Warga negara Prancis disuruh waspada akan tanda-tanda dari aliran Islam Radikal yang menurutnya menyimpang dari "hukum dan nilai-nilai negara".
Macron memberikan pidatonya dalam acara peringatan untuk korban pada Selasa, (8/10/2019), di sebuah halaman di unit kantor kepolisian Prancis, seperti dilansir oleh Connexion France.
Seorang anggota kepolisian Prancis yang diduga terpengaruh ideologi garis keras, Mickael Harpon sebelumnya ditembak mati karena menusuk teman-temannya pada Kamis, (3/10/2019).
Dalam acara peringatan ini, Macron juga memberi penghargaan tanda jasa Légion d’Honneur - suatu penghargaan tertinggi Prancis - kepada empat korban, yang peti matinya dibungkus dengan bendera tiga warna / bendera Prancis.
Setelah mengheningkan cipta dalam beberapa menit untuk para korban, Macron membacakan pidatonya.
Ia mengatakan: "Teman-teman kalian gugur karena serangan aliran yang jahat dan mematikan (Islam Garis Keras), yang terserah kita untuk memberantasnya. Pemerintah dan seluruh unit dari lembaga negara tidak akan bisa memukul balik gelombang garis keras tersebut sendirian ... kita harus membangun kewaspadaan masyarakat ... melawan ideologi mematikan ini, yang tidak mengakui hukum kita, hak-hak kita, dan jalan hidup kita.
"[Kita harus] tahu bagaimana memperhatikan - di sekolah, di tempat kerja, di tempat ibadah, di dekat kalian - akan setiap perubahan, penyimpangan - akan beberapa gerakan kecil yang mencoba mempengaruhi seseorang untuk menjauh dari hukum dan nilai-nilai negara.
Macron menambahkan: "Ini adalah bukan jalan untuk menyerang agama, namun menyerang penyalahgunaan agama dan segala hal yang dapat mengarah pada terorisme".
Selain itu, Macron juga mengingatkan untuk melawan suatu "sarang/tempat berkembang biak" yang justru menyuburkan ideologi garis keras yang mematikan tersebut.
Kepada para korban, Macron memberi penghormatan dengan mengatakan mereka "memlih memakai seragam - kepolisian - dalam mendedikasikan hidup mereka untuk melindungi warga lainnya.
Peringatan untuk memperhatikan tanda-tanda dari radikalisme datang setelah seorang pelaku pembunuh, Harpon, dilaporkan masuk ke dalam aliran garis keras di agama yang ia anut dalam beberapa tahun terakhir.
Setelah masuk agama Islam sekitar beberapa tahun belakangan, Harpon dilaporkan juga turut mengubah pakaiannya yang semula berpakaian barat menjadi lebih Islami; menjadi enggan untuk berinteraksi dengan perempuan; dan menilai bahwa serangan teroris di Paris tahun 2015 sebagai "kerja yang baik".
Presiden Macron bukan yang pertama kalinya menggunakan kata "sarang" untuk mendeskripsikan pertumbuhan radikalisme Muslim di Prancis.
Pada tahun 2015, setelah berbagai serangan di klab Bataclan, beberapa cafe, dan di stadion Stade de France, Macron memunculkan kontroversi dengan mengatakan bahwa Prancis bertanggung jawab akan aliran radikal teroris.
Ia mengatakan: "Tempat berkembang biak di mana para teroris bersedia membenarkan kekerasan, dan mencuci otak orang-orang adalah pembangkangan. Bentuk ini bukanlah hal yang pertama dalam jihadism - yang datang dari kegilaan, dan sebuah ideologi totalitarian, dan iman yang menyesatkan. Terdapat sarang/tempat berkembang biak (di Prancis), dan itulah tanggung jawab kita"
Dalam pidatonya, Macron menutup: "Mari kita bergerak bersama sebagai bangsa, menyatukan semua warga Prancis, apapun pendirian mereka. Mari kita lawan kebencian dan teror terhadap negara. Mari kita bawa semangat perlawanan Prancis yang tak terkalahkan. Melawan informasi yang kabur serta hoax, mari kita gunakan akal sehat.
"Melawan Islamic terorism, kita berjuang. Kita akan berjuang. Kita harus mau. Pada akhirnya, kita akan menang. Karena kita punya kekuatan di dalam hati. Kita melakukannya untuk para korban, untuk anak-anak kita: atas nama bangsa"
Pidato Macron ini hadir sebagai jawaban atas kritik - peristiwa serangan polisi - yang gagal dalam memperhatikan dan menangkal ekstrimis radikal di tengah kelompok mereka (kepolisian).
Angka radikalisme di Prancis juga tumbuh sejak tahun 2015.
Perdana Menteri Prancis, Edouard Philippe mengatakan bahwa setiap serangan dan banyak lainnya telah dilacak oleh unit intelijen.
Ia mengatakan "Lima puluh sembilan serangan telah didata dan dilacak dalam enam tahun belakangan. Apabila ditanya ada kesalahan, iya. Dalam perang melawan satu orang, masih ada beberapa orang, dan mereka selalu dramatis"
Pada hari Ahad minggu ini, (6/10/2019), Philippe juga mengumumkan rencana melakukan evaluasi terhadap lembaga kepolisian dalam sistem kerja mereka.
Hal tersebut dilakukan untuk mendeteksi tanda-tanda radikalisme.
Phillippe menambahkan "Untuk seluruh jajaran intelijen, deteksi atas ancaman internal adalah sebuah prioritas. Pada khususnya, segala macam tanda radikalisme tidak boleh diabaikan, pun juga tidak boleh untuk didiamkan"
"Orang-orang akan memberitahuku bahwa 'kebijakan tanpa risiko' adalah tidak nyata, dan itu memang benar. Tapi ini adalah tetap tanggung jawab untuk tidak menerima hal tersebut sebagai kewajaran pun juga untuk selalu menutup celah yang ada"
Jamil Ahmad Shqeir, salah seorang narapidana kelompok teroris ISIS asal Australia menuturkan alasannya bergabung dengan militan ekstrim tersebut.
Pernyataan Jamil kepada ABC, Senin, (16/9/2019), mengaku bergabung dengan konflik di Suriah setelah diyakinkan dalam suatu acara amal pada tahun 2013.
"Saat itu di Australia, isu tentang Suriah jadi pembicaraan dimana-mana. Semua orang bicara tentang Suriah," kata Jamil.
Saat ini, Jamil berada dalam tahanan Kurdi di Suriah.
Jamil merupakan salah satu dari sekitar tujuh orang anggota ISIS asal Australia yang kini mendekam dalam penjara Kurdi di barat laut Suriah.
North Press Agency yang dikutip ABC, telah melakukan wawancara dengan empat orang di antaranya dan mempublikasinya.
Berbeda dengan kombatan lainnya, Jamil justru tidak menyangkal bahwa dirinya adalah kombatan ISIS.
Sempat diwawancara oleh TV lokal setempat, Jamil menyatakan bahwa pada tahun 2013, dirinya mudah masuk ke Suriah untuk terlibat dalam konflik.
"Banyak orang yang membantuku masuk. Saya waktu tak mau hanya duduk berpangku tangan," ungkapnya.
Tak hanya itu, Jamil mengaku tergerak hatinya untuk ikut bertindak saat mendengar semua ceramah di masjid-masjid.
Semua ceramah yang dia dengar di masjid-masjid, berbicara tentang Suriah.
"Saya malah tidak ikut-ikutan demo soal Suriah di Australia. Saya justru datang ke acara amal," ujar Jamil.
Jamil tercatat meninggalkan Australia pada awal tahun 2013.
Selanjutnya, Jamil bergabung dengan kelompok Jabat al Nusra.
Belakangan, ia pindah ke ISIS karena mengaku setuju dengan tujuan ISIS untuk mendirikan apa yang disebut "Kekhalifahan Islam".
"Itu yang menarik banyak orang," kata Jamil.
Pernyataan Jamil yang dikutip ABC dari kantor berita North Press Agency, ia mengaku diperbolehkan masuk ke Suriah oleh para tentara Turki setelah tahu tujuannya untuk melawan Pemerintahan Assad.
"Mereka menghentikan kami di perbatasan dan memeriksa mobil kami," kata Jamil
"Para tentara Turki menggeledah barang-barang kami. Mereka bilang, jika kami ingin menentang Bashar al Assad, silakan saja," ujar Jamil.
Ketika pemimpin ISIS mengetahui bahwa dirinya dapat berbicara berbahasa Inggris, Jamil mengaku ditugaskan untuk melatih para kombatan asing.
Namun demikian, Jamil mengatakan tidak pernah melihat langsung pemimpin ISIS.
Berkomentar terkait penindasan suku Yazidi, Jamil mengaku tidak tahu adanya pemerkosaan terhadap kaum wanita dari suku Yazidi.
"Saya jauh dari komunitas itu dan sama sekali tak terlibat memperjual-belikan orang Yazidi. Saya tidak tahu dan belum pernah membeli wanita Yazidi," kata Jamil.
Selain itu, Jamil juga sama sekali tidak meminta untuk dipulangkan ke Australia dan menjalani hukuman di sana.
"Saya tidak mengerti soal hukuman di Australia. Tapi meminta pulang itu sesuatu yang memalukan bagi saya," katanya.
Hayfa Adi menceritakan kesaksiannya saat diculik oleh kelompok Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS)
Selama lebih dari dua tahun ia dipukuli, diperkosa, dan diperdagangkan di antara sesama militan ISIS.
Hayfa Adi dan keluarganya adalah bagian dari komunitas Yazidi di Australia yang berhasil kabur dari kamp ISIS di Suriah.
Laporannya kepada ABC News Australia, Selasa, (10/9/2019), Hayfa menceritakan pengalamannya saat ditangkap dan menjadi budak perdagangan manusia di Irak dan Suriah.
"Mereka membeli kami seolah-olah kami adalah domba. Persis seperti domba," ungkap Hayfa.
Hayfa menuturkan bahwa ia dan perempuan Yazidi lainnya ditangkap, sementara para suaminya dibawa ke suatu tempat.
Saat dibawa ke suatu bangunan kosong, mereka menyuruh Hayfa dan suaminya beserta para komunitas Yazidi untuk masuk Islam
"Mereka menyuruh kami untuk masuk Agama Islam. Tidak ada yang mau masuk Islam. Setelah itu mereka membawa para pria (termasuk suaminya). Kami tak tahu ke mana mereka membawanya", ungkap Hayfa
Lebih jauh lagi, Hayfa Adi menceritakan bagaimana ia berhasil selamat dan kemudian membangun kembali kehidupan keluarganya di daerah Queensland Tenggara, Australia.
Kendati demikian, ia masih mencari tahu keberadaan dan kabar suaminya, Ghazi Lalo.
Ketika suaminya diculik, anak mereka yang pertama masih balita.
"Dia ingat ayahnya dan terus bertanya, 'Bu, kapan ayah kembali?'," tutur Hayfa.
Sedangkan anaknya yang paling muda tidak pernah mengenal ayahnya, karena dilahirkan di kamp penangkapan dan markas ISIS.
"Tak mengetahui sesuatu adalah hal yang "sangat berat, sangat memberatkan bagi kami semua", kata Hayfa.
"Dia (anaknya) mirip seperti ayahnya, matanya, mulutnya. Saat aku liat dia (anaknya), aku merasa suamiku bersamaku kembali", kata Hayfa.
Kami hanya berusaha mencari jalan untuk bertahan hidup.
Sudah lima tahun lamanya sejak keluarga Hayfa hancur karena tindakan genosida ISIS terhadap orang-orang Yazidi di Irak utara dan Suriah.
Dilaporkan oleh ABC, sekitar 7.000 (tujuh ribu) anggota etnis dan agama yang minoritas di sana dibunuh, sementara 3.000 (tiga ribu) lainnya hilang.
Dituturkan olehnya saat penangkapan terjadi, ia sedang hamil tua dan berada di Desa Kocho, tempat di mana ia, suami, dan, putra pertamanya tinggal.
"Saya sudah menyiapkan makan siang untuk" katanya.
"Sekitar tengah hari, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu."
"Paman dari suami saya berlari ke arah kami sambil berkata, 'ISIS ada di Kocho'."
Kelompok ISIS tersebut kemudian menggiring 1.200 penduduk kota menuju sebuah bangunan sekolah setempat.
Di bangunan sekolah setempat ini, para warga disuruh masuk Islam, namun tidak ada yang mau.
Kemudian berdasarkan kesaksiannya, para suami dibawa ke suatu tempat tertentu.
Hayfa menerima laporan dari saksi mata, menurutnya para pria tersebut dibawa pergi dan ditembak.
Terlepas dari kebenaran laporan yang ia dapatkan, Hayfa tetap yakin pada harapannya bahwa ia akan melihat suaminya kembali sedia kala dan bahagia dalam hidupnya.
Pada suatu hari di bulan Agustus 2014, sesuai penuturan Hayfa kepada ABC, selama lebih dari dua tahun ia bersama dengan para perempuan Yazidi (suatu kelompok dengan gabungan ajaran Syiah dan Sufi Islam) diperdagangkan di antara para militan ISIS di Irak dan Suriah
Diakui olehnya bahwa ia diperjual belikan sekitar 20 kali.
"Banyak orang membawa saya, menyiksa saya, memukul saya," ungkap Hayfa.
Ditutukan olehnya, ia sempat berontak terhadap kelompok yang menawannya kapanpun ia punya kesempatan
Ia juga sempat menolak perintah mereka untuk membuka pakaiannya saat ditawarkan ke calon pembeli
"Saya menolak untuk menunjukkan tubuh saya kepada mereka," katanya.
"Kami harus menunjukkan tangan kami"
"(Berkulit) putih dianggap baik. Dan mereka akan melihat apakah rambut kami indah dan panjang."
Hayfa menuturkan bahwa dirinya berulang kali diperkosa.
Ia mengaku ketakutan terbesarnya adalah kehilangan anak-anaknya.
"Mereka mengambil putra pertama saya selama satu bulan karena saya tak mau tidur dengan penculik saya," kata Hayfa.
"Mereka mengikat tangan dan kaki saya, menutup mata saya dan menyumbat mulut saya. Mereka memukul saya dan membuat saya terkunci di sebuah ruangan."
Agar anak-anaknya selamat, Hayfa mengaku rela tidur bersama penculiknya.
"Saya membiarkan mereka tidur bersama saya supaya saya bisa mendapatkan anak saya kembali."
Pada suatu waktu mertua (orangtua dari suaminya) membayar seorang penyelundup untuk membeli dirinya.
Pembelian dirinya adalah pembelian kebebasannya.
Akhirnya, Hayfa dan putra-putrinya berhasil melarikan diri dari kamp ISIS.
Mereka (Hayfa dan anak-anaknya) tiba di Toowomba, Queensland, Australia, dengan menggunakan visa kemanusiaan pada tahun lalu (2018).
Komunitas Yazidi di Australia telah mencapai lebih dari 800 orang.
Ia bercerita bahwa di Australia, dua anaknya dapat belajar di taman kanak-kanak dan sekolah setempat.
Sementara, Hayfa belajar bahasa Inggris di TAFE (semacam sekolah kejuruan)
"Saya sangat nyaman di sini bersama anak-anak saya," kata Hayfa.
"Yang paling penting adalah kehidupan anak-anak saya, bukan hidup saya. Dan tentu saja jika suami saya kembali, hidup saya akan benar-benar indah."
Baca: 3 PRT Asal Indonesia di Singapura Ditahan, Diduga Terpapar Paham Radikal ISIS
Baca: Mia Khalifa Buka Fakta Honor Main Film Porno, Alasan Jadi Aktris hingga Pernah Diancam Dibunuh ISIS
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)