Karenanya, ia menggarisbawahi kebutuhan untuk menemukan vaksin dan perawatan yang efektif bagi pasien Covid-19.
Diberitakan TribunnewsWiki.com dari South China Morning Post, pemimpin penelitian penyakit menular di National Institutes of Health, Anthony Fauci, mengatakan virus ini mulai menyerang belahan bumi selatan ketika musim dingin berlangsung.
Baca: Tangani Pasien Covid-19, Dokter di Hong Kong Keluhkan Alat Pelindung: Tak Ada yang Dukung Kami
Baca: Pangeran Charles Positif Terinfeksi Virus Corona, Mengisolasi Diri bersama Camilla di Skotlandia
"Apa yang mulai kita lihat sekarang ... di Afrika selatan dan di negara-negara belahan bumi selatan, adalah bahwa kita memiliki kasus yang muncul saat memasuki musim dingin," katanya.
"Dan jika, pada kenyataannya, mereka memiliki wabah yang substansial, itu tidak bisa dihindari. Kita harus siap bahwa kita akan mendapatkan siklus untuk kedua kalinya."
Karenanya, ia menggarisbawahi kebutuhan untuk menmeukan vaksin dan perawatan yang efektif bagi pasien Covid-19.
“Ini menekankan perlunya dalam mengembangkan vaksin, mengujinya dengan cepat dan berusaha menyiapkannya sehingga kami akan memiliki vaksin yang tersedia untuk siklus berikutnya.”
Kini baru ada dua vaksin yang sudah diuji pada manusia.
Satu vaksin itu di Amerika Serikat, dan satunya lagi di China.
Akan tetapi proses pengembangan kedua vaksin itu masih membutuhkan waktu sekitar satu hingga satu setengah tahun lagi.
Sementara pengembangan vaksin terus dilakukan, para ilmuwan juga terus melakukan pengujian terhadap obat yang sudah ada untuk melawan Covid-19.
Diberitakan TribunnewsWiki.com dari South China Morning Post, Selasa (24/3/2020), mengembangkan obat baru biasanya memakan waktu bertahun-tahun.
Karenanya, para ilmuwan berlomba melawan waktu untuk menggunakan kembali obat yang sudah ada.
Apa lagi, beberapa obat yang sudah ada memiliki potensi untuk menyembuhkan Covid-19.
Baca: Ekonom INDEF: Pangkas Gaji dan Tunjangan Pejabat agar Perekonomian Tak Jatuh Karena Wabah Corona
Baca: Perjuangan Petugas Dinkes Sumut Telusuri Mata Rantai ODP Corona, Sulit Gali Informasi hingga Diancam
Ketika pandemi melanda lebih banyak negara di seluruh dunia dan jumlah kematian meningkat, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengidentifikasi empat obat yang memiliki peluang bisa sembuhkan Covid-19.
Keempat obat itu antara lain, remdesivir, obat untuk mengobati Ebola; kombinasi dua obat HIV, lopinavir dan ritonavir; juga koktail lopinavir dan ritonavir plus interferon beta; serta obat antimalaria klorokuin.
Gilead Sciences menyebut remdesivir sebagai obat yang memiliki peluang kuat.
Diketahui ada lima uji klinis besar yang tengah dilakukan untuk meneliti obat ini.
Hasil dari penelitian tersebut bisa diketahui pada April mendatang.
Sementara itu, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS mengatakan obat intravena bisa menghambat replikasi virus.
Tetapi uji klinis akan sangat penting untuk menentukan efektivitas dan keamanan obat tersebut.
Menurut informasi di situs web WHO, percobaan terakhir obat untuk mengobati Ebola menunjukkan kemungkinan keracunan hati.
Baca: Rusia Lakukan Uji Vaksin Covid-19 pada Musang dan Primata, Bulan Juni Siap Diuji pada Manusia
Baca: Dulu Indonesia, Kini Fakta Kasus Virus Corona di Rusia Diragukan oleh Banyak Pakar
“Remidesivir memang memiliki potensi, tetapi masih terlalu dini untuk mengetahui apakah ini akan menjadi pengobatan yang efektif yang dapat digunakan secara luas,” kata virolog Jeremy Rossman, dari Universitas Kent di Inggris.
Kandidat lain, chloroquine, menarik perhatian di Amerika Serikat setelah Presiden Donald Trump dikritik karena membuat klaim berlebihan tentang dua obat antimalaria, hydroxychloroquine dan chloroquine, untuk mengobati Covid-19.
Pada Februari, sebuah kelompok penelitian yang dipimpin oleh Wang Manli dari Akademi Ilmu Pengetahuan China mengatakan mereka telah menemukan bahwa klorokuin berhasil menghentikan replikasi Sars-CoV-2, nama resmi coronavirus yang menyebabkan Covid-19, dalam sel manusia yang dikultur.
Obat itu telah dimasukkan dalam pedoman pengobatan Tiongkok.
Pakar penyakit pernapasan Tiongkok Zhong Nanshan mengatakan obat itu lebih aman karena disetujui untuk mengobati malaria.
Namun, segera setelah komentar publik Trump, Administrasi Makanan dan Obat AS mengatakan obat itu belum disetujui untuk mengobati Covid-19.
Selain itu, mereka mengatakan masih diperlukan lebih banyak tes untuk menentukan keamanan dan efektivitasnya dalam mengobati Covid-19.
Rossman juga punya keraguan tentang chloroquine.
“Pada manusia, klorokuin bekerja dengan baik melawan malaria, tetapi itu adalah mekanisme yang berbeda dari yang kita lihat terhadap virus. Bukti bahwa klorokuin sebagai antivirus pada manusia kurang meyakinkan dan akan membutuhkan lebih banyak penelitian, tetapi saya tidak percaya diri. Untuk beberapa virus yang diuji, chloroquine sebenarnya memperburuk penyakit pada model hewan,” lanjutnya.
Lopinavir dan ritonavir adalah obat kombinasi tetap untuk pengobatan HIV / AIDS.
Meskipun kedua obat itu ikut diuji, sebuah studi baru-baru ini mengatakan obat tersebut tidak efektif.
Penelitian ini dipimpin oleh wakil presiden Rumah Sakit Persahabatan China-Jepang Cao Bin dan diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada 18 Maret.
“Pada pasien dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19 yang parah, tidak ada manfaat yang diamati dengan pengobatan lopinavir-ritonavir di luar perawatan standar.
para peneliti menyimpulkan setelah membandingkan 99 Covid-19 pasien yang diberi lopinavir-ritonavir dengan 100 pasien yang hanya diberi perawatan standar."
Kandidat baru yang menjanjikan adalah obat flu Jepang yang disebut favipiravir yang dikembangkan oleh Fujifilm Toyama Chemical.
Uji coba yang melibatkan 340 orang di kota-kota Cina, Wuhan, dan Shenzhen menunjukkan bahwa obat itu memiliki tingkat keamanan yang tinggi.
"Jelas efektif dalam pengobatan", kata Zhang Xinmin, dari Kementerian Sains dan Teknologi China.
Namun, lebih banyak tes diperlukan sebelum lebih banyak uji klinis dilakukan.
“Seperti halnya, remidesivir kedua obat ini memiliki potensi yang baik untuk digunakan melawan virus RNA baru. Namun, data masih awal dan evaluasi saya tentang potensi obat terhadap Covid-19 harus menunggu sampai tes skala yang lebih besar dilakukan, “ kata Rossman.
“Namun, banyak dari obat-obatan yang ditata ulang ini memiliki potensi yang baik, terutama dalam memerangi kasus-kasus yang paling parah dan mereka yang berisiko paling besar.”