Informasi awal
TRIBUNNEWSWIKI.COM - Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana, dan presiden Burundi, Cyprian Ntayamira, tewas setelah pesawat yang ditumpanginya jatuh pada 6 April 1994.
Pesawat ini jatuh setelah ditembak dan menewaskan 12 orang yang dibawanya, di antaranya kedua presiden tersebut.
Sebelumnya, Juvenal Habyarima dan Cyprian Ntayamira baru saja kembali dari sebuah pertemuan di Tanzania.
Mereka bersama para pemimpin Afrika Timur dan Tengah membahas cara mengakhiri kekerasan etnis di Burundi dan Rwanda.
Kematian kedua presiden itu memperburuk situasi di kedua negara.[1]
Baca: Hari Ini Dalam Sejarah, 5 April 1994, Legenda Musik Rock Modern, Kurt Cobain Meninggal Bunuh Diri
Baca: Hari Ini Dalam Sejarah, 3 April 2018, Tak Puas atas Kebijakan, YouTuber Ini Tembaki Kantor YouTube
Asal-usul ketegangan etnis
Jerman datang ke Rwanda pada 1894 dan berkuasa melalui raja bangsa Tutsi dan memasukkan wilayah Hutu yang independen ke dalam administrasinya.
Namun, setelah Perang Dunia I, Rwanda menjadi mandat Belgia dan juga berkuasa melalui raja Tutsi.
Pada 1920-an, Belgia pernah memberhentikan raja karena menghalangi rencana, kemudia memilih kandidatnya sendiri
Kebijakan Belgia di Rwanda rasis dan memfavoritkan etnis Tutsi.
Belgia bahkan melembagakan kartu identitas yang menandai pemiliknya sebagai etnis Tutsi, Hutu, atau Twa.
Hutu melakukan resistensi, tetapi berhasil ditekan dengan sangat keras.
Mereka yang memberontak diamputasi dan dimutilasi oleh otoritas Belgia dan dilaksanakan oleh orang Tutsi.
Pada 1950-an, gerakan perlawan dari Hutu menguat dan Belgia memutuskan memberikan kemerdekaan pada 1961 dan mengizinkan pemilihan umum yang bebas.
Pemilihan tersebut dimenangkan Party for Hutu Emancipation (PARMEHUTU) dan mulai ada persekusi terhadap Tutsi.
Burundi kemudian memisahkan diri dari Rwanda pada 1962 dan tetap di bawah kendali Tutsi.
Setahun kemudian para pengungsi Tutsi di Burundi menyerbu Rwanda dan berusaha mengambil alih ibu kotanya, Kigali.
Pemerintahan PARMEHUTU mengalahkan mereka dan ganti membalas dendam pada etnis Tutsi.
Pada 1973, Jenderal Juvenal Habyarimana menjadi presiden dan membangun rezim otoriter dan sentralistik.
Kebijakan rasis juga diberlakukan, orang Tutsi dilarang masuk tentara dan pernikahan antara orang Tutsi dan Hutu dilarang.[2]
Pada 1990, pasukan Rwandese Patriotic Front (RPF), mayoritas terdiri dari pengungsi Tutsi, menyerbu Rwanda dari Uganda.
Habyarimana menuduh orang-orang Tutsi sebagai kaki tangan RPF dan menangkat ratusan dari mereka,
Antara 1990-1993 juga terjadi pembantaian terhadap orang-orang Tutsi.
Habyarimana kemudian menandatangani sebuah penjanjian di Tanzania yang menginginkan pembentukan pemerintahan transisi yang akan menyertakan RPF.
Namun, pembagian kekuasaan ini membuat marah para ekstremis Hutu.[3]
Presiden Rwanda dan Burundi tewas dan dimulainya pembantaian
Pada 6 April 1994, sebuah pesawat yang membawa Habyarimana dan Cyprien Ntaryamira ditembak jatuh di atas Kigali.
Sebelumnya, Juvenal Habyarima dan Cyprian Ntayamira kembali dari sebuah pertemuan di Tanzania.
Mereka bersama para pemimpin Afrika Timur dan Tengah membahas cara mengakhiri kekerasan etnis di Burundi dan Rwanda.
Semua yang berada di pesawat, 10 orang, tewas dan tidak ada pihak yang dinyatakan sebagai pelaku.
Beberapa menuduh ekstremis Hutu sebagai pelaku, sementara yang lainnya menyalahkan para pemimpin RPF.
Sejam setelah pesawat jatuh, Pengawal Presiden bersama tentara Rwanda dan milisi Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe dan Impuzamugambi mulai membantai orang-orang Tutsi.
Di antara korban-korban awal adalah Perdana Menteri Hutu Agathe Uwillingiyimana dan 10 penjaga perdamaian dari Belgia.
Pembunuhan penjaga perdamaian ini membuat pasukan Belgia menarik diri.[4]