengan meningkatnya angka jumlah pasien sembuh yang mencapai 510.486 orang.

Pantauan Tribunnewswiki.com dari data John Hopkins University, Kamis (16/4/2020) pukul 06.09 WIB ini juga menyebut virus corona telah menyebar ke 185 negara di dunia.

Baca: New York Beri Sinyal Akan Cabut Lockdown COVID-19, Buka Kembali Bisnis dan Sekolah

Dampak Penerapan Lockdown di Afrika Selatan

Sekelompok remaja berusia 16 tahun-an dilaporkan melarikan diri dengan lima mesin kasir, uang, dan bahan makanan setelah menyerbu sebuah supermarket di Gatesville, Athlone, Cape Town, Afrika Selatan, pada Selasa (14/4/2020) sore.

Sesuai konfirmasi polisi, dilaporkan empat orang telah ditangkap.

Kasus penjarahan uang dan makanan di tengah diberlakukannya lockdown merupakan satu dari tiga insiden yang sedang ditelurusi polisi Afrika Selatan dengan menyebarkan anggotanya di sejumlah tempat.

Ratusan warga Afrika Selatan turun ke jalan, melempari batu, membuat barikade dengan membakar ban merespons tak tersalurkan bantuan paket makanan di tengah diberlakukannya lockdown. (RODGER BOSCH / AFP)

Adapun kasus pencurian, penjarahan, dan kekerasan semakin menguat di tengah penerapan kebijakan lockdown yang memasuki minggu ke-5 di Afrika Selatan.

Cuplikan foto insiden di supermarket Shoprite, yang berlangsung pada Selasa (14/4) pukul 14.40 waktu setempat menunjukkan banyak orang berlarian dari supermarket membawa keranjang, menaruh barang ke troli, lalu melarikan diri.

Juru Bicara Kepolisian, Brigadir Novela Potelwa menyebut bahwa polisi di wilayah Athlone telah menangkap empat tersangka berusia 21 dan 24 tahun bersama dengan barang curian sebagai bukti.

Sementara itu, di wilayah Manenberg, sekitar 5 km dari lokasi kejadian, kerumunan massa dilaporkan turun ke jalan, masuk ke dua supermarket, dan menjarah sejumlah barang-barang.

"Polisi sedang melakukan operasi untuk menelusuri orang-orang yang mencuri barang," kata Novela Potelwa.

Krisis di Afrika Selatan

Pemimpin komunitas Western Cape, Afrika Selatan, Albert Fritz mengutuk aksi penjarahan tersebut.

"Saat ini, kita sedang menghadapi krisis kemanusiaan akibat lockdown dan timbulnya tantangan ekonomi, (aksi tersebut) hanya akan memperburuk perekonomian nasional lebih lanjut," katanya.

Baca: Rata-Rata Infeksi COVID-19 di New York Menurun, Gubernur Andew Cuomo: Hal Terburuk Telah Berakhir

Terlihat warga Afrika Selatan berlarian di depan kendaraan polisi (RODGER BOSCH / AFP)

"Ini adalah perjuangan bagi banyak orang (di Afrika Selatan) untuk bisa makan," imbuhnya.

Fritz menambahkan bahwa pemerintah provinsi telah mengambil sejumlah kebijakan untuk mengirim sebanyak mungkin bantuan.

"Aku harus jelaskan di sini, bahwa tidak ada toleransi untuk aksi penjarahan," tegasnya.

Sementara itu, tiga orang telah ditangkap menyusul protes sporadis yang terjadi di daerah Tafelsig.

"Kerumunan besar massa turun ke jalan sebagai bentuk protes atas tak tersalurkannya paket makanan ke beberapa komunitas warga di Mitchells Plain. Ban dibakar, jalan dibarikade dan polisi dilempari batu, " kata Potelwa.

Baca: EKSKLUSIF, Curahan Hati Waria Lansia Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) saat Pandemi COVID-19

Terlihat sejumlah aparat kepolisian dan kendaraannya berada di jalanan kota Cape Town, Afrika Selatan. Kepolisian dilaporkan menembakkan peluru karet dan gas air mata kepada para demonstran (RODGER BOSCH / AFP)

Potelwa memperingatkan warga lainnya untuk tidak ikut serta dalam aksi yang berpotensi melanggar tindak pidana tersebut.

"Polisi sepenuhnya tak akan ragu untuk mengambil tindakan tegas bagi mereka yang melanggar hukum. Pasukan kami akan tetap berada di lokasi kejadian sampai berhasil memulihkan ketenangan," imbuhnya.

Bentrokan Warga dan Polisi

Terjadi bentrokan antara warga dan polisi saat diberlakukannya lockdown di Afrika Selatan.

Bentrokan yang terjadi Selasa, (14/4/2020) ini melibatkan ratusan orang warga yang bertempur dengan polisi.

Ratusan warga yang dilaporkan marah dan lapar ini melempari batu dan membuat barikade dengan membakar ban di sepanjang jalan Mitchells Plain, kota Cape Town, Afrika Selatan.

Merespons aksi tersebut, kepolisian Afrika Selatan menembakkan peluru karet dan gas air mata yang mengenai sejumlah demonstran.

Sebab turunnya ratusan warga di jalanan dilaporkan karena tidak terkirimnya paket bantuan makanan.

"Kami punya anak kecil. Kami ingin makan. Mereka juga harus makan," kata seorang ibu, warga Afrika Selatan, Nazile Bobbs.

"Mereka bilang kita akan mendapatkan paket makanan, mana buktinya? Sampai kapan kita terus di-lockdown?" ucapnya marah.

Terlihat sejumlah orang berlarian membawa troli berisi barang-barang hasil curian di sebuah supermarket di Afrika Selatan (Tangkapan Layar News24)

Perlu diketahui, Afrika Selatan saat ini sedang menerapkan lockdown selama 5 minggu untuk menahan penyebaran COVID-19.

Adapun kasus infeksi di Afrika Selatan sudah tembus angka 2.400 orang.

Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa sebelumnya berjanji untuk menyediakan kebutuhan pokok bagi warganya.

Kebutuhan yang dimaksud seperti air mineral dan makanan untuk kalangan menengah ke bawah.

Di negara yang pernah menyelanggarakan piala dunia ini, banyak warganya yang bekerja di sektor ekonomi informal.

Semua pekerja informal ini dilaporkan tidak dapat membuka usaha mereka dan terancam kehilangan pendapatan karena lockdown yang mulai berlaku pada 27 Maret.

Sementara itu, seorang pemimpin masyarakat Afsel, Liezl Manual menyebut aksi yang terjadi merupakan respons 'frustasi dan keingintahuan' dari warga terkait paket bantuan makanan mereka.

Liezl menilai banyak warga keluar rumah didorong rasa lapar dan keinginan menagih janji yang pernah diberikan pemerintah.

"Saya pikir, Presiden Ramaphosa tidak melakukan sesuatu," kata seorang warga lainnya, Denise Martin.

Ia menambahkan,"(Pemerintah) lebih suka warganya mati karena virus corona daripada mati kelaparan di rumah-rumah kita."

Beberapa pejabat di Afrika Selatan dilaporkan mulai kewalahan akan lonjakan kebutuhan.

Lembaga departemen pemerintah yang bertanggung jawab untuk mendistribusikan makanan menyebut warga Afsel sangat membutuhkan bantuan.

"Banyak warga khususnya yang tak mampu sangat membutuhkan bantuan, sehingga beberapa dari mereka yang seharusnya tak memperolah makanan menganggap dapat bantuan dari kami," kata Busisiwe Memela-Khambula CEO SA Social Security Agency (Sassa), sebuah departemen pemerintah yang bertanggung jawab untuk mendistribusikan bantuan makanan

Departemen tersebut biasanya membantu para penyandang cacat, mereka yang tak mendapatkan jaminan sosial atau secara umum kalangan tak mampu di Afrika Selatan.

"Namun, sayangnya sekarang semua orang mengalami kesulitan," katanya di televisi lokal.

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Febri/Dinar)



Penulis: Febri Ady Prasetyo
Editor: Ekarista Rahmawati Putri
BERITA TERKAIT

Berita Populer