Pleidoi Aidit tentang Peristiwa Madiun 1948

Penulis: Febri Ady Prasetyo
Editor: Natalia Bulan Retno Palupi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dipa Nusantara Aidit


Daftar Isi


  • Informasi awal


TRIBUNNEWSWIKI.COM - Pada 24 Februari 1955, D.N. Aidit memberikan pembelaan pada Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituduh melakukan pemberontakan pada 18 September 1948.

Pleidoi ini disampaikan D.N. Aidit di Sidang Pengadilan Negeri Jakarta, berjudul Menggugat Peristiwa Madiun.

D.N. Aidit membalikkan tuduhan, bahwa bukan PKI yang harus didakwa, tetapi justru pendakwa, yakni pemerintahan Hatta.

Pada waktu itu Pemilu 1955 sudah di depan mata, banyak lawan-lawan politik PKI yang memojokkan.

Aidit berusah membela PKI yang dianggap menjadi penyebab Peristiwa Madiun 1948.

Tulisan ini disarikan dari dokumen pidato Aidit yang diunggah di Marxists.org

  • Aidit menghadap Pengadilan Negeri Jakarta


Aidit dipanggil ke pengadilan karena sebuah statement yang dikeluarkan Politbiro Central Comite (CC) PKI tentang peringatan PKI mengenai Peristiwa Madiun 1948.

Di dalam pidatonya, Aidit baru tahu pada 30 September 1954, jika dirinya dipanggil Pengadilan Negeri Jakarta.

Sampai saat dia berpidato (24 Februari 1955), Aidit belum membaca surat panggilan untuknya (tidak ada keterangan apakah surat itu sampai kepadanya atau tidak).

Surat panggilan tersebut kabarnya bertanggal 21 September 1954, dan berisi pemanggilan Aidit ke pengadilan pada 23 September 1954.

Namun beberapa buletin dan koran, di antaranya Antara, Pedoman, Abadi, dan Keng Po pada 13 September 1954 sudah memuat berita pemanggilan Aidit.

Aidit menduga bahwa berita di koran-koran tersebut adalah kampanye Masyumi, BKOI (Badan Koordinasi Organisasi Islam) dan BPII (Bekas Pejuang Islam Indonesia).

Aidit juga mencurigai jaksa Dali Mutiara sebagai anggota atau simpatisan Masyumi.

  • Kesan Aidil pada Peristiwa Madiun 1948


Dalam pidatonya, Aidit mengatakan bahwa Peristiwa Madiun 1948 adalah peristiwa yang tidak enak untuk dibicarakan kembali.

Menurutnya, banyak orang akan ingat dosa yang mereka lakukan karena menjadi pembunuh teman-teman seperjuangan dan saudara-saudara sebangsanya.

Mereka banyak yang ikut bagian dalam “pengejaran terhadap kaum merah” hanya karena ikut-ikutan atau perintah atasan.

Aidit pun tidak suka berbicara mengenai Madiun 1948.

Namun, dia merasa perlu membicarakannya untuk membela kehormatan kawan-kawannya yang menjadi korban dan rakyat Indonesia yang memihak PKI pada Peristiwa Madiun 1948.

Menjelang 18 September, banyak artikel di koran yang memojokkan PKI, terkait Peristiwa Madiun 1948, misalnya harian Pedoman dan Abadi.

  • Dakwaan terhadap Aidit


Pada 14 September 1953, ada sebuah artikel di Harian Rakyat berkepala “Peringati Peristiwa Madiun secara intern!”

Artikel ini memuat kata-kata provokasi, keganasan, “berjasa”, berlumuran darah, dan “kepahlawanan”.

Aidit sebagai penanggung jawab statement tersebut, didakwa menghina Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI.

Aidit dituduh melanggar pasal 134,207, 310, dan 311 KUHP.

Namun Aidit menolak semua tuduhan ini karena dalam statement tersebut tidak ada penyebutan Wakil Presiden Republik Indonesia, Moh. Hatta, tetapi hanya “pemerintah”, yakni pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir.

Menurut Aidit, statement dari Politbiro tersebut dimaksudkan untuk kepentingan umum dan pembelaan terhadap PKI.

  • Tuduhan Aidit pada Pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir


“… kami menggunakan perkataan keganasan pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir karena kami berpendapat bahwa pemerintah itu memang ganas, kami mengatakan bahwa pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir telah “berjasa” menimbulkan perang saudara ...”

Aidit ganti memojokkan pemerintahan saat Peristiwa Madiun 1948 terjadi, yakni pemerintahan Hatta-Sukiman-Natsir.

“… kami katakan bahwa tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs berlumuran darah karena yang kami maksudkan memang demikian, kami berkata tentang “kepahlawanan”  pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir dalam membasmi kaum Komunis dan kaum patriot karena yang kami maksudkan memang pemerintah Hatta-Sukiman-Natsir adalah “pahlawan” di mata kelas dan golongannya.“

Aidit mengatakan bahwa Kabinet ke-6 Republik Indonesia adalah Kabinet Masyumi.

Aidit menuduh kabinet ini menjalankan politik Masyumi dan memprovokasi Peristiwa Madiun 1948.

Bagi Aidit, Peristiwa Madiun 1948 punya kaitan erat dengan tensi politik yang memanas di Solo.

“… bahwa peristiwa Solo dan peristiwa Madiun tidak berdiri sendiri, melainkan adalah suatu rangkaian tindakan.”

Pelaksanaan rasionaliasi tentara telah menimbulkan ketidakpuasan.

Beberapa anggota TNI kontra rasionalisasi dan tokoh-tokoh PKI, di antaranya Kolonel Soetarto, Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sapardi, Kapten Suradi, Slamet Widjaja, dan Pardijo diculik dan bahkan beberapa dibunuh.

“Alip Hartojo antara lain mengatakan kepada Kawan Slamet Widjaja: “Awas, sekarang orang-orang PKI dan termasuk orang-orang golongan kiri semuanya akan dibersihkan oleh pemerintah Hatta, saya sudah pegang rencananya””

Aidit menuduh pemerintah Hatta sebagai dalang penculikan dan pembunuhan.

Berita tentang penculikan dan pembunuhan di Solo sampai di Madiun

Tensi di Madiun ikut memanas, tersebar kabar pembunuhan dan penganiayaan buruh yang dilakukan tentara.

Polarisasi pun terjadi di Angkatan Darat, yakni mereka yang kontra (Brigade 29) dan pro mengenai penculikan tersebut.

Pada 18 September 1948 pukul 01.00 sampai 08.00, terjadi pertempuran di antara mereka, Brigade 29 melucuti pasukan-pasukan Siliwangi dan Mobrig.

Dalam pertempuran ini, Letnan Sapari dari Batalyon 11 Brigade 29 dan Kapten Djaja dari CPM tewas.

Keadaan di Madiun tidak dapat diatasi oleh Residen,Wakil Residen, dan Wali Kota Madiun karena mereka sedang berhalangan.

FDR mendesak Supardi, Wakil Wali Kota Madiun agar sementara bertindak sebagai Residen, selama Residen belum kembali.

Pengangkatan Supardi disetujui oleh Letnan Kolonel Sumantri (Komandan Subteritorial Madiun), Wakil Residen Madiun Kawan Sidharto, Wali Kota Madiun, Purbosisworo, dan jawatan-jawatan, di antaranya Jawatan Kereta Api, PTT, Gas dan Listrik.

Namun, menurut Aidit, peristiwa pengangkatan Supardi ini justru dituduh Pemerintah Pusat di Yogyakarta sebagai tindakan “merobohkan Pemerintah Republik Indonesia”, “mengadakan kudeta dan mendirikan Pemerintahan Soviet”, dan lain sebagainya.

Ketika Supardi diangkat, tokoh-tokoh FDR seperti Amir Sjarifuddin, Musso, dan Harjono juga tidak sedang berada di Madiun.

Musso ke Madiun pada malam hari, 18 September 1948 karena diminta pimpinan FDR Madiun.

Aidit menganggap berita-berita yang memuat “PKI merebut kekuasaan di Madiun”, “Pemerintahan Soviet di Madiun”, dan lain sebagainya adalah pemalsuan.

Ketika PKI mengadakan konferensi pada Agustus 1948, sebuah resolusi dibuat, bernama “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”.

Aidit mengatakan bahwa dalam resolusi ini tidak ada program untuk mengkudeta Pemerintah Republik Indonesia atau mendirikan Pemerintah Soviet.

Tindakan pengangkatan Supardi, menurut Aidit justru adalah tindakan konstruktif agar keadaan keruh di Madiun bisa diatasi.

PKI tidak pernah berencana mengadakan kudeta, orang-orang hanya diprovokasi.

Namun Pemerintah justru menyerukan semua aparat untuk membasmi kaum komunis.

Musso tidak menyerukan kaum komunis agar menyerahkan lehernya, tetapi menyuruh mereka untuk melawan dengan gagah berani.

"… dalam statement Politbiro CC PKI dikatakan, bahwa bukan PKI yang bertindak kejam, tetapi tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs. yang berlumurah darah. Mungkin kata-kata yang kami gunakan ini tidak enak didengar oleh mereka yang bersangkutan, tetapi kata-kata ini benar.”

Aidit kemudian mengkritik Pemerintahan Hatta, menyalahkannya karena tega menghukum mati Amir Syarifuddin dan sepuluh orang lainnya tanpa pengadilan.

“Ini nampak dalam pidato Perdana Menteri Drs. Moh. Hatta ketika meminta kekuasaan penuh pada BPKNIP, yang antara lain berbunyi: “Tersiar pula berita – entah benar entah tidak – bahwa Musso akan menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr. Amir Sjarifuddin Perdana Menteri.” Ya, tindakan-tindakan diambil berdasar berita entah benar entah tidak, tetapi yang mati sudah pasti.”

Bagi Aidit dan PKI, Peristiwa Madiun 1948 adalah provokasi Pemerintah Hatta-.

18 September diperingatinya sebagai Hari Berkabung.

Sumber: Aidit Menggugat Peristiwa Madiun, Djakarta: Jajasan Pembaruan, 1964

Dapat diunduh di marxists.org

(TRIBUNNEWSWIKI/Febri Prasetyo)



Nama Pleidoi Aidit tentang Peristiwa 18 September 1948


Waktu 24 Februari 1955


Tempat Pengadilan Negeri Jakarta


Sumber :




Penulis: Febri Ady Prasetyo
Editor: Natalia Bulan Retno Palupi

Berita Populer