Hal ini diungkapkan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo di Gedung BNPB, Jakarta.
"Posisi jumlah penderita ISPA ini angka penjumlahan, kita bisa lihat akumulatif Februari sampai September 919.516 orang," ungkap Agus, dikutip dari Kompas.com, Senin (23/9/2019).
Baca: ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)
Penderita ISPA tersebar di enam provinsi yakni di Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Dilansir Kompas.com, Sumatera Selatan menjadi provinsi yang penduduknya paling banyak menderita ISPA.
Sebanyak 291.807 orang di Sumatera Selatan menderita ISPA.
Selanjutnya disusul oleh Riau, penderita ISPA sebanyak 275.793 orang.
Kemudian, Jambi dengan jumlah penderita ISPA 63.554 orang.
Sementara itu, jumlah penderita ISPA di Kalimantan Barat mencapai 180.695 orang.
Baca: 37 Orangutan Terkena ISPA akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan
Penderita ISPA di Kalimantan Selatan mencapai 67.293 orang.
Adapun penderita ISPA di Kalimantan Tengah berjumlah 40.374 orang.
Agus Wibowo juga mengatakan terdapat korban meninggal akibat ISPA.
"Korban ISPA meninggal kami baru melihat satu, Asmara, anggota Manggala Agni yang di Jambi meninggal waktu operasi pemadaman itu," kata Agus.
Selain itu, orangutan juga terkena ISPA akibat kabut asap di Sumatera dan Kalimantan.
Dikutip dari Kompas.com, Senin (23/9/2019), Jamartin Sihite, Ketua Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) mengatakan hingga saat ini sudah ada 37 orangutan di yayasannya terkena penyakit infkesi saluran pernapasan atas (ISPA).
Dari jumlah tersebut, sebanyak 31 di antaranya adalah orangutan muda berusia di bawah empat tahun.
"Sudah sekitar tiga bulan terpapar kabut asap. Kalau manusia bisa pakai masker, tapi kalau orangutan kan tidak bisa. Jadi tidak heran kalau mereka sakit, DNA-nya hampir sama, penyakitnya juga sama dengan manusia," ujar Jamartin dilansir Deutsche Welle Indonesia.
Dampak kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) juga mengancam eksistensi satwa hutan di Indonesia.
Dikutip dari Kompas.com, Senin (23/9/2019), Directur Policy dan Advocacy WWF-Indonesia, Aditya Bayunanda, pendekatan per spesies hewan di suatu daerah bisa dikatakan mengkhawatirkan.
Baca: Kondisi Bara dan Arang, Orangutan yang Diselamatkan dari Kebakaran Hutan Kalimantan
Baca: Memadamkan Api Tanpa Air, Inilah Cara Australia Atasi Kebakaran Hutan dan Lahan
"Satwa yang terancam agak sulit datanya, karena mungkin kita lihat dari konteks habitat. Misal gajah di Sumatera terancam karena habitatnya juga sedang terancam," ujar Aditya.
Dirinya menjelaskan bahwa ancaman terbesar spesies endemik bukanlah perburuan melainkan habitatnya.
Akibat adanya kebakaran hutan dan lahan, akan menambah ancaman bagi satwa untuk bertahan, jika habitat mereka juga dilahap oleh api dan terbakar.
Sementara itu, dikutip dari Kompas.com, pemerintah Provinsi Riau menetapkan status tanggap darurat terkait kebakaran hutan dan lahan yang melanda wilayah mereka.
"Ada dua (provinsi) ya, Kalteng (Kalimantan Tengah) sama Riau. Riau hari ini, Kalteng udah minggu kemarin ya," ujar Agus Wibowo, seperti dikutip dari Kompas.com.
Agus mengatakan, status tanggap darurat menunjukkan bahwa pemerintah daerah setempat tengah fokus menangani kebakaran hutan dan lahan yang melanda wilayahnya.
Agus menjelaskan bahwa status kebencanaan terbagi menjadi tiga.
Baca: Fenomena Langit Merah di Jambi Efek Kabut Asap, Warga Mengeluh Belum Ada Bantuan
Baca: Kabut Asap Makin Parah, Greenpeace Desak Presiden Segera Bertindak
Pertama, status siap siaga yang menandakan pemerintah daerah mengantisipasi terjadinya bencana.
Kedua, tanggap darurat yang berarti pemerintah daerah tengah menangani bencana.
Ketiga, transisi dari tanggap darurat ke pemulihan yang artinya pemerintah daerah berfokus upaya rehabilitasi dan rekontruksi.
"Kemarin siap-siap mencegahnya. Kalau ini bukan mencegah lagi, tapi mengatasi yang memang sudah jadi bencana bagi masyarakat di dua provinsi tadi," ujar Agus.
Seperti yang diberitakan, kabut asap yang melanda Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat membuat masyarakat terkena dampak.
Mulai dari pusing, sesak napas, iritasi mata, atau muntah-muntah.