Rupanya identitas sang pelaut bernama Alfatah, Anak Buah Kapal (ABK) asal Dusun Banca, Desa Bontongan, Baraka, Enrekang, Sulawesi Selatan.
Meskipun menjadi pro dan kontra namun setelah ditelusuri, jenazah Alfatah dibuang karena jarak dengan daratan terdekat cukup jauh.
Tak hanya itu, karena dikatakan sakit parah sebelum meninggal, pembuangan jenazah Alfatah dimaksudkan untuk menghindari penularan penyakir pada kru lain.
Dikutip dari Tribun Enrekang, berrdasarkan surat dari Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri RI yang beredar di medsos, Alfatah meninggal setelah sebelumnya mengalami sakit saat sedang melaut pada 18 Desember 2019.
Dalam surat tersebut disebutkan, Alfatah mengalami bengkak di bagian kaki dan wajah serta nyeri di dada dan napas pendek.
Kapten kapal sempat memberikan obat kepada Alfatah, namun kondisinya tak kunjung membaik.
Pada 27 Desember 2019 pukul 13.30 waktu setempat, Alfatah dipindahkan ke Kapal Long Xing 802 yang akan berlabuh ke negara kepulauan di Samudra Pasifik, Samoa.
Dengan harapan agar Alfatah dapat dibawa ke rumah sakit.
Namun sayangnya, Alfatah meninggal delapan jam setelah dipindahkan ke kapal tersebut.
Dengan alasan Samoamasih sangat jauh dan dikhawatirkan adanya penularan penyakit, kapten kapal Long Xing 802 memutuskan membuang jenazah Alfatah ke laut, tanpa sepengetahuan agen.
Dikonfirmasi Tribun Enrekang pada Minggu (19/1/2020) malam, kabar tersebut dibenarkan satu dari keluarga almarhum Alfatah, Khairil.
Khairil mengatakan, pihak keluarga telah menerima informasi resmi dari kementerian terkait kejadian yang menimpa sepupunya tersebut.
"Iye kak, jelas'mi itu infonya. Dia betul (Alm Alfatah), bahkan kemarin sudah salat jenazah di kampung," ujarnya.
Mengubur jenazah ke laut dalam Islam
Baca: Tes Kepribadian: Cari Tahu Karaktermu dengan Memilih Tempat Liburan Favorit, Gunung atau Laut?
Baca: VIRAL Seorang Bocah Melempar Surat dalam Botol ke Laut, Tak Menyangka Dibalas 9 Tahun Kemudian
Dikutip almanhaj.or.id, pada dasarnya mengubur berati memendam mayat ke dalam tanah.
Jika seseorang meninggal di kapal atau perahu yang sedang berada di tengah lautan, para Ulama sepakat agar diupayakan terlebih dahulu mencari daratan terdekat untuk dikuburkan dengan tanah.
Hal tersebut berdasarkan pertimbangan jarak dan waktu, selama jenazah diperkirakan tidak rusak.
Apabila tidak memungkinkan dikubur dengan tanah karena jauh dari daratan, penyelenggaraan jenazahnya adalah sebagai berikut:
1. Dimandikan,
2. Dikafani,
3. Dishalatkan, dan
4. Diarungkan ke laut.
Batasannya adalah waktu yang dapat mengubah kondisi dan merusak mayat (membusuk).
Para Ulama berargumentasi dengan kisah yang diriwayatkan imam al-Baihaqi t dalam Sunan al-Kubra (4/10) dengan sanad yang shahih (menurut imam an-Nawawi dalam al-Majmû’ 5/286) dari Shahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu yang berkata:
أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ رَكِبَ الْبَحْرَ فَمَاتَ فَلَمْ يَجِدُوْا لَهُ جَزِيْرَةً إِلاَّ بَعْدَ سَبْعَةِ أَيَّامٍ فَدَفَنُوْهُ فِيْهَا وَلَمْ يَتَغَيَّرْ
"Sesungguhnya Abu Thalhah mengarungi lautan lalu meninggal dunia. Mereka tidak mendapatkan daratan kecuali setelah tujuh hari lalu mereku kuburkan di sana dan belum rusak jasadnya,"
Kemudian imam al-Baihaqi rahimahullah berkata:
وَرُوِّيْنَا عَنِ الْحَسَنِ اْلبَصْرِي أَنَّهُ قَالَ يُغْسَلُ وَيُكْفَنُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُطْرَحُ فِيْ الْبَحْرِ
"Telah diriwiyatkan kepada kami dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Beliau dimandikan, dikafani dan disholatkan lalu diarungkan ke laut. "(Sunan al-Kubra, 4/10).
Adapun cara menguburkan di laut masih diperselisihkan para Ulama dalam dua pendapat yaitu :
Diarungkan ke laut tanpa diberi pemberat dan dibiarkan dilautan sampai terdampar di pantai sehingga ada yang dapat menemukannya dan menguburkannya.
Ulama madzhab Syafi'iyah menambahkan dengan meletakkan jenazah setelah disholatkan kedalam peti agar tidak membengkak dan diarungkan ke laut, dengan harapan ada orang yang akan menguburkannya.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat, apabila penduduk pantai adalah orang-orang kafir maka jenazah dimasukkan kedalam peti dan diberi pemberat agar tenggelam kedasar laut, supaya orang-orang kafir tidak mengambilnya lalu merubah sunnah kaum Muslimin padanya.
Diberi pemberat apabila dikhawatirkan membusuk dan diarungkan ke laut.
Pendapat ini berargumen, dengan diberi pemberat maka tercapai yang dimaksud dari penguburan dan selamat dari dimakan hewan.
Baca: Badan Keamanan Laut Republik Indonesia
Baca: Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL)
Baca: Tangkap Hiu di Darwin, Kapal Ikan Asal Indonesia Dibakar Angkatan Perbatasan Laut Australia