Dari sejumlah video yang beredar di media sosial, tampak jelas polisi melayangkan pukulan, tendangan dan benda tumpul ke arah demonstran yang sudah tidak berdaya.
Di Jakarta, sekitar 90 demonstran dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP).
Tiga di antaranya mengalami luka serius pada bagian kepala sehingga membutuhkan perawatan intensif lebih lama dibandingkan yang lain.
Di daerah, kondisinya nyaris serupa.
Demonstrasi awalnya berujung damai, namun ujung-ujungnya bentrok dengan aparat.
Di Kendari, Sulawesi Tenggara, dua mahasiswa meninggal dunia ketika sedang melakukan unjuk rasa.
Baca: Dikeroyok Polisi, Seorang Demonstran di JCC Terus Diinjak-injak, Lihat Videonya
Pertama, seorang mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Halu Oleo Kendari bernama Immawan Randi (21) dinyatakan meninggal karena mengalami luka tembak di dada sebelah kanan.
Polisi membantah peluru yang bersarang di tubuh mahasiswa malang tersebut adalah milik aparat.
Sebab, polisi yang menangani demonstran tidak dibekali peluru apapun bahkan termasuk peluru karet.
Menyusul Randi, Muhammad Yusuf Kardawi (19), mahasiswa Teknik Sipil Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, juga meninggal dunia, Jumat (27/9/2019).
Baca: Polisi Akui Salah soal Penahanan Ambulans Milik Pemprov DKI yang Dituding Bawa Batu dan Bensin
Yusuf meninggal diakibatkan luka benturan tak beraturan di kepalanya.
Terdapat sekitar lima luka dengan panjang sekitar 4-5 sentimeter di kepala Yusuf.
Ketiga, seorang demonstran yang belum diketahui identitasnya meninggal dunia di bilangan Slipi, Jakarta Barat, tepatnya pada Rabu (25/9/2019) malam.
Polisi menyebut, demonstran itu meninggal dunia akibat kekurangan oksigen bukan akibat tindak kekerasan aparat.
Tak hanya demonstran, para jurnalis juga menjadi korban intimidasi hingga kekerasan yang dilakukan aparat saat meliput.
Baca: Dibebaskan Polisi, Ananda Badudu Ungkap Kondisi Mahasiswa yang Ditahan: Mereka Diproses Tidak Etis
Kekerasan yang dilakukan polisi itu pun menuai kritik dari berbagai pihak.
Salah satu kritik dilontarkan Amnesty International Indonesia.
Dikutip dari Kompas.com, Jumat (27/9/2019), Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyayangkan perilaku aparat yang masih menggunakan kekerasan.
Padahal, demonstrasi mahasiswa adalah sebuah peristiwa bersejarah.
"Itu adalah salah satu hari paling bersejarah gerakan mahasiswa Indonesia dalam 20 tahun terakhir sejak 1998," kata Usman seperti dilansir Kompas.com, Rabu (25/9/2019).
"Namun sayang perlakuan aparat keamanan masih belum berubah secara berarti dengan banyaknya korban yang terluka akibat kekerasan maupun penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh kepolisian," lanjutnya.
Baca: Rekam Pengeroyokan, Jurnalis Kompas Diintimidasi Polisi, Polda metro Jaya Koordinasi dengan Propam
Amnesty pun mendesak Presiden Joko Widodo menginstruksikan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian untuk menginvestigasi kekerasan tersebut.
Kemudian, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga mendesak polisi untuk berhenti menggunakan kekerasan terhadap mahasiswa peserta aksi demonstrasi.
Menurut KontraS, cara-cara demikian justru mengundang kemarahan mahasiswa dan masyarakat.
"Hentikan cara-cara lama yang arogan dan kekerasan terhadap mahasiswa. Itu hanya mengundang kemarahan mahasiswa dan masyarakat," kata Koordinator KontraS, Yati Andriyani melalui keterangan tertulis, Rabu (25/9/2019).
Dalih Polisi
Berbagai pihak seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga mendesak Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian untuk menginvestigasi kekerasan tersebut.
Namun, Tito bergeming.
Saat konferensi pers di kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), ia tidak secara khusus membicarakan soal kekerasan yang dilakukan personelnya.
Saat konferensi pers, Tito memastikan tidak ada mahasiswa atau pelajar yang meninggal dunia dalam kerusuhan di sekitar Gedung DPR/MPR RI, Selasa (24/9/2019) dan Rabu (25/9/2019).
"Tidak ada pelajar atau mahasiswa yang saya ketahui yang meninggal dunia dalam bentrok atau demo damai di sekitar DPR," ujar Tito dalam konferensi pers, Kamis (26/9/2019).
Baca: Penyebab Dandhy Laksono dan Ananda Badudu Ditangkap Polisi
Kemudian, ia juga membicarakan mengenai jumlah orang yang ditangkap terkait demo, serta dugaan bahwa demo tersebut ditunggangi oleh kelompok tertentu.
Namun, ditemui terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo menegaskan bahwa aparat yang terbukti melawan hukum akan ditindak sesuai aturan.
"Yang terlibat dan terbukti melakukan tindakan melawan hukum, berlaku equal, baik aparat, apalagi perusuh, semua diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Sudah itu saja," kata Dedi di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis.
Komentar Jokowi
Presiden Joko Widodo, dalam pernyataan pers di Kompleks Istana Presiden, Jumat (27/9/2019), mengatakan sudah menekankan kepada Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian untuk menangani demonstran dengan tidak menggunakan cara-cara represif.
Kapolri pun sudah berkomitmen dengan instruksi tersebut.
Namun rupanya Presiden masih mendengar informasi bahwa ada personel polisi melakukan tindakan kekerasan terhadap demonstran, beberapa hari terakhir.
"Saya sejak awal (memerintahkan Polri tidak menggunakan cara represif). Kemarin saya ulangi juga kepada Kapolri agar jajarannya tidak bertindak represif," ujar Jokowi.
"Dan yang disampaikan oleh Kapolri kepada saya, tidak ada perintah apapun dalam rangka demo ini, membawa senjata," lanjutnya.
Baca: BEM SI Tolak Bertemu Presiden Jokowi di Ruang Tertutup, Gerakan Mahasiswa Bisa Terpecah
Atas kekerasan polisi terhadap demonstran yang terjadi di penjuru daerah, presiden pun sudah meminta Kapolri melakukan investigasi internal.
"Jadi akan ada investigasi lebih lanjut," ujar Jokowi.
Ketika ditanya apakah artinya Kapolri mengabaikan instruksinya, Presiden mengakui pengelolaan personel memang hal yang sulit apalagi dalam jumlah besar.
"Ini kan menyangkut ribuan personel, ribuan personel yang ada di seluruh tanah air," ujar Jokowi.