Selama ini, proses pengajuan PSBB oleh pemerintah daerah seringkali terhambat oleh proses birokrasi yang berbelit ketika sampai di pemerintah pusat.
Akibat aturan yang berbelit, tidak sedikit beberapa PSBB yang diajukan oleh pemerintah daerah tak mendapat lampu hijau oleh pemerintah pusat via Kementerian Kesehatan.
Baca: Terus Lakukan Pengkajian, Kini Pemerintah Pertimbangkan Beri Diskon Listrik bagi Pelanggan 1.300 VA
Padahal, pada saat yang bersamaan, semua pemeritntah daerah di Indonesia sedang berjibaku dengan waktu dan melakukan segala upaya, daya serta tindakan pencegahan penyebaran dengan skala yang lebih luas di wilayahnya masing-masing.
Dikutip Tribunnewswiki.com dari Kompas.com, rumit dan lambannya perizinan PSBB pun mendapat sorotan dari Komnas HAM.
Salah satu Komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam mengatakan pemberian izin PSBB dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah perlu dievaluasi, mengingat persebaran virus Corona semakin masif dan luas.
"Itu (perizinan PSBB) yang perlu dievaluasi. Sehingga setiap upaya dari pemda untuk melakukan pencegahan dan penuntasan kasus ini enggak usah dipending," kata Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam, Selasa (14/4/2020).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, terdapat sejumlah kriteria khusus yang harus dipenuhi daerh untuk dapat menerapkan PSBB.
Data jumlah kasus dan atau kematian akibat Covid-19 meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat menjadi beberapa patokan dalam penentuan PSBB di daerah.
Kriteria lainnya adalah terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah ataupun negara lain.
Baca: PSBB Kota Depok Berlaku Hari Ini, Ada Aturan untuk Kendaraan Pribadi hingga Warga Diberi Bantuan
Choirul Anam pun menilai, penyebaran virus corona jauh lebih cepat dibandingkan penghitungan dan persiapan daerah untuk menetapkan PSBB.
Jika upaya PSBB yang ingin diterapkan oleh pemerintah daerah diperlambat, maka dikhawatirkan penyebaran Covid-19 kian masif dan semakin menyebar ke pelosok negeri.
Choirul Anam pun meminta agar syarat PSBB tidak terlalu rumit, mengingat laju persebaran Covid-19 yang cepat.
"Maka, penting bagi pengambil kebijakan, (untuk tidak) membuat suatu daerah menerapkan PSBB dengan syarat yang ketat dan berbelit-belit," imbuh dia.
"Soalnya begini, kalau syaratnya terlalu ketat, kalau misalnya dibutuhkan peta soal endemi, kalau semangatnya mereka mau melakukan pencegahan karena misalnya mereka daerah transit, kan tidak harus ada endemi dulu."
"Bisa jadi endemi itu dilihat dari tetangganya masing-masing," imbuh Choirul.
Lebih jauh, ia menambahkan, kesiapan setiap daerah dalam menghadapi Covid-19 berbeda-beda, dari segi fasilitas kesehatan, tenaga medis, alat pelindung diri, hingga obat-obatan yang dibutuhkan untuk menyembuhkan pasien.
Dengan adanya perbedaan itu, Choirul menilai, seharusnya pemerintah pusat tidak bisa menyamaratakan suatu ketentuan antara daerah satu dengan daerah yang lain. Untuk diketahui, ada tiga daerah yang sebelumnya belum dikabulkan permohonan terkait usulan PSBB.
Baca: Perusahaan Nekat Buka saat PSBB, Siap-siap Kena Sanksi Gubernur Anies Baswedan: Izin Bisa Dicabut
Ketiga daerah itu yakni Kota Sorong, Papua Barat; Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur; dan Kota Palangkaraya, Kalimantan Timur.
Adapun daerah yang telah disetujui usulan PSBB-nya antara lain DKI Jakarta; Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan Kota Depok di Jawa Barat; Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan di Banten; serta Kota Pekanbaru di Riau.
Selain PSBB yang masih berbelit-belit, pemerintah pusat juga terlalu lunak dalam membuat keputusan terkait pelarangan mudik.
Meski sektor pertanian sangat krusial bagi keberlangsungan hidup masyarakat selama masa pandemi, nyatanya proteksi untuk sektor tersebut belum lah dilakukan secara maksimal oleh pemerintah.
Tidak adanya larangan mudik bagi para perantau dari Jabodetabek atau zona merah Covid-19 menuju daerah asalnya, tentu akan berdampak signifikan, mengingat jikalau daerah yang selama ini menjadi penyangga ketersediaan stok pangan perkotaan pun ikut terjangkit infeksi virus Corona.
Baca: Nekat Mudik ke Yogyakarta, Siap-siap Hadapi Sederet Peraturan Rumit Berikut Ini
Menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, pemerintah masih terlalu menggunakan orientasi ekonomi dalam mengambil kebijakan terkait mudik Lebaran.
Hal ini tidak sesuai dengan protokol kesehatan yang telah disusun selama ini.
Sebagai contoh, Juru Bicara Pemerintah tentang Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto dalam setiap kesempatan selalu menyampaikan agar masyarakat menghindari melakukan perjalanan mudik karena dikhawatirkan mereka akan menjadi carrier virus corona yang justru akan mengancam keluarga di daerah yang rentan, seperti orang tua maupun mereka yang memiliki imunitas rendah.
"Jika pemerintah memaksakan mudik Lebaran sekalipun dengan istilah pengendalian ketat, maka hal itu akan berisiko tinggi, yakni episentrum virus corona akan menyebar dan berpindah ke daerah," kata Tulus dalam keterangan tertulis.
Pemerintah, imbuh dia, seharusnya dapat memiliki pertimbangan jangka panjang, apabila masyarakat di daerah atau desa yang tidak memiliki fasilitas kesehatan yang memadai terinfeksi Covid-19.
Sebagai contoh, bila ada petani atau peternak yang terinfeksi, maka hal itu dapat memengaruhi pasokan logistik ke daerah urban.
Baca: Kementerian Pertanian Jamin Stok Daging Aman, Sebut Petani sebagai Pejuang di Masa Pandemi Corona
Padahal, saat ini tidak sedikit daerah urban yang memiliki banyak kasus positif Covid-19 dan menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Masyarakat di daerah urban atau perkotaan, imbuh Tulus, membutuhkan pasokan logistik yang lancar dari petani dan peternak di daerah.
Ketika para petani dan peternak di daerah pedesaan ikut tumbang akibat virus corona yang dibawa perantau, maka ketahanan pangan di zona urban atau perkotaan pun dalam ancaman
"Siapa yang akan memasok logistik, jika petani tumbang karena terinfeksi virus corona oleh para pemudik?" tegas Tulus.
Baca: Pemerintah Tak Larang Mudik, YLKI: Jika Daerah Ikut Terinfeksi Corona, Siapa Pasok Logistik ke Kota?
Selain itu, ia meragukan kemampuan aparat dalam mengawal kebijakan pembatasan yang akan diterapkan nantinya.
"Yang terjadi di lapangan, polisi akan kompromistis alias membiarkan pemudik motor berpenumpang dua orang atau lebih untuk jalan terus ke kampung halamannya."
Artikel ini sudah tayang di Kompas.com dengan judul "Komnas HAM Minta Aturan Pengajuan PSBB Dievaluasi, Jangan Tunggu Penyebaran Covid-19 Makin Masif".