Kabut Asap Makin Parah, Greenpeace Desak Presiden Segera Bertindak

Penulis: Widi Pradana Riswan Hermawan
Editor: Natalia Bulan Retno Palupi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah kendaraan melintasi jalan yang berselimut kabut asap di Kawasan Plaju, Palembang, Kamis (12/9/2019). Kualitas udara di Kota Palembang semakin memburuk diakibatkan kebakaran hutan dan lahan. (TRIBUNSUMSEL/Abriansyah Liberto)

TRIBUNNEWSWIKI.COM – Greenpeace Indonesia dan sejumlah LSM lain mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera mengambil tindakan untuk mengatasi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang semakin parah.

Dari siaran pers yang diunggah di laman greenpeace.org, sepanjang tahun ini setidaknya tercatat ada 19 ribu lebih titik api per 7 September.

Sementara berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga 15 September 2019, terdapat 2.862 titik api dengan total luas lahan yang terbakar mencapai 328.724 hektar.

Menurut Greenpeace, kondisi tersebut semakin diperparah karena kebakaran terjadi di lahan gambut, konsesi perkebunan monokultur skala besar baik itu sawit maupun hutan tanaman industri.

Dalam sepekan terakhir, kondisi di wilayah Kalimantan dan sebagian Sumatera menunjukkan situasi darurat asap.

“Sayangnya, pemerintah selalu berupaya menyangkal dan bahkan para Menterinya mengeluarkan pernyataan yang salah kaprah dan cenderung memberikan stigma negatif terhadap masyarakat adat, masyarakat lokal dan peladang sebagai penyebab kebakaran, untuk menutupi kegagalan dalam melakukan pencegahan terhadap kejahatan korporasi yang selama ini justru kami nilai sebagai pihak yang harus bertanggungjawab, selain negara,” tulis Greenpeace, Senin (16/9/2019).

Baca: Singapura Bentuk Satgas dan Tawarkan Bantuan ke Indonesia terkait Kabut Asap

Petugas BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Sumatera Selatan mencoba memadamkan api kebakaran lahan di kawasan Kabupaten Ogan Ilir, Selasa (11/9/2019). Kebakaran lahan yang meluas dibeberapa titik di Kawasan Sumatera Selatan membuat kualitas udara kota Palembang memburuk.TRIBUN SUMSEL/ABRIANSYAH LIBERTO

Lebih lanjut, Greenpeace juga menilai penanganan tanggap darurat yang dilakukan pemerintah masih lamban sehingga menyebabkan terus berjatuhannya korban terutama kelompok rentan seperti bayi, balita dan anak-anak, perempuan, serta lansia.

“Kami menilai bahwa kabut asap ini bukan lagi sebagai kejahatan biasa, melainkan sebuah kejahatan ekosida dan kejahatan lintas batas dengan unsur-unsur yang terpenuhi yakni dampak yang meluas, jangka panjang dan tingkat keparahan yang tinggi, termasuk unsur means rea,” lanjutnya.

Melihat kondisi yang semakin parah, Greenpeace dan beberapa LSM pun mendesak Presiden Jokowi segera melakukan tindakan konkret.

Pertama, mereka mendesak pemerintah agar segera melakukan tindakan tanggap darurat yang optimal dengan menurunkan tenaga medis dan mematstikan semua layanan kesehatan bagi warga terdampak kabut asap hingga ke daerah pelosok.

“Dengan menyediakan seluruh fasilitas kesehatan dan pelayanan secara cepat dan gratis, menyediakan tempat-tempat pengungsian dengan kelengkapan kesehatan yang dibutuhkan, khususnya bagi kelompok rentan,” tulisnya.

Baca: 5 Fakta Dampak dari Kabut Asap di Riau: Warga Mengungsi hingga Sekolah Diliburkan

Kabut asap pekat menyelimuti kawasan udara Kota Pontianak dilihat dari Masjid Raya Mujahidin, Jalan Ahmad Yani, Pontianak, Kalimantan Barat, Minggu (15/9/2019). Akibat karhutla di Kalbar, dengan titik api terbanyak di kawasan Ketapang, Sintang, dan kayong Utara, kualitas udara Kota Pontianak memburuk, serta beberapa penerbangan yang masuk dan keluar dari Bandara Internasional Supadio terpaksa dibatalkan. TRIBUN PONTIANAK/DESTRIADI YUNAS JUMASANI

Selain itu, pemerintah juga didesak untuk melakukan pemulihan kesehatan fisik maupun psikologis secara kontinyu bagi masyarakat terdampak pasca-kebakaran.

Pemerintah juga didesak untuk segera membangun sistem respon cepat untuk penanganan kebakaran hutan dan lahan, termasuk evakuasi masyarakat, terutama perempuan, anak-anak, dan lansia ke lokasi aman.

Berikutnya, Greenpeace menuntut pemerintah agar segera mencabut upaya hukum luar biasa melalui skema Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) terkait gugatan warga negara (citizen lawsuit) atas kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada 2015 di Kalimantan Tengah.

Pemerintah juga diminta untuk menghentikan pernyataan yang berisi tuduhan yang mengambinghitamkan masyarakat adat atau masyarakat lokal atas kebakaran hutan demi melindungi korporasi.

“Sepanjang pekan ini kami masih melihat bahwa pemerintah masih saja menyalahkan peladang, meski dihadapkan pada fakta temuan lapangan, bahwa titik api sebagian besar di kawasan konsesi, sebagaimana yang disampaikan   oleh KLHK bahwa proses penegakan hukum yang sebagian besar diketahui berada di lahan korporasi,” tambahnya.

Baca: Kabut Asap Riau, Menteri Perhubungan: Sejauh Ini Belum Ada Dampak yang Serius

Seorang anak tengah mendapatkan oksiden di Rumah Singgah Pemulihan Kesehatan Bagi Masyarakat Akibat Karhutla di Poliklinik Korem 031/WB, Minggu (15/9/2019). Rumah singgah yang didirikan oleh Kodim 0301/Pekanbaru tersebut akan beroperasi hingga batas waktu yang tidak ditentukan selama kabut asap masih ada. Sejumlah posko kesehatan gratis untuk korban kabut asap di Kota Pekanbaru dan daerah-daerah lainnya kini sudah mulai banyak didirikan untuk menjaga kesehatan masyarakat ditengah kepungan kabut asap. TRIBUN PEKANBARU/THEO RIZKY

Karena itu, pemerintah diminta untuk membuka kepada publik lahan-lahan konsesi yang terbakar serta nama korporasi terkait.

Lebih lanjut, pemerintah juga diminta untuk menghentikan lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah, karena hal tersebut dinilai hanya akan memperburuk penanganan kabut asap.

Tidak sampai di situ, pemerintah juga didesak untuk melakukan review izin, audit lingkungan, serta pencabutan izin konsesi pada korporasi yang lahannya terbakar atau ditemukan titik api.

UU Masyarakat Adat yang memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat juga diminta untuk segera disahkan.

“Pengesahan ini juga bagian dari upaya menghentikan pelabelan negatif selama puluhan tahun hingga hari ini dari negara terhadap Masyarakat Adat dalam setiap peristiwa karhutla,” ujarnya.

Baca: 12 Orang Jadi Korban Kabut Asap Karhutla Riau, di Antaranya Anak-anak dan Ibu Menyusui

Pemerintah juga didesak untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup, sosial dan ekonomi yang berkeadilan bagi masyarakat, perempuan dan laki-laki yang terdampak dari kebakaran hutan dan lahan gambut, maupun kabut asap.

Selain Greenpeace Indonesia, setidaknya ada 11 LSM lain yang mendesak hal serupa kepada pemerintah seperti WALHI, YLBHI, Solidaritas Perempuan, RMI, KontraS, KPA dan sebagainya.

(TribunnewsWIKI/Widi Hermawan)



Penulis: Widi Pradana Riswan Hermawan
Editor: Natalia Bulan Retno Palupi
BERITA TERKAIT

Berita Populer