Mahasiswa Demo untuk Pencabutan RKUHP dan UU KPK, Komnas HAM Minta Pengesahan RKUHP Ditunda

Editor: Ekarista Rahmawati Putri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ratusan mahasiswa dari berbagai universitas kembali menggelar aksi unjuk rasa menolak pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mereka memenuhi halaman depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/9/2019) sekitar pukul 14.00 WIB. Secara bergantian, perwakilan mahasiswa Unindra, UI, UPN, Trisakti, ITB, Paramidana dan Moestopo memberikan orasi. Mereka mengkritik sikap DPR dan pemerintah yang akan mengesahkan rancangan undang-undang yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan masyarakat.

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Ratusan mahasiswa dari berbagai universitas menggelar unjuk rasa di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (19/9/2019).

Para mahasiswa berjalan dari arah kawasan Semanggi dan memadati ruas jalan Gatot Subroto.

Massa meminta DPR dan Pemerintah menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Cabut! Cabut! Cabut RUU sekarang juga!" teriak mahasiswa yang juga membawa perangkat aksi untuk menyuarakan tuntutan mereka.

Senada dengan permintaan para demonstran, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga meminta DPR RI dan pemerintah menunda pengesahan RKUHP.

Menurut Komnas HAM, RKUHP perlu diperbaiki dan berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak segera menandatangani RKUHP tersebut.

Baca: Revisi UU KPK Mulus, Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Terseok

"Permintaan kita konkret saja, kami dari Komnas HAM menilai lebih bijak RKUHP ditunda saja dan diperbaiki, tidak segera disahkan. Kalau dijadwalkan di DPR ya kami berharap Presiden Jokowi tidak segera tandatangan," ujar komisioner Komnas HAM bidang pengkajian dan penelitian, Choirul Anam, dalam konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (19/9/2019) seperti dikutip dari Kompas.com.

"Kami dari Komnas HAM percaya kalau masih punya niat baik meletakkan pemidanaan ini, tunda saja dua atau tiga bulan lagi. Kan enggak semuanya yang harus diperbaiki, ada catatan yang belum bagus," sambungnya.

Pasal Bermasalah

Choirul Anam mencontohkan, salah satu pasal yang bermasalah yakni ketentuan penerapan hukuman mati yang masih diatur RKUHP.

Menurut Choirul Anam, hukuman mati yang digunakan dalam sanksi pidana tidak akan membuat kejahatan berhenti.

"Nah ini, kalau Komnas HAM tidak kompromi soal ketentuan penerapan hukuman mati. Kenapa kami bersebrangan, karena pada praktiknya hukuman mati tidak menimbulkan efek jera," ujar Anam.

Menurut Choirul Anam, ketentuan penerapan hukuman mati dalam RKUHP tidak juga menimbulkan pengurangan kejahatan.

"Ini juga bertentangan dengan paradigma melawan kejahatan ya bukan dengan cara melakukan pelanggaran. Itu paradigma yang dibangung dalam konteks hukuman mati," ucap Choirul Anam.

Baca: Tolak Pengesahan RKUHP, Mahasiswa : DPR Fasis, Anti-demokrasi!

Ketentuan pidana mati dalam RKUHP, seperti diungkapkan Anam, dinilai bertentangan dengan sejumlah ketentuan HAM internasional.

Apalagi, Indonesia sudah meratifikasi konvenan internasional tentang hak sipil dan politik.

Anam menyebutkan, dalam konvenan tersebut dinyatakan bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi.

"Kemudian Indonesia juga meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights," kata Anam.

Pasal Tindak Pidana Perzinaan Dihapus

Sebelumnya diberitakan bahwa DPR dan Pemerintah sepakat untuk menghapus pasal 418 dalam RKUHP mengenai tindak pidana perzinaan.

Penghapusan pasal terkait tindak pidana perzinaan itu diusulkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam Rapat Kerja dengan Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2019) lalu.

Menurut Yasonna, pasal tersebut berpotensi disalahgunakan jika tetap dicantumkan kemudian disahkan.

"Kami khawatir pasal tersebut trlalu mudah mengkriminalisasi orang," ujarnya, seperti dikutip dari Kompas.com

Yasonna mengatakan, pasal tersebut memang menjadi perdebatan saat proses pembahasan antara Tim Panitia Kerja (Panja) DPR dan Pemerintah.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly saat menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2019). (KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO)

Akhirnya penghapusan pasal itu ia usulkan dalam rapat kerja setelah mendengar masukan dari berbagai pihak.

Baca: Terima Draf RUU KPK, Jokowi: Jangan Sampai Ada Pembatasan yang Mengganggu Independensi KPK

"Dan memang pasal tersebut dalam perdebatan panja, sesuatu pasal yang terjadi perdebatan dua hari dan akhirnya saya ditelepon bnyk orang, mendengar dari banyak pendapat dan saya konsultasikan pada tim," kata Yasonna.

Akhirnya, DPR dan Pemerintah sepakat menghapus pasal 418 dan segera mengesahkan RKUHP.

Adapun Pasal 418 ayat (1) menyatakan, laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan yang bukan istrinya dengan persetujuan perempuan tersebut karena janji akan dikawini kemudian mengingkari janji tersebut dipidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Kategori 3.

Kemudian Pasal 418 ayat 2 mengatur dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kehamilan dan laki-laki tersebut tidak bersedia mengawini atau ada halangan untuk kawin yang diketahuinya menurut peraturan perundang-undangan dibidang perkawinan di pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak kategori 4.

(Tribunnewswiki.com/Ekarista/Kompas.com)



Editor: Ekarista Rahmawati Putri
BERITA TERKAIT

Berita Populer