Bendera bintang kejora juga sering dibawa oleh kelompok kriminal bersenjata atau KKB Papua.
KKB Papua merupakan kelompok separatis yang sering melakukan teror terhadap TNI-Polri maupun masyarakat di Papua.
Namun, sebenarnya bagaimana asal usul bendera bintang kejora yang sering dipakai KKB Papua?
Diketahui, Bintang Kejora pernah digunakan oleh Nugini Belanda mulai 1 Desember 1961 sampai 1 Oktober 1962 ketika dibawah pemerintahan Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNTEA).
Bendera Bintang Kejora menyadur warna Merah Putih Biru dari bendera Belanda dan ditambahi dengan bintang kejora.
Baca: Tak Suka Berseragam Loreng, 3 Pemuda Papua Mundur dari Pendidikan Militer, TNI: Seleksi Alam
Baca: Mahfud MD Bolehkan Bendera Bintang Kejora dan Tauhid Berkibar di Indonesia dengan Alasan Ini
Seperti dilansir oleh SUAR, bintang kejora juga pernah dipakai sebagai panji-panji sebuah klub sepak bola Belanda di Port Numbay (Jayapura).
Bendera Bintang Kejora dibuat oleh Belanda pada 1961, yang kemudian diklaim OPM sebagai perlambangan budaya asli mereka.
Mengutip dari Wikipedia, Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1965 untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan memicu untuk terjadinya kemerdekaan bagi provinsi tersebut yang berakibat tuduhan pengkhianatan.
Sejak awal OPM telah menempuh jalur dialog diplomatik, melakukan upacara pengibaran bendera Bintang Kejora, dan dilakukan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua.
Pendukung secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang negara.
Di samping OPM, ada juga organisasi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
TPNPB adalah sayap militer dari OPM.
TPNPB dibentuk pada 26 Maret 1973, setelah Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat 1 Juli 1971 di Markas Victoria.
Pembentukan TPNPB adalah Tentara Papua Barat berdasarkan Konstitusi Sementara Republik Papua Barat yang ditetapkan 1971 pada Bab V bagian Pertahanan dan Keamanan.
Sejak 2012 melalui reformasih TPN, Jenderal. Goliath Tabuni diangkat menjadi Panglima Tinggi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.
Sekitar tahun 1964-1967, pimpinan KKB Papua yang terkenal saat itu adalah Lodewijk Mandatjan.
Lodewijk Mandatjan berhasil menghimpun kekuatan hingga 14.000 orang untuk melakukan teror.
Dilansir dari buku 'Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando' karya Hendro Subroto, KKB Papua Lodewijk Mandatjan melancarkan pemberontakan bermodal senapan-senapan tua peninggalan perang dunia 2.
Pada 28 Juli 1965, terjadi serangan ke asrama Yonif 641/ Cenderawasih Manokwari sehingga mengakibatkan tiga anggota TNI gugur dan empat lainnya luka-luka.
Pertempuran makin sengit saat RPKAD (sekarang Kopassus) ditugaskan untuk meredam pemberontakan KKB Papua saat itu.
Kurang lebih 50 prajurit RPKAD yang baru mendarat di Papua langsung ditugaskan untuk menggempur KKB Papua
50 prajurit RPKAD pimpinan Sintong Panjaitan itu langsung ditugaskan menyerbu KKB Papua tanpa sempat istirahat.
Aksi 50 prajurit RPKAD ini berawal saat salah satu pos koramil di Warmare diserbu oleh KKB Papua.
Baca: Bendera Bintang Kejora
Baca: Aparat Sebut Rusuh di Fakfak karena Pengibaran Bendera Bintang Kejora
Pos Koramil itu hanya dipertahankan oleh enam orang anggota TNI, yang kemudian salah satunya gugur saat KKB Papua mengepung
Pasukan Kopassus pimpinan Sintong Panjaitan tiba di Manokwari pada 6 Januari 1967, dan langsung diperintahkan untuk menggempur KKB Papua yang tengah mengepung pos koramil itu
50 prajurit RPKAD langsung berangkat dari Manokwari menuju Warmare menggunakan dua truk tanpa sempat istirahat
Dalam menghadapi KKB Papua di Warmare, pasukan kopassus bertempur secara frontal
KKB Papua pun berhasil dipukul mundur dari Warmare dan lima orang anggota TNI yang terkepung berhasil dibebaskan.
Meski berhasil dipukul mundur, teror KKB Papua masih berlanjut di hari-hari berikutnya.
Aksi teror KKB Papua pimpinan Lodewijk Mandatjan baru mereda setelah Sarwo Edhie Wibowo turun tangan.
Hal ini berawal saat Sarwo Edhie Wibowo menjabat sebagai panglima Kodam XVII/Tjendrawasih (1968-1970).
Sarwo Edhie Wibowo saat itu mau tak mau harus menghadapi sepak terjang KKB Papua pimpinan Lodewijk Mandatjan.
Dalam menghadapi aksi teror KKB Papua saat itu, Sarwo Edhie Wibowo memadukan operasi tempur dengan operasi non tempur.
Menurutnya, strategi non tempur digunakan lantaran ia menganggap para KKB Papua masih merupakan saudaranya sebangsa dan setanah air.
"Kalau pemberontak kita pukul terus menerus, mereka pasti hancur. Tetapi mereka adalah saudara-saudara kita. Baiklah mereka kita pukul, kemudian kita panggil agar mereka kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi" kata Sarwo Edhie Wibowo dalam buku karya Hendro Subroto.
Untuk menghindari terjadi pertumpahan darah yang lebih banyak, Sarwo Edhie Wibowo memerintahkan melakukan penyebaran puluhan ribu pamflet yang berisi seruan agar KKB Papua kembali ke NKRI.
Sarwo Edhie Wibowo kemudian memberi tugas kepada perwira Kopassus Mayor Heru Sisnodo dan Sersan Mayor Udara John Saleky untuk menemui pimpinan KKB Papua yang bernama Lodewijk Mandatjan.
Tujuannya adalah membujuk agar Mandatjan beserta anak buahnya mau kembali lagi ke pangkuan NKRI.
Tanpa membawa senjata, Mayor Heru Sisnodo dan Sersan Mayor Udara John Saleky berjalan kaki memasuki hutan untuk menemui pimpinan KKB Papua itu.
Saat bertemu dengan Mandatjan, Mayor Heru Sisnodo berkata: "Bapak tidak usah takut. Saya anggota RPKAD (sekarang Kopassus). Komandan RPKAD yang ada di sini anak buah saya. Dia takut sama saya. Kalau bapak turun dari hutan, nanti RPKAD yang akan melindungi bapak."
Akhirnya, Mayor Heru Sisnodo dan Sersan Mayor Udara John Saleky berhasil meyakinkan Lodewijk Mandatjan dan anak buahnya.
Mandatjan beserta keluarga dan anak buahnya pun diantar turun ke Manokwari.
Saat bertemu dengan Mandatjan, Sintong Panjaitan berkata: "Bapak saya jamin, saya akan melindungi bapak dengan keluarga"
Pemberontakan KKB Papua pimpinan Lodewijk Mandatjan pun sebagian besar telah terselesaikan, Kopassus tinggal melakukan penyisiran untuk memburu sisa-sisa anggota KKB Papua lainnya
Dengan begitu, Sarwo Edhie Wibowo berhasil menerapkan strategi non tempurnya sehingga tak terjadi pertumpahan darah lebih banyak.
Baca: Nekat ke Sarang Suku Kanibal di Papua, Kopassus Ini Ketakutan Hampir Dimakan, Akhirnya Malah Begini
Baca: Kisah Satu-satunya Kopassus yang Selamat, Perang di Hutan Papua, Bertahan Hidup di Kumpulan Jenazah