Perang Suriah: Erdogan Peringatkan Negara Eropa, Turki Tidak Akan Tampung Gelombang Pengungsi Baru

Penulis: Dinar Fitra Maghiszha
Editor: Melia Istighfaroh
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menyebut Turki tidak akan tampung gelombang imigran baru

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan memperingatkan bahwa negaranya tidak dapat lagi menampung 'gelombang pengungsi baru'.

Sekitar puluhan ribu orang dilaporkan telah melarikan diri ke perbatasan turki menyusul meningkatkan aktivitas ledakan perang di Provinsi Idlib yang dikuasai pemberontak barat-laut Suriah.

Turki telah menampung sekitar 3,7 juta jiwa pengungsi asal Suriah yang menjadi pengungsi terbesar di seluruh dunia.

Erdogan memperingatkan bahwa gelombang baru 'pengungsi' ke depan akan 'dirasakan semua negara di Eropa', seperti dilansir BBC, (23/12/2019).

Lebih dari tiga juga orang hidup di Provinsi Idlib, -wilayah utama di Suriah- yang masih diduduki oleh pemberontak dan jihadis yang menentang Presiden Bashar al-Assad.

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (Bloomberg)

Erdogan Sampaikan Peringatan

Pernyataan Erdogan akan meningkatnya pengungsi disampaikan dalam upacara penghargaan di Istanbul, Turki, pada Minggu, (22/12/2019).

Erdogan mengatakan bahwa lebih dari 80.000 orang dari Provinsi Idlib, Suriah, melarikan diri ke dekat perbatasan Turki di tengah meningkatnya serangan dan ledakan dari pasukan Suriah dan Rusia.

"Apabila kekerasan terhadap masyarakat Idlib tidak berhenti, maka angka ini akan terus meningkat lebih. Dalam hal ini, Turki tidak akan menanggung beban ini sendirian."

"Efek negatif tekanan yang datang pada kami ini akan menjadi masalah yang dirasakan oleh semua negara-negara di Eropa, khususnya Yunani," kata Erdogan.

Dalam pernyataannya, Erdogan memperingatkan berulangnya krisis migran tahun 2015 -saat lebih dari satu juta orang melarikan diri ke Eropa- apabila kekerasan di timur tengah tidak berakhir.

Erdogan menambahkan, delegasi Turki akan mengunjungi Moskow, Rusia pada, Senin  (23/12), guna membahas mengenai situasi tersebut.

Kebijakan genjatan senjata sedang coba dinegosiasikan oleh Rusia dan Turki terhadap Pemerintah Suriah yang menyerang Provinsi Idlib pada Agustus tahun ini.

Di tengah negosiasi genjatan senjata, serangan dan pemboman di Provinsi Idlib terus terjadi.

Investigasi Amnesty Internasional

Sebelumnya, organisasi Amnesty Internasional melaporkan temuan investigasi adanya pemaksaan dari otoritas keamanan Turki terhadap pengungsi agar kembali ke Suriah.

Berdasarkan data Amnesty Internasional, beberapa bulan menjelang operasi militer di daerah timur Laut Suriah, pasukan Turki dilaporkan memaksa para pengungsi Suriah untuk kembali ke zona perang.

Aksi pasukan Turki ini dianggap ilegal.

Tak hanya itu, pihak Amnesty International juga telah melakukan pembicaraaan dengan sejumlah pengungsi.

Mereka (para pengungsi) mengaku dipindahkan dari Turki dan kembali dikirim ke Suriah dengan pemaksaan, seperti dilaporkan Deutsche Welle (DW), (25/10/2019).

Pengiriman para pengungsi ini dilakukan tanpa adanya kepastian zona aman bagi mereka.

Aksi ini dianggap justru menempatkan para pengungsi kembali ke dalam bahaya besar bagi kehidupan mereka.

Adanya Paksaan Dari Otoritas Keamanan Turki

Selain itu, banyak pengungsi yang memberi laporan kepada Amnesty Internasional bahwa mereka dipaksa dan diancam oleh aparat kepolisian Turki untuk menandatangani dokumen pernyataan bahwa mereka kembali ke Suriah secara sukarela.

Pihak Amnesty International juga melakukan survei terkait perpindahan pengungsi.

Dilaporkan oleh Amnesty Internasional yang melakukan survei pada bulan Juli hingga Oktober, terdapat ratusan pengungsi yang sudah dikirim kembali ke Suriah.

Namun demikian, pengiriman dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.

Selain itu, hal tersebut bertentangan dengan keinginan para pengungsi tersebut.

Pihak otoritas Turki juga membuat klaim bahwa sebanyak 315.000 pengungsi telah kembali ke Suriah secara sukarela.

Ancaman dan paksaan

Aksi yang dilakukan pihak otoritas keamanan Turki oleh pihak Amnesty International dianggap ilegal

Pihak keamanan Turki diindikasikan telah mendeportasi pengungsi ke Suriah yang karena menganggap sebagai ancaman bahaya.

Pernyataan ini tentu merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia.

Para pengungsi ini dilaporkan telah ditindas dan diancam dengan menggunakan kekerasan atau dimasukkan penjara.

Aparat kepolisian juga dilaporkan telah memperdaya para pengungsi untuk menandatangani dokumen "kembali secara sukarela".

Pihak kepolisian Turki meyakinkan pengungsi untuk menandatangani dokumen yang berisi form pendaftaran, kuitansi bukti pembayaran, ataupun formulir yang tertulis pernyataan bahwa mereka tidak ingin tinggal di Turki.

Sementara itu, juga terdapat dokumen yang tertulis bahwa pengungsi tidak terdaftar secara benar di tempat pengungsian.

Oleh karena itu, mereka (para pengungsi) harus kembali ke Suriah.

Menurut laporan Amnesty International, pemeriksaan rutin yang dilakukan aparat kepolisian dan petugas migrasi Turki, seperti pembaharuan dokumen atau pemeriksaan identifikasi di tempat umum, mengakibatkan para pengungsi tersebut dideportasi paksa kembali ke daerah konflik.

Klaim Turki

Merespon temuan Amnesty Internasional, pihak Turki membuat klaim bahwa pengungsi Suriah melakukan hal tersebut secara sukarela, seperti dilaporkan oleh Anna Shea, peneliti dan migran dari Amnesty Internasional.

"Klaim Turki yang menyebut para pengungsi Suriah memilih kembali ke daerah konflik sangatlah berbahaya, dan sebuah kebohongan," ujar Anna Shea.

"Sebaliknya, penelitian kami menunjukkan para pengungsi tersebut diperdaya atau dipaksa untuk kembali ke daerah konflik," tambah Shea.

Zona aman

Pihak Amnesty Internasional telah melakukan verifkasi atas 20 kasus deportasi paksa di Turki.

Dari semua kasus tersebut, para pengungsi dilaporkan telah dikirim kembali melewati perbatasan kedua negara tersebut.

Pengiriman tersebut dilakukan dengan menggunakan sebuah bus dengan kondisi tangan mereka diikat.

Mayoritas dari pengungsi yang dideportasi adalah laki-laki.

Tak hanya itu, pihak Amnesty Internasional juga menemukan para remaja serta sejumlah keluarga yang mempunyai anak kecil.

Keluarga yang memiliki anak kecil ini ikut dikirim kembali ke zona perang.

"Sangatlah mengerikan kesepakatan yang tercapai antara Turki dengan Rusia minggu ini terkait masalah deportasi pengungsi ini, sementara belum ada penetapan zona aman. Dipindahkannya para pengungsi hingga kini sangatlah tidak aman dan sekarang jutaan pengungsi asal Suriah dalam bahaya," tutur Shea.

Turki langgar kesepakatan?

Pasukan Demokratik Suriah (SDF) pada hari Kamis (24/10) menuduh Turki dan sekutunya melanggar perjanjian gencatan senjata selama dua minggu.

Komandan pasukan SDF, Mazloum Abdi, mengatakan pasukan militer Turki dan "jihadis mereka" terus melancarkan serangan di perbatasan timur kota Ras al-Ain.

Ia pun meminta Rusia dan Amerika untuk mengendalikan Turki.

Sementara itu, Kementerian Pertahanan Turki mengatakan lima tentara terluka di dekat perbatasan kota akibat diserang oleh milisi Kurdi YPG, aliansi utama pasukan SDF.

Turki menganggap milisi Kurdi YPG sebagai kelompok teroris yang berafiliasi dengan pemberontak Kurdi yang berperang di Turki.

"Tindakan tersebut perlu dilakukan sebagai bentuk membela diri," terang Kementerian Pertahanan Turki.

Secara terpisah, media pemerintah Suriah mengatakan pasukan Turki dan sekutunya bentrok dengan pasukan Suriah di luar kota Tal Tamr, menyoroti sistuasi konflik yang tengah berlangsung dan potensi keikutsertaan Ankara dan Damaskus ke dalam konflik ini.

Media pemerintah Suriah tersebut melaporkan sejumlah pasukan Suriah terluka dalam insiden tersebut.

 

Baca: Turki Tangkap Anggota Keluarga Baghdadi, Erdogan: Kami Tak Ribut seperti Amerika

Baca: Kisah Narapidana ISIS Asal Australia: Mengaku Direkrut dalam Acara Amal & Diizinkan Tentara Turki

--

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)



Penulis: Dinar Fitra Maghiszha
Editor: Melia Istighfaroh
BERITA TERKAIT

Berita Populer