Kejadian tersebut dilaporkan terjadi pada Kamis (13/2/2020) malam, di basis militer Irak K1 di Provinsi Kirkuk yang dipenuhi tentara AS.
Dikutip dari AFP, roket Katusha menghantam area terbuka di pangkalan K1 sekitar pukul 20.45 malam waktu setempat.
Informasi ini bersumber dari tiga sumber keamanan Irak,
Menurut sebuah pernyataan dari militer Irak menyebutkan pasukan AS dan pasukan polisi federal Irak yang ditempatkan di kawasan tersebut tidak ada korban.
Pasukan AS menemukan posisi penembak rudal.
11 roket ditemukan masih berada di lokasi yang ditemukan oleh pasukan AS dan pelaku masih dalam pelarian.
Sebuah sumber keamanan Irak mengatakan kepada AFP bahwa landasan peluncuran ditemukan sekitar lima kilometer (tiga mil) dari pangkalan itu, di daerah multi-etnis.
Baca: Ancaman Iran, Siap Tembakkan Ratusan hingga Ribuan Rudal Jika AS Membalas
Baca: Iran Mengaku Telah Menangkap Pengunggah Video Pesawat Ukraina Ditembak Rudal, Benarkah?
Diberitakan Al Jazeera, serangan tersebut kemungkinan untuk mengenang 40 hari kematian Qasem Soleimani.
"Ada kemungkinan bahwa ini ada hubungannya dengan berakhirnya masa berkabung 40 hari untuk Qassem Soleimani hari ini," kata reporter Al Jazeera, Simona Foltyn.
"Dia menambahkan bahwa serangan itu dapat menyalakan kembali ketegangan di wilayah tersebut."
"Ada kekhawatiran bahwa serangan roket seperti itu akan memicu respons yang akan membawa sekali lagi ke eskalasi dalam krisis yang baru saja mereda," kata Foltyn.
Serangan ini menjadi serangan ke-20 yang ditujukan terhadap pasukan AS di Irak maupun Kedutaan AS di Baghdad sejak akhir Oktober tahun lalu.
Serangan ini juga merupakan serangan pertama terhadap pangkalan K1 sejak 27 Desember lalu.
Saat itu 30 roket ditembakkan dan menewaskan seorang kontraktor AS di sana.
Washington menyalahkan roket Kataeb Hizbullah, sebuah faksi militer garis keras Irak yang dekat dengan Iran.
AS kemudian melakukan serangan balasan yang menewaskan 25 pejuang kelompok itu.
Para pendukung kelompok itu kemudian mengepung kedutaan AS di Baghdad, menerobos batas luarnya dalam sebuah aksi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Beberapa hari kemudian, serangan pesawat tak berawak AS di bandara Baghdad menewaskan pemimpin Iran, Qasem Soleimani pada 3 Januari lalu.
Dalam kemarahan, parlemen Irak memilih untuk mengusir semua pasukan asing dari negara itu, termasuk sekitar 5.200 tentara AS yang dikerahkan untuk membantu pasukan lokal memukul mundur sisa-sisa kelompok Negara Islam.
Iran pun melakukan serangan sendiri dalam membalas pembunuhan Soleimani.
Baca: Diisukan Takut dan Sembunyi Pasca AS Bunuh Qassem Soleimani, Kim Jong Un Akhirnya Muncul Ke Publik
Baca: Donald Trump Klaim Tak Ada Pasukan AS Terluka Saat Serangan Rudal Iran, Ternyata Ini Rahasianya
Buntut dari serangan rudal Iran pada 8 Januari lalu, 109 orang tentara AS dilaporkan mengalami cedera otak ringan.
Berdasarkan jumlah yang disampaikan Pentagon, terdapat kenaikan signifikan sejak laporan terakhir yang menyatakan ada 64 prajurit terluka.
"Hingga saat ini, 109 tentara AS didiagnosis cedera otak traumatis ringan, (mTBI), kenaikan 45 orang dari laporan terdahulu," ujar Pentagon, Senin (10/2/2020).
Dikutip dari AFP, 76 di antaranya telah kembali bertugas dan sebagian laiinya masih menjalani evaluasi dari perawatan tim medis.
Seblumnya, Presiden Trump mengklaim dalam serangan rudal di pangkalan Irak tersebut tidak ada pasukan AS yang terluka.
Teheran mengirim rudal balistik sebagai balasan atas meninggalnya jendral hebat mereka , Qasem Soleimani yang dibunuh AS pada 3 Januari silam.
Soleimani meninggal di Bandara Baghdad bersama dengan wakil pemimpin jaringan milisi Hashed al-Shaabi, Abu Mahdi al-Muhandis.
Komandan Pasukan Quds, cabang elite dalam Garda Revolusi Iran, itu dibunuh sebagai buntut demonstrasi yang menyasar Kedutaan Besar AS di Baghdad oleh simpatisan Hashed.
Presiden ke-45 AS itu disebut sudah menyetujui rencana pembunuhan itu sejak tujuh bulan lalu, dengan menyebut Qasem Soleimani memberikan ancaman bagi warga dan kepentingannya di Timur Tengah.
Presiden 73 tahun diyakini berusaha menurunkan tensi ketegangan dengan tidak menyebutkan jumlah korban luka karena ketegangan yang bisa pecah menjadi perang kapan saja.
Presiden Amerika itu sempat berusaha menepikan laporan cedera otak tersebut, dengan menyebut pasukannya mengalami "gejala sakit kepala".