Mulai dari jalan cerita hingga akting Joaquin Phoenix yang ciamik saat menjadi Joker.
Banyak hal menarik yang bisa dikupas dari karakter Joker ini.
Di dalam film, Joker yang bernama asli Arthur Fleck digambarkan sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Diketahui Arthur Fleck mengidap dua gangguan mental yaitu Skizofrenia dan juga Pseudobulbar Affect (PBA).
Penonton bisa melihat PBA Arthur Fleck beberapa kali kambuh di dalam film ini, yaitu saat ia tidak bisa mengontrol tawanya sendiri meski tidak ada hal yang lucu di sekitarnya.
Baca: Aktor-aktor Watak yang Selalu Perankan Joker: Bandingkan Wajah Asli dan saat Syuting Aktor Joker
Baca: Sempat Diwarnai Kontroversi, Film Joker Pecahkan Rekor Box Office Kalahkan Venom
Itu sebabnya Arthur Fleck juga selalu membawa kartu yang mendeskripsikan penyakit PBA-nya ini agar tidak dianggap aneh atau mengganggu orang lain di sekitarnya.
Dikutip Tribunnewswiki.com dari WebMD pada Selasa (8/10/2019), Pseudobulbar Affect (PBA) adalah kondisi saat pengidap mengeluarkan ekspresi yang berbeda dengan perasaan sebenarnya.
Pengidap dapat tertawa sampai beberapa waktu ke depan meski mereka merasa sedih atau gugup.
Tawa dan tangisan terjadi secara tiba-tiba, tidak terkendali dan seringkali pada waktu yang salah.
Respons ini bukan merupakan tanda suasana hati pengidap sedang bahagia atau sedih, melainkan karena adanya gangguan saraf.
PBA juga disebut sebagai Pathological Laughter and Crying (PLC).
Masih mengutip WebMD dan Mayo Clinic, ada beberapa gejala utama dari penyakit PBA ini.
Gejala utama ditandai dengan perilaku berupa tawa dan tangis yang terjadi secara berlebihan dan tidak berhubungan dengan keadaan emosinya.
Kemudian episode yang berlangsung lebih lama dari yang dipikir oleh sang pengidap, ledakan frustrasi dan kemarahan serta ekspresi wajah yang tidak cocok dengan emosi yang dikeluarkan.
Ledakan ekspresi bisa terjadi beberapa kali dalam satu hari dan bahkan dalam satu bulan.
Seperti yang disebutkan di atas, gejala ini tidak terkait dengan suasana hati sang pengidap.
Dengan kata lain, pengidap mungkin merasa bahagia namun ia malah menangis dan tidak bisa menghentikannya secara sadar.
Atau pengidap bisa merasa sedih tetapi mulai tertawa ketika tidak seharusnya mereka tertawa.
Menurut Web MD, beberapa orang mengatakan bahwa gejalanya muncul begitu cepat seperti kejang.
Sangat mudah untuk keliru membedakan gejala depresi atau gangguan bipolar.
Jika seseorang menderita PBA, mereka mungkin menjadi cemas atau malu di depan umum.
Mereka juga mungkin khawatir episode mendatang dan tergoda untuk membatalkan rencananya dengan teman atau keluarga.
Jika memiliki rekan atau teman yang mengidap penyakit PBA, tentu kita juga akan merasa bingung dan frustrasi untuk menghadapinya.
Korban emosi dari kondisi ini dapat sangat memengaruhi pemulihan dan kualitas hidup sang pengidap.
Sangat penting untuk mencari perawatan dan pertolongan kepada tenaga profesional atau dokter yang berkualitas dan sesuai dengan bidangnya.
Para ilmuwan percaya PBA dapat terjadi akibat kerusakan pada korteks prefrontal.
Korteks prefrontal adalah area otak yang membantu mengendalikan emosi manusia.
Juga, perubahan zat kimia di otak yang terkait dengan depresi dan hiper mood (mania) juga dapat berperan.
Bahkan, cedera atau penyakit yang memengaruhi otak juga bisa menjadi pemicu PBA.
Sekitar setengah dari orang yang terserang stroke mengalami PBA.
Kondisi neurologis lain yang umumnya dikaitkan dengan PBA adalah orang yang mengidap tumor otak, demensia, Multiple Sclerosis (MS), Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS), dan parkinson.
Dokter biasanya akan meresepkan antidepresan untuk mengendalikan gejala PBA, namun obat itu tidak selalu bekerja dengan baik.
Dikutip dari Clinical Trials Arena, pada tahun 2010, Food and Drug Administration (FDA) menyetujui dextromethorphan/quinidine (Nuedexta) sebagai obat terapi pertama untuk PBA.
Baca: Suara Tawa Joker Disebut Menghantui Penonton, Joaquin Phoenix Berikan Penjelasan
Baca: Baru Satu Minggu Diputar, Joker Berhasil Raup Rp 3,26 T dan Tumbangkan Rekor Venom
Studi menunjukkan obat itu membantu mengontrol ledakan tangis dan tawa pada orang yang memiliki kondisi Multiple Sclerosis (MS) dan Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS).