Pro Kontra Wacana Upah per Jam di Indonesia, sementara 10 Negara Ini Beri Upah per Jam Tertinggi

Editor: Ekarista Rahmawati Putri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pro Kontra Wacana Upah per Jam di Indonesia, sementara 10 Negara Ini Beri Upah per Jam Tertinggi

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Skema upah di Indonesia rencananya akan diubah dari gaji bulanan menjadi per jam.

Dikutip Tribunnewswiki.com dari Kompas.com, skema upah per jam ini akan diatur dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

Skema ini pun menimbulkan pro dan kontra di sejumlah kalangan seperti serikat buruh dan pengusaha.

Padahal sebenarnya skema pengupahan per jam sebenarnya lumrah dilakukan di negara-negara maju.

Luksemburg menjadi negara yang memberikan upah per jam dengan nilai minimum tertinggi di dunia, yakni 13,78 dollar AS atau setara Rp 192.000 per jamnya.

Bahkan upah minimum naik 20 persen untuk individu yang digolongkan sebagai pekerja terampil berusia mulai 18 tahun atau lebih.

Ilustrasi uang  (Pixabay)

Meski begitu, upah minimum di sana disesuaikan dengan biaya hidup di Luksemburg yang tergolong tinggi.

Baca: Upah Minimum (UMP, UMK, UMR)

Dalam hal ini Amerika Serikat hanya menempati urutan ke-12 dengan upah sebesar 7,25 dollar AS per jam.

Meski begitu negara-negara bagian memiliki kekuatan untuk meningkatkan upah minimum mereka.

Berikut daftar sepuluh negara memberikan upah per jam dengan nilai tertinggi, seperti yang Kompas.com kutip dari World Population Review:

1. Luksemburg (13,78 dollar AS atau Rp 192.920)

2. Australia (12,14 dollar AS atau Rp 169.960)

3. Prancis (11.66 dollar AS atau Rp 163.240)

4. Selandia Baru (11,20 dollar AS atau Rp 156.800)

5. Jerman (10,87 dollar AS atau Rp 152.180)

6. Belanda (10,44 dollar AS atau Rp 145.320)

7. Belgia (10,38 dollar AS atau Rp 145.320)

8. Inggris (10,34 dollar AS atau Rp 144.760)

9. Irlandia (9,62 dollar AS atau Rp 134.680)

10. Kanada (9,52 dollar AS atau Rp 133.280)

Baca: Ini Pesan Terakhir Driver Ojol pada Anak Angkatnya sebelum Tewas Tertimpa Papan Reklame

Alasan Pemerintah Menerapkan Upah Minimum

Pemerintah juga menjelaskan alasan penerapan skema upah per jam di Indonesia.

Alasan pemerintah merancang upah per jam adalah untuk mendukung fleksibilitas tenaga kerja.

Upah per jam tersebut diberikan bagi tenaga kerja yang berada di bawah ketentuan waktu kerja di Indonesia.

Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diatur waktu kerja sebanyak 40 jam per minggu.

"Di bawah 35 jam per minggu itu maka ada fleksibilitas. Nanti di bawah itu hitungannya per jam," ujar Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah usai rapat terbatas di Istana Bogor, seperti dikutip dari Kontan, Jumat (27/12/2019).

Hal itu menjadi fleksibilitas bagi dunia usaha dan pekerja.

Baca: Hari Ini dalam Sejarah 29 Desember 1997: Jutaan Ayam di Hong Kong Dibunuh karena Virus Flu Burung

Pasalnya banyak sektor yang dinilai membutuhkan tenaga kerja dengan skema upah per jam.

Rencana kebijakan tersebut pun diakui Ida telah dikomunikasikan dengan pelaku usaha dan serikat pekerja.

Nantinya, skema penghitungan upah per jam itu akan ditentukan.

"Pasti ada ketentuannya dong, ada formula penghitungannya," kata Ida.

Penolakan Skema Upah per Jam dari Serikat Pekerja

Sementara itu, serikat pekerja di Indonesia yang tergabung dalam Konfederensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak rencana penerapan upah per jam.

Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S Cahyono menilai, perhitungan upah yang dibayarkan per bulan dengan 8 jam kerja per hari atau 40 jam per minggu sudah tepat.

Termasuk hari libur resmi dan cuti, upah yang diterima para buruh tidak berkurang.

Berbeda dengan skema upah per jam, ketika ada hari libur nasional, maka tidak akan mendapatkan upah.

"Karena buruh sedang libur, tidak bekerja. Jika upah dibayarkan per jam, kita khawatir pendapatan yang diterima buruh kurang dari upah minimum," kata Kahar Kompas.com, Kamis (27/12/2019).

Alasan lainnya, bagi pengusaha yang memperkerjakan buruh bisa saja hanya diperkerjakan saat jam-jam tertentu.

"Misalnya, pekerja housekeeping di hotel. Upahnya hanya dihitung beberapa jam ketika membereskan kamar, saat tamu check out, dan sebagainya," kata dia.

Baca: Pelaku Dendam dan Sebut Novel Baswedan Pengkhianat, Pakar Ekspresi: Tidak Terlihat Perasaan Dendam

Dukungan Pengusaha

Berbeda dengan buruh, kalangan pengusaha justru mendukung skema upah per jam.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mendukung wacana pemerintah mengubah upah tetap dari per bulan menjadi hitungan per jam.

Dia menilai, sistem upah yang didasarkan hitungan per jam tersebut akan menguntungkan perusahaan dan pekerja.

"Ya siaplah, kalau kita enggak ada masalah. Dan itu sudah biasa di negara lain juga melakukan hal yang sama. Itu juga bagus ke pekerjanya jadi dia bisa lebih fleksibel," katanya seperti dikutip dari Kompas.com, Kamis (27/12/2019).

Sementara terkait dengan nominal penggajian, Hariyadi menyebut hal itu bergantung pada kebijakan perusahaan.

Mengingat ini masih dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, maka terkait patokan nominal memiliki parameter yang banyak.

(Tribunnewswiki.com/Ekarista/Kompas.com)



Editor: Ekarista Rahmawati Putri
BERITA TERKAIT

Berita Populer