Aksi yang dilakukan siang ini, Selasa, (17/9/2019) oleh GEMAS adalah untuk mendesak DPR khususnya Panitia Kerja (Panja) Komisi VIII DPR RI untuk segera mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan - Kekerasan Seksual (P-KS).
Rilis resmi yang diterima Tribunnewswiki.com terima pada siang ini pukul 13.11 WIB menjelaskan beberapa poin terkait tuntutan yang dilayangkan pada Panja RUU P-KS Komisi VII DPR RI.
Pada poin pertama, GEMAS mendesak Panja RUU P-KS untuk segera membahas RUU P-KS dengan fokus: (a) menyepakati judul dan sistematika, (b) mempertahankan 6 elemen kunci RUU P-KS yaitu 9 tindak pidana kekerasan seksual, pencegahan, pemulihan, hukum acara, ketentuan pidana, dan pemantauan.
Selanjutnya, GEMAS mendesak DPR RI segera membentuk Tim Perumus RUU P-KS
Poin yang terakhir, GEMAS meminta keterbukaan dan pelibatan masyarakat selama proses pembahasan RUU P-PKS.
Dihubungi oleh Tribunnewswiki.com melalui Whatsapp pribadi, koordinator aksi sekaligus anggota Forum Pengada Layangan Bagi Perempuan Korban Kekerasan, Veni Siregar mengatakan bahwa DPR selama ini sengaja melakukan penundaan pembahasan.
"karena Panja ruu pks berangapan ada anggota yg tidak setuju. mereka merasa terancam jika ruu ini disahkan" kata Veni.
Aksi siang ini menurut GEMAS dihadiri oleh seluruh elemen masyarakat, pendamping korban, keluarga korban, serta para penyintas dari semua daerah.
Hal ini olehnya, diakui sebagai bukti betapa penting dan berartinya RUU P-KS bagi Indonesia agar negara mengambil langkah-langkah yang kuat untuk mewujudkan terobosan payung hukum bagi korban.
Perjalanan RUU P-KS
Sebelumnya, DPR RI telah menetapkan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) sebagai Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas Prioritas) pada tahun 2016.
Tak hanya itu, RUU P-KS juga dimasukkan kedalah RUU inisiatif DPR pada bulan April 2017.
Memakai angka kriminal yang diakumulasikan oleh Statistik Kriminal Badan Pusat Statistik tahun 2018, total kekerasan seksual yang terjadi sejak 2014 hingga 2017 sejumlah 21.310 kasus, dengan rata-rata terjadi 5327 kasus per tahunnya.
Selain itu, hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama BPS ahun 2016, menemukan sebanyak 33,4 % perempuan Indonesia yang berusia 15 – 64
tahun mengalami kekerasan dan kekerasan seksual.
Angka tersebut merupakan kasus yang tertinggi yaitu 24,2%.
Penelitian yang dilakukan Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan seksual pada tahun 2015–2016 di 20 Provinsi menemukan bahwa hanya 10-15 % pelaku kekerasan seksual yang dihukum pengadilan.
GEMAS dalam rilisnya sangat menyesalkan bahwa selama 3 (tiga) tahun sejak tahun 2016 hingga September 2019 (masa akhir periode DPR RI), belum ada kemajuan penting dalam pembahasan RUU P-KS.
GEMAS juga merasa prihatin bahwa tiga tahun berlalu tanpa kemajuan pembahasan RUU P-KS di DPR RI
Menurut mereka, Panja RUU P-KS Komisi VIII terkesan mengulur-ulur waktu dan menghindari kewajiban sebagai wakil rakyat untuk segera membahas serta mengesahkan RUU yang menjadi inisiatifnya sendiri.
Selama 3 tahun penundaan pembahasan RUU P-KS di DPR, dilaporkan telah terjadi 16.943 kasus kekerasan seksual.
Tak hanya itu, dalam rilisnya, GEMAS juga menyayangkan atas fitnah terhadap RUU P-KS dari beberapa pihak.
Menurut GEMAS, mereka tidak mengerti pentingnya RUU P-KS bagi korban.
Seringnya penundaan yang dilakukan DPR RI, GEMAS menyayangkan Panja RUU P-KS yang menurut mereka cenderung mengabaikan perintah konstitusi.
Desakan GEMAS kepada Panja RUU P-KS Komisi VIII DPR RI menyatakan tingginya resiko kekerasan seksual telah menghambat, membatasi serta merampas kebebasan dan hak-hak fundamental warga negara.
Para korban diakui oleh GEMAS terhambat untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan, serta hak-hak lain dalam rangka
keberkelanjutan hidup yang layak.
Sebagai warga negara, korban juga terhambat untuk berpartisipasi dalam pembangunan sehingga tidak dapat menjadi ambil bagian sebagai sumber daya manusia yang berkualitas.
Tiga tahun tanpa kemajuan pembahasan RUU P-KS diakui oleh GEMAS menciptakan gelombang dukungan dari masyarakat sipil di seluruh Indonesia yang dikatakan mendukung pembahasan dan pengesahan RUU P-KS.
Sebelumnya, Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Azriana mendesak agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) segera disahkan.
"Kami ingin segera disahkan RUU PKS," tegas Azriana dalam konferensi pers saat peringatan Hari Demokrasi Internasional di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Minggu (15/9/2019).
Dilansir oleh Kompas.com, Azriana menilai, dibandingkan mengesahkan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang substansinya masih berpolemik, RUU PKS lebih penting untuk segera disahkan demi melindungi korban kekerasan.
"Kami minta RKUHP ditunda, tapi segera sahkan RUU PKS untuk melindungi korban dan masyarakat yang berpotensi jadi korban kekerasan seksual," kata dia.
Menurut dia, masih ada waktu beberapa hari lagi sebelum DPR periode 2014-2019 berakhir masa tugasnya.
Dengan demikian, dia berharap agar RUU PKS secepatnya disahkan.
Terlebih RUU tersebut sudah masuk ke dalam prolegnas sejak tahun 2016.
"Revisi UU KPK saja yang tidak masuk prolegnas 2014-2019 tiba-tiba muncul dan dibahas hanya 20 hari lagi jelang berakhirnya DPR periode ini," kata dia.
"RUU PKS sudah masuk prolegnas sejak 2016 tapi tidak dibahas.
Terus ditunda dengan berbagai alasan.
Selama ditunda, korban kekerasan seksual terus berjatuhan," lanjut dia.
Adanya penundaan terus-menerus terhadap pengesahan RUU PKS ini, dia menilai pemerintah dan DPR hanya memperhatikan korban kekerasan seksual saat viral saja.
Setelah tak lagi viral atau tak dibicarakan khalayak ramai, maka, tidak ada lagi pembicaraan tentang mereka yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut.
"Kita tak kunjung beranjak dari cara penyikapan kita ini tidak cukup respons kasus per kasus.
Indonesia darurat kekerasan seksual sejak 2014," kata dia.
Namun, kata dia, darurat kekerasan seksual itu tidak cukup dengan melakukan hukuman kebiri untuk kekerasan seksual anak.
"Pemberlakuan kebiri itu memperlihatkan kepada kita betapa terbatasnya pengetahuan para pengambil kebijakan terhadap korban kekerasan seksual," ucap dia.