Helmy Yahya akhirnya dipecat sebagai Direktur Utama TVRI karena menurut Dewan Pengawas TVRI tayangan liga Inggris tak sesuai dengan jati diri bangsa.
Dewan Pengawas TVRI mengatakan, tayangan Liga Inggris yang hak siarnya dibeli Helmy Yahya tidak sesuai dengan jati diri bangsa.
Ketua Dewan Pengawas TVRI, Arief Hidayat Thamrin mengatakan, TVRI semestinya memberikan tayangan edukatif yang memiliki nilai-nilai keindonesiaan.
"Tupoksi TVRI sesuai visi misi TVRI adalah televisi publik. Kami bukan swasta, jadi yang paling utama adalah edukasi, jati diri, media pemersatu bangsa," ujar Arief dalam rapat dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/1/2020) dikutip TribunnewsWiki dari Kompas.com.
Baca: Helmy Yahya Dipecat dari TVRI, Dewas Sampaikan 15 Kronologi: Kami Sudah Lakukan Pembinaan
Baca: Hak Siar Liga Inggris Jadi Satu di Antara Penyebab Pemecatan, Helmy Yahya Akan Tempuh Jalur Hukum
Arief menyebut bahwa TVRI seharusnya menayangkan program-program nasional.
"Prioritas programnya juga seperti itu. Realisasinya sekarang kita nonton Liga Inggris," kata Arief Hidayat Thamrin.
Selain Liga Inggris, ia menyinggung soal tayangan Discovery Channel.
Menurut Arief, masih banyak alternatif tayangan lain yang bisa disajikan TVRI kepada publik.
"Discovery Channel kita nonton buaya di Afrika, padahal buaya di Indonesia barangkali akan lebih baik," ujar Arief.
Dia menilai, banyak tayangan siaran asing di TVRI selama kepemimpinan Helmy Yahya.
Menurut Arief, hal ini disebabkan Helmy terlalu mengejar angka share dan rating. Helmy pun dianggap tak bekerja sesuai dengan visi dan misi TVRI.
Padahal, kata Arief, TVRI merupakan saluran televisi publik sehingga berbeda dengan swasta.
"Seolah-olah Direksi TVRI mengejar rating dan share seperti televisi swasta," tuturnya.
Sebelumnya, Dewan Pengawas TVRI juga menyebutkan bahwa hak siar Liga Inggris berpotensi menimbulkan gagal bayar alias utang.
Bahkan, menurut Anggota Dewas TVRI Pamungkas Trishadiatmoko, potensi utang tersebut mirip dengan krisis keuangan di PT Asuransi Jiwasraya.
"Saya akan sampaikan kenapa Liga Inggris itu menjadi salah satu pemicu gagal bayar ataupun munculnya utang skala kecil seperti Jiwasraya," kata Moko dalam rapat dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/1/2020).
Moko menyampaikan, Helmy sempat mengatakan bahwa program Liga Inggris ditayangkan tanpa biaya.
Namun, menurut dia, penayangan Liga Inggris berbiaya senilai Rp 126 miliar untuk kontrak tiga sesi, yaitu selama 2019-2022.
"Setiap sesi berbiaya 3 juta USD untuk 76 match atau senilai lebih dari Rp 552 juta per pertandingan," ujar dia.
"Kalau diekuivalen program rata-rata di TVRI yang disampaikan kepada kami 15 juta per episode. Ini bisa membiayai 37 episode atau dua bulan program lainnya," kata Moko.
Helmy Yahya kemudian menjelaskan bahwa TVRI menayangkan Liga Inggris sebagai program unggulan.
"Semua stasiun di dunia ingin memiliki sebuah program killer content, monster content, atau locomotive content yang membuat orang menonton TVRI," ujar Helmy Yahya dalam konferensi pers pada 17 Januari silam.
Dia mengatakan, dengan keterbatasan anggaran, TVRI berhasil mendapat hak siar Liga Inggris, yaitu bekerja sama dengan Mola TV.
Helmy Yahya memastikan bahwa hak siar Liga Inggris ini juga diketahui dan mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas TVRI.
Sedangkan, Direktur Program dan Pemberitaan TVRI Apni Jaya Putra menjelaskan, secara administratif, Liga Inggris dilaporkan kepada Dewan Pengawas TVRI pada 17 Juli 2019.
Laporan disampaikan dalam rapat yang dipimpin langsung oleh Ketua Dewan Pengawas LPP TVRI Arif Thamrin yang juga dihadiri seluruh jajaran direksi TVRI.
Berikut adalah beberapa alasan Dewan Pengawas TVRi yang disampaikan di rapat bersama Komisi I DPR dikutip TribunnewsWiki dari Kompas.com:
Anggota Dewas TVRI Pamungkas Trishadiatmoko dalam rapat dengan Komisi I DPR menyatakan, hak siar penayangan Liga Inggris yang dibeli Helmy Yahya menimbulkan risiko gagal bayar atau utang.
Ia bahkan menyatakan, risiko utang tersebut mirip krisis keuangan di PT Asuransi Jiwasraya.
"Saya akan sampaikan kenapa Liga Inggris itu menjadi salah satu pemicu gagal bayar ataupun munculnya utang skala kecil seperti Jiwasraya," kata Moko.
Ketua Dewan Pengawas TVRI Arif Hidayat Thamrin mengatakan, sejak Helmy menjabat, TVRI terkesan terlalu mengejar share dan rating.
Padahal, kata dia, TVRI merupakan televisi publik sehingga berbeda dari televisi swasta.
"Seolah-olah Direksi TVRI mengejar rating dan share seperti televisi swasta. Kami ada APBN, harus bayar dalam bentuk membayar ke luar negeri," ujar Arif.
Ia mengatakan, demi mengejar rating itu, akhirnya Dewan Direksi membeli sejumlah siaran asing, di antaranya Liga Inggris dan Discovery Channel.
Anggota Dewas TVRI Maryuni Kabul Budiono mengatakan, pelaksanaan rebranding TVRI memang telah jadi program kerja yang ditetapkan.
Namun, dalam pelaksanaannya disebut tidak sesuai dengan rencana kerja.
"Terdapat ketidaksesuaian rebranding TVRI dengan rencana kerja dengan RKAT 2019," kata Budiono.
Ia menyatakan, program kerja rebranding dilakukan dalam dua tahap.
Pertama, pada 2018, rebranding TVRI berjalan sesuai rencana.
Rebranding pada tahap pertama adalah pembuatan logo baru dan aplikasi TVRI.
"Pada 2018, dengan nilai kontrak lebih drari Rp 970 juta oleh konsultan brand yang memang melakukannya sesuai dengan yang diatur," ucap dia.
Namun, pada 2019, program implementasi dari hasil rebranding itu tidak masuk dalam mata anggaran. Budiono menyatakan, biaya implementasi rebranding sebesar Rp 8,2 miliar diambil salah satunya dari anggaran program dan berita.
"Pada 2019, ada proses implementasi dan aplikasi rebranding dengan menggunakan anggaran yang sudah ada. Jadi, itu dari anggaran program dan berita, Direktorat Pengembang Nusa, dan Direktorat Umum," ujar Budiono.
"Yang paling banyak diambil dari program dan berita senilai Rp 6,2 miliar," kata dia.
Anggaran program dan berita itu sebagian merupakan honor satuan kerabat kerja (SKK).
Akhirnya, kata Budiono, anggaran tak cukup untuk membayarkan honor SKK.
Selain itu, Budiono mengatakan, pelaksanaan program dan berita juga jadi bermasalah.
"Ini berdampak juga jadi berkurangnya biaya program yang jadi tidak memadai. Akhirnya menumpuk dan jadi persoalan," kata Budiono.
Baca: Terancam Pencopotan Jabatan Dirut TVRI, Helmy Yahya Masih Bisa Tersenyum Pamer Penghargaan
Baca: Helmy Yahya