Dalam inti dokumen yang dipaparkan Komite Intelijen, sang presiden memilih kepentingan politik pribadi di atas kepentingan nasional.
Selama berbulan-bulan, dia berusaha meminta "campur tangan asing" melalui Ukraina untuk membantunya dalam Pilpres AS 2020.
Laporan yang dirilis DPR AS itu terjadi di tengah penyelidikan pemakzulan yang coba dilakukan oposisi Partai Demokrat.
Baca: 8 Hal yang Perlu Diketahui Soal Isu Pemakzulan Presiden Amerika Serikat Donald Trump
Baca: Diajak Bicara dengan Presiden AS, Greta Thunberg: Buang-buang Waktu Saja Bicara dengan Donald Trump
Trump dituduh tidak hanya melakukan penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga berusaha menghalangi keadilan dan menghina Kongres AS.
Komite Intelijen DPR AS merilis laporan bertajuk "The Trump-Ukraine Impeachment Inquiry Report" pada Selasa (3/12/2019), dilansir BBC.
"Presiden Trump menggunakan skema yang menumbangkan kebijakan luar negeri dan keamanan nasional demi motif kampanyenya," ulas laporan itu.
Dikatakan, presiden berusia 73 tahun itu meminta bantuan kepada Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk mengumumkan penyelidikan terhadap Joe Biden.
Biden merupakan mantan Wakil Presiden AS periode 2009-2017 dan calon penantang Trump pada Pilpres AS 2020 nanti.
"Tampaknya dia berusaha mendiskreditkan teori bahwa Ukraina, bukan Rusia, yang sudah mengintervensi Pilpres AS 2016," bunyi dokumen itu.
Komite menyatakan, bukti bahwa Trump melakukan pelanggaran terkumpul begitu banyak.
Begitu juga tuduhan penghinaan terhadap Kongres AS.
Komite intelijen DPR AS dijadwalkan bakal menggelar pemilihan internal apakah penyusunan laporan itu bisa diterima.
Setelah itu, dokumen tersebut bakal diberikan kepada Komite Kehakiman yang bakal menggelar investigasi, Rabu (4/12/2019).
Nantinya, sidang kehakiman bakal dihadiri oleh empat pakar konstitusi, yang bakal menjabarkan seperti apa jalannya pemakzulan.
Nantinya, DPR AS bakal menghelat voting apakah penyelidikan untuk melengserkan presiden ke-45 AS itu bakal terjadi.
Jika mayoritas sepakat, maka laporan dari DPR AS bakal diteruskan ke Senat, yang bakal menggelar sidang kemungkinan awal Januari.
Sebelum rancangan laporan itu dirilis, Trump lebih dulu melontarkan kritikan kepada Demokrat bahwa mereka "tak patriotik".
Sekutu Trump di Partai Republik juga mengeluarkan laporan setebal 123 halaman, di mana mereka menyerang para saksi.
Dalam laporannya, partai penguasa itu menyebut sejak awal, para saksi sudah tidak sepakat dengan gaya, pandangan, hingga keputusan Trump.
Selain itu, dokumen tersebut juga menuduh Demokrat berusaha "membatalkan apa yang menjadi kehendak rakyat AS".
Baca: Sinopsis Proof of Life, Film Aksi Amerika Tayang di Bioskop Trans TV 22 November Pukul 23.00 WIB
Baca: Donald Trump Temui Anjing yang Kejar Pemimpin ISIS Al Baghdadi: Sangat Brilian, Sangat Pintar
Menurut Republik, sejak awal oposisi sudah berniat menggulingkan Trump sejak hari pertama dia menjabat pada Januari 2017.
Kemudian juru bicara Gedung Putih, Stephanie Grisham, menyebut Demokrat gagal membuktikan bahwa presiden tidak bersalah.
Dalam pernyataannya, apa yang disampaikan oleh oposisi dalam laporan tersebut tak lebih dari "bentuk frustrasi mereka".
Demokrat menuding, Trump sengaja menahan bantuan militer kepada Ukraina senilai 400 juta dollar AS, atau Rp 5,6 triliun.
Mereka menganggap sang presiden sudah berusaha menekan negara asing supaya membantunya meraih kepentingan pribadinya.
Dalam investigasi pertama, Trump diduga meminta Kiev supaya menyelidiki Biden dan putranya, Hunter, yang menjabat sebagai direksi di perusahaan energi lokal.
Kemudian dalam penyelidikan kedua, Ukraina diyakini berusaha membenarkan bahwa merekalah biang intervensi Pilpres 2016.
Teori terakhir ini sudah ditolak, dengan badan intelijen sepakat mengatakan Rusia di balik peretasan akun petinggi Demokrat.
Presiden Donald Trump mengklaim di Twitter, Amerika Serikat (AS) bakal dilanda perang saudara jika dirinya dimakzulkan.
Dalam serangkaian kicauannya, presiden berusia 73 tahun itu mengutip kalimat dari Robert Jeffress, seorang pendeta dan kontributor Fox News.
"Jika presiden dimakzulkan oleh Demokrat (yang jelas tak mungkin), maka bakal terjadi perang saudara yang jelas tak bakal pulih," ujar Jeffress dikutip Trump.
Dilansir The Independent Senin (30/9/2019), kicauan di Twitter itu merespons keputusan oposisi Partai Demokrat untuk menyelidikinya.
Dia juga menuntut supaya dipertemukan dengan si pelapor percakapan teleponnya dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky 25 Juli lalu.
Dalam perbincangannya, Trump meminta Zelensky untuk menyelidiki putra Joe Biden, calon pesaing kuatnya di Pilpres AS 2020 mendatang.
Si pelapor kemudian mengirim laporan keluhan Agustus lalu, menuding Trump meminta bantuan asing untuk mengintervensi Pilpres AS.
Keluhan dari si pelapor itulah yang menjadi dasar bagi Demokrat mengumumkan investigasi untuk memakzulkan presiden ke-45 AS itu.
Di Twitter, presiden berusia 73 tahun itu menyatakan selayaknya warga lainnya, dia meminta supaya bisa dipertemukan dengan pelapor.
"Saya berhak menemuinya, terutama setelah dia mendeskripsikan percakapan dengan pemimpin asing secara salah dan begitu ngawur," katanya.
Tak hanya itu, dia juga melancarkan kritikan kepada Ketua Komite Intelijen House of Representatives (DPR AS) dari Demokrat, Adam Schiff.
Dia menuduh Schiff sudah berbohong kepada majelis rendah parlemen AS itu.
"Schiff seharusnya diselidiki atas dugaan Penipuan dan Pengkhianatan," ujarnya.
Trump melanjutkan, dia menuntut tak hanya dipertemukan dengan si pelapor.
Namun juga dengan pejabat yang sudah memberikannya informasi.
"Apakah orang ini sedang memata-matai Presiden AS? Ada konsekuensi Besar!" lanjut presiden yang diusung oleh Partai Republik itu.
Buntut pengumuman penyelidikan yang digaungkan Ketua DPR AS Nancy Pelosi, Gedung Putih langsung merilis transkrip percakapan Trump dan Zelensky.
Presiden AS Donald Trump menuntut sosok "pelapor" yang membuat dirinya hendak dimakzulkan segera diungkap, seraya menyebut prosesnya "sampah".
Permintaannya muncul setelah Republik berusaha mengungkap si "whistleblower", dan menyerang kredibilitasnya setelah DPR AS melakukan penyelidikan.
DPR yang dikuasai Demokrat membuka investigasi setelah Trump dituduh meminta Presiden Ukraina guna menyelidiki rival politiknya, Joe Biden.
Hanya disebut sebagai mantan pejabat intelijen Gedung Putih, si pelapor adalah yang mengungkapkan bagaimana Trump berupaya menekan Ukraina.
Baca: Bintang Film Dewasa yang Pernah Tidur dengan Presiden Donald Trump Menang Gugatan Rp 6 Miliar
Baca: CEO McDonald Dipecat Usai Pacari Karyawannya: Inilah Saatnya Saya Untuk Pergi
Baca: Donald Trump Benarkan Kabar Tewasnya Hamza bin Laden, Putra Osama bin Laden
Baca: 5 Promo Kuliner Hari Pelanggan Nasional Mulai Dari McDonalds Hingga Carls Jr
Baik di Twitter maupun kepada awak media, presiden 73 tahun itu mendesak supaya identitas whistleblower yang membuat dia akan dimakzulkan disebarkan.
"Dia adalah sosok anti-Trump yang begitu besar," katanya kepada awak media di Gedung Putih seperti dikutip AFP Minggu (3/11/2019).
Dia juga menghukum pejabat yang menentang Gedung Putih dengan bersaksi terkait skandal Ukraina, dengan menyebut mereka "bukan pendukung Trump".
"Jadi, seperti kalian tahu, ini sampah."
"Seluruh proses pemakzulan ini sampah."
"Si pelapor sangat salah hingga membuat Yang Mulia turun tangan."
"Ungkap identitasnya dan akhiri Pemakzulan Hoax!" tegasnya.
Serangan tanpa henti Trump kepada si pelapor terjadi setelah hasil jajak pendapat menunjukkan dia mulai rapuh, dengan penyelidikan DPR AS meraih momentum.
Survei dari NBC/Wall Street Journal menunjukkan sebanyak 49 persen publik AS percaya dia harus dimakzulkan, dengan 53 persen menerimanya.
Adapun polling Fox News memaparkan 49 persen ingian Trump lengser, dan 60 persen yakin dia meminta negara asing menyelidiki lawan politiknya.
Dengan berbagai keterangan mantan pejabat dan diplomat, sang presiden diyakini mendesak Ukraina untuk mencari tahu kesalahan Joe Biden.
Baca: Turis Inggris Tewas Dicekik saat Berhubungan Badan dengan Teman Kencan yang Dikenalnya Lewat Tinder
Baca: Viral Video Detik-detik Robohnya Crane saat Badai Dorian di Kanada
Baca: Hari Ini dalam Sejarah: Kemerdekaan Brasil
Apalagi sempat muncul isu dia menahan bantuan militer 400 juta dollar AS, atau Rp 5,6 triliun, supaya Kiev menginvestigasi Biden dan anaknya, Hunter.
Kuasa hukum whistleblower, Mark Zaid, di Twitter menyatakan kliennya sudah menawarkan politisi Republik untuk menjawab secara tertulis.
Permintaan yang diberikan kepada anggota Komite Intelijen DPR AS, Devin Nunes, menekankan upayanya agar penyelidikan dilakukan nonpartisan.
"Beragam pesan Republik yang dipimpin Trump pagi ini menyoroti adanya permintaan agar identitas klien saya diungkap," papar Zaid.