Wawancara dengan Aktivis Kemerdekaan Papua, Wartawan ABC News Australia Mengaku Dibuntuti

Penulis: Dinar Fitra Maghiszha
Editor: Putradi Pamungkas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Laporan Jurnalistik, Anne Barker, Koresponden Indonesia di ABC News Australia mengaku dibuntuti pengendara motor saat akan mewawancarai seseorang di Sorong, Papua Barat

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Koresponden Indonesia dari ABC News Australia, Anne Barker menceritakan pengalamannya saat sedang bertugas melakukan wawancara dengan aktivis pro kemerdekaan Papua.

Saat berkunjung ke Sorong, Provinsi Papua Barat, Anne bersama supirnya mengaku memperhatikan adanya sepeda motor yang membuntuti mobilnya dari kejauhan.

Ia mengakui sedang diikuti oleh seseorang.

Laporan jurnalistiknya di ABC, Jumat, (6/9/2019) menuturkan bahwa sebelum datang ke Sorong, ia dan rekan wartawannya telah diberitahu dan diperingatkan akan diawasi oleh aparat intelijen Indonesia.

Sehingga ia dan rekannya telah menduga bahwa hal yang ia alami akan terjadi.

Pada dasarnya, media asing sangat jarang sekali diizinkan untuk masuk ke salah satu daerah di Provinsi Papua atau Papua Barat.

Terlebih lagi, saat sedang terjadi pergolakan masyarakat Papua yang diwarnai dengan aksi demonstrasi dan kerusuhan yang hampir terjadi di setiap daerah di Papua.

Baca: Benny Wenda Akhirnya Bicara soal Kerusuhan Papua, Ancam Papua Bisa Menjadi Timor Timur Berikutnya

 

Anne bersama rekan wartawannya datang ke Kota Sorong untuk bertemu seorang aktivis pro kemerdekaan, Yosina (bukan naman sebenarnya).

Yosina adalah seorang perempuan berusia 27 tahun yang sampai saat ini masih bersembunyi setelah mengikuti aksi demonstrasi pro kemerdekaan yang berujung kerusuhan di Sorong, Papua Barat.

Dia (Yosina) mengaku masih merasakan ketakutan apabila diculik dan dibunuh oleh aparat berwajib Indonesia.

Yosina menceritakan kepada wartawan ABC momen ketika dirinya telah berhasil menghindar agar tidak tertangkap aparat.

Sebelum wawancara, ia menunggu wartawan ABC berhenti di sebuah hotel kecil di Sorong, kota terbesar di Provinsi Papua Barat.

Sambil menunggu, ia memperhatikan apakah rombongan ABC News Australia di Indonesia diikuti orang atau tidak.

Baca: Benny Wenda Minta PBB & Australia Terlibat di Papua, Wiranto: Tidak Ada Kemungkinan Referendum

 

Anne mengakui bahwa dirinya dan rekannya telah berhasil mengecoh kendaraan yang ada di belakangnya.

Setelah sampai di sebuah hotel, Anne disambut Yosina dengan kepala tertutup.

Yosina kemudian menaiki motor bersama temannya untuk menuntun Anne dan rekannya menuju sebuah rumah di pinggiran kota.

Sesampainya di rumah, wawancara ABC News Australia bersama Yosina pun dimulai.

Baca: Benny Wenda Akhirnya Bicara soal Kerusuhan Papua, Ancam Papua Bisa Menjadi Timor Timur Berikutnya

Yosina secara garis besar menceritakan bahwa ia takut akan ada aksi balasan usai kerusuhan yang terjadi di Papua beberapa waktu yang lalu.

Sebelumnya, aksi demonstrasi yang terjadi di Sorong dan beberapa kota lain dipicu komentar rasis dari aparat Indonesia terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur pada saat peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.

Diakui ABC, bahwa penghinaan rasis tersebut hanyalah sumbu yang memantik kemarahan masyarakat Papua lebih dalam akan penindasan yang dilakukan aparat Indonesia di Papua.

Di tengah upaya puluhan tahun untuk merdeka dari Indonesia, ratusan demonstran pro-kemerdekaan di Sorong kemudian tersulut kemarahannya hingga membakar gedung-gedung, menghancurkan jendela, dan memblokir jalan dengan ban terbakar

Pasca kejadian tersebut, ratusan narapidana berhasil melarikan diri setelah membakar gedung penjara.

Kesaksian Yosina kepada ABC menerangkan bahwa sejumlah 15 aktivis ditangkap dan ditahan selama berjam-jam dengan tuduhan memprovokasi.

Yosina juga menerangkan bahwa terdapat seorang demonstran yang dipukuli di bagian wajahnya, sehingga membuat matanya memar dan berdarah.

"Kami takut, bukan hanya aktivis tetapi semua orang Papua tidak takut," kata Yosina kepada Anne Barker, ABC News Australia, Koresponden Indonesia.

"Kami kalah jumlah. Ada begitu banyak pendatang di sini."

"Kami tidak bisa tidur di malam hari. Saat tidur, kami dengar suara pesawat dan helikopter seperti akan mendarat, membuat kami merasa terancam."

Yosina menyatakan bahwa tidak ada ancaman yang bisa menghentikan perjuangan orang Papua untuk merdeka.

"Itu melampaui rasisme. Papua sedang dijajah. Kami ingin menentukan nasib kami sendiri," katanya.

"Kami melawan ketidakadilan, dan penjajahan tanah Papua. Kemerdekaan Papua adalah resolusi tertinggi."

Diakui oleh ABC, bahwa gelombang aksi demonstrasi yang meletus di kedua provinsi Papua sejak 19 Agustus lalu, adalah kerusuhan sipil terburuk di sana selama bertahun-tahun.

Pada pekan lalu, setidaknya enam pengunjukrasa ditembak mati di Deiyai, Papua, ketika aparat menembak ke kerumunan pengunjukrasa.

Dalam dua minggu terakhir, aparatur mengirimkan ribuan pasukan tambahan ke Papua dan Papua Barat, dalam upaya mengatasi kerusuhan.

Di Sorong, ABC melakukan pengamatan bahwa sekitar 500 polisi anti huru-hara dari Brimob berkumpul di depan markas polisi sebelum berbaris ke kendaraan lapis baja untuk berpatroli.

Mario Siregar dari Kepolisian Sorong membantah pihak berwajib melukai siapa pun dalam kerusuhan.

"Sampai hari ini tidak ada yang terluka dan kami tidak ingin ada korban karena kami mendapat perintah dari Kapolri dan Panglima TNI bahwa kami harus beroperasi secara manusiawi," kata Mario.

"Kami mendapat perintah tegas untuk tidak menggunakan peluru tajam. Saya memerintahkan anggota saya dilarang menggunakan peluru tajam."

Komisaris Siregar juga membantah adanya larangan aksi demo, sepanjang penyelenggara mengikuti aturan dan tidak mengganggu ketertiban umum.

Komentar dia tersebut (diklaim oleh ABC) bertentangan dengan larangan aksi demonstrasi di tingkat nasional, yang diumumkan awal pekan ini, pada semua aksi demo yang mendukung separatisme di Papua.

Menko Polhukam Wiranto mengumumkan siapa saja yang melanggar akan menghadapi tindakan tegas dan penegakan hukum, termasuk tuntutan pidana.

Pengakuan Tetua Adat di Sorong

Seorang tetua adat di Sorong, Silas Kalami, menuturkan kepada ABC bahwa semua orang Papua harus bebas mengekspresikan hak-hak mereka, termasuk hak referendum kedua, seperti yang dijanjikan Belanda ketika melepaskan kendali atas Papua pada 1960-an.

Referendum pertama pada tahun 1969 umumnya dipandang penuh tipu daya, karena hanya sebagian kecil orang Papua yang diizinkan memberikan suara, "di bawah intimidasi".

"Saat itu bukan satu orang satu suara, tapi satu kepala suku mewakili seluruh warga sukunya," ujar Silas Kalami, kepala suku Malemoi di Sorong.

"Sebelum Belanda meninggalkan Papua, mereka membentuk Negara Papua. Kami memiliki bendera dan mata uang sendiri. Setelah itu, Belanda pergi dan Indonesia pun masuk."

"Orang Papua meminta hak mereka kembali," tegas Silas.

Dia menyalahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa atas nasib Papua saat ini, karena badan dunia itu tak mengizinkan semua warga Papua untuk memilih dalam referendum 1969.

"PBB harus mengoreksi sejarah karena itu adalah kesalahan mereka," katanya.

"PBB harus mengoreksi referendum 1969 yang tidak dilakukan sesuai dengan prosedur PBB sendiri. Seharusnya satu orang satu suara, tapi justru dilakukan secara kolektif dan di bawah intimidasi."

Silas mengakui memang saat ini sebagian orang Papua lebih mendukung otonomi luas daripada kemerdekaan.

PBB kemarin menyatakan keprihatinan atas kekerasan di Papua, termasuk laporan bahwa kelompok milisi pro-Indonesia terlibat dalam bentrokan dengan para demonstran.

Tapi PBB tidak berkomentar mengenai desakan digelarnya referendum baru yang disponsori PBB.

"Kami telah mendiskusikan keprihatinan kami dengan pihak berwenang Indonesia," kata Komisaris HAM PBB Michelle Bachelet.

"Seharusnya tidak boleh ada kekerasan semacam itu di Indonesia yang demokratis dan beragam," katanya.

"Saya meminta pihak berwenang untuk terlibat dalam dialog dengan rakyat Papua dan Papua Barat mengenai aspirasi dan keprihatinan mereka."

Delegasi PBB telah meminta izin Indonesia untuk mengunjungi Papua beberapa bulan mendatang, tetapi sejauh ini belum ada jadwal yang ditetapkan.

Penetapan Tersangka, Aktivis Veronica Koman dan Komentar Benny Wenda

Sebelumnya, setelah menetapkan Tri Susanti sebagai penyebar berita bohong dan Syamsul Arifin sebagai pelaku ujaran rasis kepada mahasiswa Papua di Surabaya, Polda Jawa Timur kemudian menetapkan seorang aktivis sekaligus pengacara, Veronica Koman sebagai tersangka.

Polda Jawa Timur menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka karena dinilai telah melakukan provokasi lewat media sosial.

Dikutip dari Tribunnews.com, Rabu (4/9/2019), penetapan Veronica Koman sebagai tersangka pada Rabu siang oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Jatim.

Benny Wenda selaku pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menyesalkan tindakan Kepolisian Republik Indonesia yang menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka.

Benny Wenda yang saat ini tinggal di Oxford, Inggris, menyesalkan Veronica sebagai tersangka.

"Dia seorang wanita yang selalu membela hak-hak azasi manusia, dia sama sekali tidak terlibat dalam permainan politik," ujar Benny dalam program Pacific Beat, ABC Radio yang disiarkan Kamis (5/9/2019).

Benny Wenda menjelaskan bahwa Veronica akan bersedia membela siapa saja, baik itu orang Papua meupun lainnya.

Sebelumnya Benny Wenda juga mengungkapkan, situasi di Papua Barat "sangat mirip" dengan perjuangan untuk merdeka yang pernah terjadi di Timor Leste, 20 tahun yang lalu.

"Itulah sebabnya saya menyerukan intervensi PBB karena saya tidak ingin ini berakhir seperti Timor Timur," kata Benny Wenda.

Benny Wenda juga berharap, PM Australia ikut bertindak sebagai respons atas situasi yang tengah terjadi di Indonesia.

"Saya berharap, Perdana Menteri Australia akan membuat pernyataan tentang situasi saat ini. Kita perlu Australia untuk keluar dan membuat pernyataan publik tentang krisis kemanusiaan di Papua Barat," ungkap Bennya Wenda.

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)



Penulis: Dinar Fitra Maghiszha
Editor: Putradi Pamungkas
BERITA TERKAIT

Berita Populer