Kasus tersebut terungkap setelah ada laporan dari murid kepada orangtuanya.
Dikutip dari Kompas.com, Salah seorang siswa kelas VII Seminari Bunda Segala Bangsa, yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan dalam kasus itu ada sebanyak 77 dari 89 siswa yang mendapatkan perilaku kurang menyenangkan daro dua orang pendamping.
Diketahui, dua pendamping tersebut merupakan kelas XII yang bertugas menjaga kebersihan area asrama siswa kelas VII.
Peritiwa tersbeut bermula saat dua pendamping tersebut menemukan plastic berisi kotoran manusia di lemari kosong di kamar tidur kelas VII pada Rabu siang.
Setelah itu, pendamping memanggil semua siswa dan menanyakan siapa yang menyimpan kotoran itu.
Karena tidak ada yang mengaku, pendamping tersebut langsung menyendok kotoran itu lalu disuap ke dalam mulut para siswa.
Para siswa kelas VII itu pun terpaksa menerima perlakuan tersebut tanpa perlawanan.
"Kami terima dan pasrah. Jijik sekali, tetapi kami tidak bisa melawan," ujar siswa kelas VII tersebut disebut kepada Kompas.com, Selasa (25/2/2020).
Baca: Kisah Mbah Sudiro, Kakek 71 Tahun yang Pertaruhkan Nyawa Demi Bantu Selamatkan Siswa SMPN 1 Turi
Baca: Satu Tersangka Mengaku Tinggalkan 249 Siswanya saat Susur Sungai karena Hendak Transfer Uang
Para siswa tidak melaporkan perlakuan dari sang pendamping itu kepada orangtua karena takut akan disiksa nantinya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, setelah itu, kedua pendamping tersebut menyuruh mereka agar tidak menceritakan kejadian tersebut kepada Pembina dan orangtua.
Namun, setelah kejadian itu, ada satu orang temannya yang lari ke rumah untuk memberitahukan hal itu kepada orangtua.
Kasus itu pun terbongkar pada Jumat (21/2/2020), ketika ada orangtua siswa yang menyampaikan hal tersebut di dalam grup WhatsApp humas sekolah.
Pihak Seminari Bunda Segala Bangsa Maumere, Kabupaten Sikka, NTT, lantas memberikan klarifikasi terkait kejadian tersebut.
Pimpinan Seminari Bunda Segala Bangsa Maumere, Romo Deodatus Du'u mengatakan insiden itu terjadi pada Rabu (19/2/2020) sekitar pukul 14.30 WITA.
"Terminologi 'makan' yang dipakai oleh beberapa media saat memberitakan peristiwa ini agaknya kurang tepat sebab yang sebenarnya terjadi adalah seorang kakak kelas menyentuhkan sendok yang ada feses pada bibir atau lidah siswa kelas VII," kata Deodatus dalam keterangan yang diterima Kompas.com, Selasa (25/2/2020).
Deodatus menceritakan, kejadian tersebut bermula saat salah satu siswa kelas VII membuang kotorannya sendiri di kantong plastik dan disembunyikan di dalam lemari kosong di kamar tidur.
Dua kakak kelas itu lantas mengumpulkan siswa kelas VII dan menanyakan asal muasal kotoran tersebut.
Tapi, tak ada satupun siswa kelas VII yang mengaku.
Dua kakak kelas itu berkali-kali meminta siswa kelas VII untuk memberi tahu asal dari kotoran tersebut, tapi tetap tak ada yang mengaku.
Karena kesal, seorang kakak kelas mengambil kotoran dengan sendok makan dan menyentuhkannya ke bibir dan lidah siswa kelas VII.
Perlakuan yang didapat setiap siswa kelas VII berbeda.
Baca: 77 Siswa di NTT Dipaksa Pembinanya Makan Kotoran Manusia, Begini Kronologinya
Baca: Alasan Pembina Pramuka SMPN 1 Turi Gelar Susur Sungai Tanpa Bekali Siswa Alat Pengaman
Pihak seminari yang mendapatkan laporan dari orangtua murid lantas meminta keterangan para siswa yang terlibat dan kemudian menggelar pertemuan dengan orangtua siswa pada Selasa (25/2/2020).
Pertemuan itu juga dihadiri oleh seluruh siswa kelas VII dan dua kakak kelasnya.
Romo Deodatus Du'u mengatakan di pertemuan tersebut pihak seminari telah meminta maaf kepada seluruh siswa dan orangtua.
Mereka juga membicarakan masalah tersebut secara terbuka.
Sebagai hukuman, dua siswa kelas XII yang melakukan tindakan tak menyenangkan tersebut dikeluarkan dari Seminari Bunda Segala Bangsa.
"Pihak Seminari telah meminta maaf di hadapan orangtua terkait masalah ini. Dua kakak kelas itu pun dikeluarkan dari Seminari Bunda Segala Bangsa," kata Deodatus.
Deodatus juga mengatakan, pihaknya akan mendampingi para siswa kelas VII untuk pemulihan mental dan menghindari trauma.
Lebilh lanjut, ia menegaskan, tidak akan membiarkan segala bentuk kekerasan dan perundungan di lingkungan sekolah mereka.
“Bagi kami, peristiwa ini menjadi sebuah pembelajaran untuk melakukan pembinaan secara lebih baik di waktu-waktu yang akan datang. Kami berterima kasih atas segala kritik, saran, nasihat, dan teguran yang bagi kami menjadi sesuatu yang sangat berarti dengan harapan agar lembaga ini terus didoakan dan didukung supaya menjadi lebih baik,” jelas Deodatus.