Peneliti Imperial College, London, memprediksi dalam tahun ini sebanyak 20 juta orang terancam tertular, meski orang-orang telah melakukan social distancing.
Para peneliti itu mengungkapkan, jika tanpa social distancing, Covid-19 bisa menginfeksi sebanyak 40 juta orang di seluruh penjuru dunia, seperti diberitakan South China Morning Post, Selasa (31/3/2020).
Akan tetapi, jumlah itu bisa dikurangi hingga setengahnya apabila orang mau membatasi aktivitas sosialnya.
Mereka juga mengatakan bahwa langkah-langkah yang lebih tegas dapat mengurangi korban lebih lanjut.
Para peneliti tersebut menghitung jika social distancing yang lebih intensif dan berskala luas diterapkan lebih awal dan berkelanjutan (dengan memotong 75 persen dari tingkat kontak antarpribadi) maka akan ada 38,7 juta jiwa yang terhindar dari Covid-19.
Dalam studi mereka yang dipublikasikan Jumat lalu, mereka memasukkan sejumlah skenario, seperti apa yang akan terjadi jika dunia tidak mengambil tindakan untuk melawan virus corona, yang kini telah menginfeksi lebih dari 700.000 orang dan menyebabkan lebih dari 34.000 kematian.
Baca: Baru 92 Persen, Pemerintah Undur Target Penyelesaian RS Corona Pulau Galang hingga 5 April 2020
Baca: Perkiraan 2 Juta Orang Lebih Perlu Perawatan, Begini Skenario Terburuk Virus Corona di Indonesia
Model ini juga mencakup dua skenario menggabungkan jarak sosial, serta beberapa skenario untuk menekan penyebaran penyakit.
Dalam memproyeksikan dampak kesehatan pandemi di 202 negara, para peneliti dari Imperial College Covid-19 Response Team mengumpulkan data tentang pola kontak yang dilakukan oleh orang pada usia tertentu.
Selai itu, pihaknya juga mengumpulkan data keparahan Covid-19.
Baca: Jokowi Tetapkan Status Darurat Kesehatan Masyarakat, Terapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Baca: RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
"Satu-satunya pendekatan yang dapat mencegah kegagalan sistem kesehatan dalam beberapa bulan mendatang kemungkinan adalah langkah-langkah jarak sosial intensif yang saat ini sedang dilaksanakan di banyak negara yang paling terkena dampak," kata studi tersebut, dikutip SCMP.
“Intervensi ini mungkin perlu dipertahankan pada tingkat tertentu bersamaan dengan tingkat pengawasan yang tinggi dan isolasi kasus yang cepat.”
Proyeksi Imperial College menunjukkan bahwa negara-negara berpenghasilan tinggi bisa lebih banyak mengurangi angka kematian dan beban pada sistem kesehatan.
Dengan catatan, jika mereka mengadopsi langkah-langkah jarak sosial yang lebih ketat.
Para peneliti berpendapat bahwa demografi dan kualitas fasilitas kesehatan bisa menjadi faktor mempengaruhi.
Studi tersebut mengatakan bahwa jarak sosial intensif kemungkinan memiliki dampak terbesar ketika diterapkan lebih awal.
Penelitian Obat untuk Covid-19
Sementara social distancing terus digalakkan, para ahli di berbagai negara melakukan penelitian untuk menguji obat demi melawan virus corona.
Akan tetapi, para ahli lebih memilih untuk menggunakan obat yang sudah ada sebelumnya, dari pada membuat yang baru.
Diberitakan TribunnewsWiki.com dari South China Morning Post, Selasa (24/3/2020), mengembangkan obat baru biasanya memakan waktu bertahun-tahun.
Karenanya, para ilmuwan berlomba melawan waktu untuk menggunakan kembali obat yang sudah ada.
Apa lagi, beberapa obat yang sudah ada memiliki potensi untuk menyembuhkan Covid-19.
Baca: Ekonom INDEF: Pangkas Gaji dan Tunjangan Pejabat agar Perekonomian Tak Jatuh Karena Wabah Corona
Baca: Perjuangan Petugas Dinkes Sumut Telusuri Mata Rantai ODP Corona, Sulit Gali Informasi hingga Diancam
Ketika pandemi melanda lebih banyak negara di seluruh dunia dan jumlah kematian meningkat, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengidentifikasi empat obat yang memiliki peluang bisa sembuhkan Covid-19.
Keempat obat itu antara lain, remdesivir, obat untuk mengobati Ebola; kombinasi dua obat HIV, lopinavir dan ritonavir; juga koktail lopinavir dan ritonavir plus interferon beta; serta obat antimalaria klorokuin.
Gilead Sciences menyebut remdesivir sebagai obat yang memiliki peluang kuat.
Diketahui ada lima uji klinis besar yang tengah dilakukan untuk meneliti obat ini.
Hasil dari penelitian tersebut bisa diketahui pada April mendatang.
Sementara itu, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS mengatakan obat intravena bisa menghambat replikasi virus.
Tetapi uji klinis akan sangat penting untuk menentukan efektivitas dan keamanan obat tersebut.
Menurut informasi di situs web WHO, percobaan terakhir obat untuk mengobati Ebola menunjukkan kemungkinan keracunan hati.
Baca: Rusia Lakukan Uji Vaksin Covid-19 pada Musang dan Primata, Bulan Juni Siap Diuji pada Manusia
Baca: Dulu Indonesia, Kini Fakta Kasus Virus Corona di Rusia Diragukan oleh Banyak Pakar
“Remidesivir memang memiliki potensi, tetapi masih terlalu dini untuk mengetahui apakah ini akan menjadi pengobatan yang efektif yang dapat digunakan secara luas,” kata virolog Jeremy Rossman, dari Universitas Kent di Inggris.
Kandidat lain, chloroquine, menarik perhatian di Amerika Serikat setelah Presiden Donald Trump dikritik karena membuat klaim berlebihan tentang dua obat antimalaria, hydroxychloroquine dan chloroquine, untuk mengobati Covid-19.
Pada Februari, sebuah kelompok penelitian yang dipimpin oleh Wang Manli dari Akademi Ilmu Pengetahuan China mengatakan mereka telah menemukan bahwa klorokuin berhasil menghentikan replikasi Sars-CoV-2, nama resmi coronavirus yang menyebabkan Covid-19, dalam sel manusia yang dikultur.
Obat itu telah dimasukkan dalam pedoman pengobatan Tiongkok.
Pakar penyakit pernapasan Tiongkok Zhong Nanshan mengatakan obat itu lebih aman karena disetujui untuk mengobati malaria.
Namun, segera setelah komentar publik Trump, Administrasi Makanan dan Obat AS mengatakan obat itu belum disetujui untuk mengobati Covid-19.
Selain itu, mereka mengatakan masih diperlukan lebih banyak tes untuk menentukan keamanan dan efektivitasnya dalam mengobati Covid-19.
Rossman juga punya keraguan tentang chloroquine.
“Pada manusia, klorokuin bekerja dengan baik melawan malaria, tetapi itu adalah mekanisme yang berbeda dari yang kita lihat terhadap virus. Bukti bahwa klorokuin sebagai antivirus pada manusia kurang meyakinkan dan akan membutuhkan lebih banyak penelitian, tetapi saya tidak percaya diri. Untuk beberapa virus yang diuji, chloroquine sebenarnya memperburuk penyakit pada model hewan,” lanjutnya.
Lopinavir dan ritonavir adalah obat kombinasi tetap untuk pengobatan HIV / AIDS.
Meskipun kedua obat itu ikut diuji, sebuah studi baru-baru ini mengatakan obat tersebut tidak efektif.
Penelitian ini dipimpin oleh wakil presiden Rumah Sakit Persahabatan China-Jepang Cao Bin dan diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada 18 Maret.
“Pada pasien dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19 yang parah, tidak ada manfaat yang diamati dengan pengobatan lopinavir-ritonavir di luar perawatan standar.
para peneliti menyimpulkan setelah membandingkan 99 Covid-19 pasien yang diberi lopinavir-ritonavir dengan 100 pasien yang hanya diberi perawatan standar."
Kandidat baru yang menjanjikan adalah obat flu Jepang yang disebut favipiravir yang dikembangkan oleh Fujifilm Toyama Chemical.
Uji coba yang melibatkan 340 orang di kota-kota Cina, Wuhan, dan Shenzhen menunjukkan bahwa obat itu memiliki tingkat keamanan yang tinggi.
"Jelas efektif dalam pengobatan", kata Zhang Xinmin, dari Kementerian Sains dan Teknologi China.
Namun, lebih banyak tes diperlukan sebelum lebih banyak uji klinis dilakukan.