Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP) yang disepakati Komisi III DPR dan pemerintah dalam rapat kerja pembahasan tingkat I, Rabu (18/9/2019), orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan atau dikenal istilah gelandangan diancam denda Rp 1 juta.
Bagian kedelapan tentang Penggelandangan memuat aturan tersebut.
Pasal 432 disebutkan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana.
Yakni dengan pidana denda paling banyak kategori I.
Adapun dalam pasal 49, pidana denda kategori I yakni sebesar Rp 1 juta.
Pasal mengenai gelandangan sebenarnya sudah diatur dalam KUHP sebelum revisi, tetapi dengan ancaman pidana yang berbeda.
Pasal 505 Ayat (1) menyertakan, barangsiapa bergelandangan tanpa mempunyai mata pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.
Kemudian, dalam Pasal 505 ayat (2) diatur, pergelandangan yang dilakukan bersama-sama oleh tiga orang atau lebih, yang masing-masing berumur di atas 16 tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.
Anggota Panja RKUHP DPR Nasir Djamil mengatakan, penerapan pidana denda bagi gelandangan memang bertujuan menjaga ketertiban umum.
"Kalau soal itu, kan terkait dengan bagaimana menjaga ketertiban umum.
Jadi kita memang tidak bisa melihat gelandangan dalam arti yang seperti sekarang ini," ujar Nasir saat dihubungi wartawan, Kamis (19/9/2019), dikutip dari Kompas.com.
Di sisi lain, lanjut Nasir, pasal ini bertujuan mendorong agar pemerintah berupaya mengurangi jumlah gelandangan.
Saat ditanya mengenai alasan penerapan pidana denda, Nasir mengatakan, hal itu justru menjadi instrumen dalam memaksa pemerintah agar memperhatikan warga negaranya.
"Makanya justru itu negara harus bertanggung jawab agar warganya tidak jadi gelandangan.
Kalau kita ngomong seperti ini seolah tidak nyambung, tetapi sebenarnya ini hukum tidak bisa berdiri sendiri," kata politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
"Jadi ini secara tidak langsung pemerintah dan penyelenggara negara akan memperhatikan warga negaranya," ucap dia.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menyebutkan bahwa beberapa pasal yang terdapat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengekang kebebasan pers.
Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas mengatur kemerdekaan pers dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.
"Pers tidak perlu diatur-atur.
Pasal 18 UU Pers ada ancaman pidana, bahwa orang yang menghalang-halangi kerja jurnalistik terancam pidana dua tahun, pidana kurungan satu tahun atau denda Rp 15 juta," kata Stanley dalam diskusi "Siaga Kebebasan Berekspresi Pasca-Pembahasan R- KUHP: Mengekang Hak Asasi Manusia, Mengancam Demokrasi Seutuhnya" di Jakarta, Rabu (1/3/2017).
Menurut Stanley, seluruh pasal terkait pers yang terdapat di dalam Revisi KUHP tidak perlu ada.
Stanley menambahkan, meski sanksi diatur di dalam UU Pers, namun semangat pembentukan UU tersebut bukan untuk menghukum insan pers apabila melakukan kesalahan.
Pada dasarnya, fungsi dan tugas pers yaitu menjalankan kewajiban negara dalam rangka memenuhi hak atas informasi bagi warga negara.
"Kebebasan informasi, menyediakan informasi dasar di mana warga negara kemudian bisa mengambil keputusan-keputusan penting untuk kehidupan dirinya sendiri," ucap Stanley.
"Nah itulah kemudian kita tahu juga bahwa wartawan di dalam bekerja dilindungi oleh hukum, dan tidak boleh dipidanakan," ujarnya.
Dewan Pers, kata dia, sejauh ini telah menandatangani nota kesepahaman dengan Polri, terkait penghormatan terhadap UU Pers dan penegakan hukum terhadap penyalahgunaan profesi wartawan.
Sehingga, apabila ada pihak yang mengaku wartawan, namun dalam praktiknya tidak memenuhi kode etik jurnalistik, atau bahkan menyalahgunakan profesi wartawan, maka dapat diancam dengan pidana ke depannya.
"Pers punya jalan tol untuk itu.
Dewan Pers bisa langsung memberikan rekomendasi kepada polisi.
Ini agar tidak ada lagi media abal-abal seperti Obor Rakyat, bentuknya seperti tabloid, dikelola seperti media tapi tidak memenuhi kaidah jurnalistik," kata dia.
Komisioner Komnas HAM, Roichawatul Aswidah mengatakan, sulit untuk membuktikan korban nyata dalam penyebaran paham atau ideologi tertentu, termasuk komunisme/Marxisme-Leninisme.
Hal itu membuat Roichawatul mempertanyakan masuknya tindak pidana terhadap penyebaran ideologi dalam draf rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (HUKP) yang sedang digodok oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
"Negara demokratis dari hari ke hari mereka mengurangi rumusan-rumusan yang korban nyatanya tidak ada," ujar Roichawatul dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Senin (22/8/2016).
"Karena rumusan pidana itu untuk melindungi hak asasi manusia warganya tentu korbannya harus riil.
Kalau korbannya tidak riil, itu harus dipertanyakan," kata dia.
Delik pidana terhadap ideologi tercantum dalam pasal 219-221. Pasal 219 dan 220 menyangkut penyebaran ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme.
Sedangkan dalam pasal 221, menyangkut peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila.
Dalam pasal 219 ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana paling lama 7 tahun.
Dalam pasal 221 ayat 1, disebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum menyatakan keinginannya dengan lisan, tulisan, atau melalui media apapun untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana penjara paling lama lima tahun.
Roichawatul menjelaskan, dirumuskannya tindak pidana merupakan kewajiban negara dalam melindungi masyarakat.
Rumusan delik dalam KUHP, lanjut dia, sejatinya melindunginya masyarakat agar tidak adanya hak yang dilanggar.
"Jangan sampai buat rumusan pidana yang nantinya melanggar hak atau mempidana manusia," ucap Roichawatul.
Roichawatul menyebutkan hak untuk memiliki keyakinan dan pemikiran dalam konstitusi merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
"Artinya tidak bisa mengatur pemikiran orang.
Itu pasti tidak akan bisa.
Manifes pemikiran bisa diatur tapi harus secara demokratis," ujar Roichawatul.