Padahal, berbagai pihak telah mendesak agar DPR segera mengesahkan RUU PKS mengingat pentingya aturan tersebut untuk mencegah semakin banyaknya korban kekerasan seksual.
Dikutip dari Kompas.com, Kamis (19/9/2019), Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan ada tiga poin di dalam RUU PKS yang masih menjadi perdebatan.
Hal tersebutlah yang menurutnya membuat pengesahan RUU PKS masih tersendat sampai sekarang.
Pertama, kata Marwan, ada perdebatan dalam menentukan judul RUU PKS.
Kedua, mengenai definisi yang dinilai masih memiliki makna ganda.
"Satu, mengenai judul. RUU Penghapusan Kekerasaan Seksual. Kedua, definisi. Definisi ini oleh teman-teman anggota panja menganggap bermakna ambigu. Kalau dipahami sebaliknya bisa menjadikan undang-undang ini terlalu bebas," kata Marwan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/9/2019).
Baca: Revisi UU KPK Mulus, Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Terseok
Marwan mengatakan, poin ketiga yang diperdebatkan adalah terkait pidana dan pemidanaan.
Menurut Marwan, anggota panitia kerja (Panja) RUU PKS tidak ingin RUU tersebut bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Menurut teman-teman tidak layak kalau UU ini bertentangan dengan induk (KUHP)," ujarnya.
Berdasarkan hal itu, Marwan mengatakan, pihaknya sudah berkonsultasi dengan Komisi III, ditemukan ada 9 pemidanaan yang sudah masuk KUHP, seperti pasal terkait pencabulan dan pemerkosaan.
"Komisi III sarankan ke Komisi VIII, supaya panja RUU PKS menunggu disahkan (KUHP). Supaya DPR tak berkontribusi melahirkan UU yang saling bertabrakan," pungkasnya.
Baca: Soal Revisi UU KPK, Mahasiswa Sampaikan Mosi Tidak Percaya ke DPR, Indonesia Berduka
Sementara itu, Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Azriana mendesak agar RUU PKS tersebut segera disahkan.
"Kami ingin segera disahkan RUU PKS," tegas Azriana dalam konferensi pers saat peringatan Hari Demokrasi Internasional di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu (15/9/2019).
Dia menilai, dibandingkan mengesahkan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang substansinya masih berpolemik, RUU PKS lebih penting untuk segera disahkan demi melindungi korban kekerasan.
"Kami minta RKUHP ditunda, tapi segera sahkan RUU PKS untuk melindungi korban dan masyarakat yang berpotensi jadi korban kekerasan seksual," kata dia.
Baca: BREAKING NEWS - Gerakan Masyarakat Sipil (GEMAS) Lakukan Aksi Desak DPR RI Segera Sahkan RUU P-KS
Menurut dia, masih ada waktu beberapa hari lagi sebelum DPR periode 2014-2019 berakhir masa tugasnya.
Dengan demikian, dia berharap agar RUU PKS secepatnya disahkan.
Terlebih RUU tersebut sudah masuk ke dalam prolegnas sejak tahun 2016.
"Revisi UU KPK saja yang tidak masuk prolegnas 2014-2019 tiba-tiba muncul dan dibahas hanya 20 hari lagi jelang berakhirnya DPR periode ini," kata dia.
"RUU PKS sudah masuk prolegnas sejak 2016 tapi tidak dibahas. Terus ditunda dengan berbagai alasan. Selama ditunda, korban kekerasan seksual terus berjatuhan," lanjut dia.
Baca: Tolak Pengesahan RKUHP, Mahasiswa : DPR Fasis, Anti-demokrasi!
Adanya penundaan terus-menerus terhadap pengesahan RUU PKS ini, dia menilai pemerintah dan DPR hanya memperhatikan korban kekerasan seksual saat viral saja.
Setelah tak lagi viral atau tak dibicarakan khalayak ramai, maka, tidak ada lagi pembicaraan tentang mereka yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut.
"Kita tak kunjung beranjak dari cara penyikapan kita ini tidak cukup respons kasus per kasus. Indonesia darurat kekerasan seksual sejak 2014," kata dia.
Namun, kata dia, darurat kekerasan seksual itu tidak cukup dengan melakukan hukuman kebiri untuk kekerasan seksual anak.
"Pemberlakuan kebiri itu memperlihatkan kepada kita betapa terbatasnya pengetahuan para pengambil kebijakan terhadap korban kekerasan seksual," ucap dia.