Setelah nama Putri Tanjung, Angkie Yudistia juga tak luput dari sorotan media.
Dilansir dari Tribunnews, penyandang tuna rungu, Angkie Yudistia menjadi satu-satunya staf khusus presiden yang mendapatkan tugas secara spesifik dari Presiden Joko Widodo.
Perempuan berusia 32 tahun tersebut diminta Jokowi menjadi juru bicara presiden bidang sosial.
Baca: H-5 Pelantikan Presiden Beredar Susunan Kabinet Jokowi, Staf Khusus Presiden: Tunggu Saja Saatnya
Baca: Agus Rahardjo dan Dua Pimpinan KPK Ajukan Uji Materi UU KPK, Masinton Pasaribu: Tidak Lazim
Tugas yang diberikan tersebut tidak menjadi hambatan bagi Angkie meski pendengarannya terganggu sejak usia 10 tahun.
Pendiri Thisable Enterprise tersebut terlihat sangat ceria dan percaya diri sejak diperkenalkan Jokowi sebagai staf khusus presiden bersama enam orang lainnya di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (21/11/2019).
Saat mengenalkan diri, Angkie yang mengenakan kemeja putih dan hijab abu-abu, menyelipkan bahasa isyarat sebagai awal dirinya memperkenalan diri kepada awak media.
"Perkenalkan nama saya Angkie, bahasa isyarat panggilan Angkie, pake jilbab," ucap Angkie sembari mengangkat tangan kanannya hingga di samping telinga dengan posisi melebarkan lima jarinya.
Setelah itu, Angkie tidak menggunakan bahasa isyarat lagi dan berbicara seperti biasa layaknya orang pada umumnya.
Ia mengaku sangat bangga diberikan kepercayaan sebagai staf khusus presiden dan berdiri sejajar dengan staf khusus lainnya yang memiliki panca indra sempurna.
"Saya berdiri di sini menyuarakan 21 juta jiwa disabilitas di seluruh Indonesia dan turut bangga saya berdiri dibsini mewakili disabilitas entrepreneurship," katanya.
Menurutnya, Thisable Enterprise telah dibangun dirinya selama delapan tahun untuk memperjuangkan penyandang disabilitas tidak dipandang sebelah mata.
Sejak usia 10 tahun, Angkie kehilangan pendengarannya. Dugaan sementara, hal itu tidak terlepas dari konsumsi obat-obatan antibiotik saat ia mengidap penyakit malaria.
“Awalnya aku enggak tahu (ada gangguan pendengaran), sampai lingkungan sekitar bilang sudah manggil-manggil, tetapi aku enggak dengar, enggak nengok,” cerita Angkie saat seperti yang dikutip TribunnewsWiki dari Kompas.com .
Mengidap keterbatasan pendengaran saat remaja bukanlah hal yang mudah untuk Angkie. Ia kerap merasa tertekan dan kurang percaya diri.
Setidaknya, butuh waktu 10 tahun bagi penulis buku 'Perempuan Tunarungu, Menembus Batas' itu untuk bangkit.
Lulus dari SMAN 2 Bogor, Angkie kemudian melanjutkan kuliah Jurusan Ilmu Komunikasi di London School of Public Relations Jakarta.
Kehidupan di kampus itulah yang kemudian sedikit demi sedikit mengubah pola pikirannya. Ia mulai sadar, bila ia tidak pernah menerima kekurangannya, sampai kapan pun ia tak akan pernah menikmati hidupnya.
"Dosenku bilang, kamu jujur sama diri kamu sendiri. Kalau kamu sudah jujur sama diri sendiri dan jujur sama orang lain, orang lain akan mengapresiasi kejujuran kita. Jadi benar, ketika aku jujur, mereka jadi sangat bantu," ucap Angkie.