Informasi Awal
TRIBUNNEWSWIKI.COM - Pernyataan sikap Dewan Adat Papua tersebar di jejaring sosial media.
Sesuai yang tercantum dalam pernyataan resminya, Dewan Adat Papua (Papua Customary Council) yang bertempat di Kantor Jalan Raya Sentani, Waena Expo, Jayapura Papua mengeluarkan pernyataan sikap merespon isu rasisme terhadap masyarakat Papua.
Pernyataan tersebut ditandatangani di Wamena pada Senin, (26/8/2019) dengan atas nama Ketua Umum Dewan Adat Papua, Dominikus Sorabut dan diikuti dengan 9 (sembilan) tanda tangan persetujuan lainnya.
Dalam pernyataan ini (sesuai dengan rilis) setidaknya ada 3 (tiga) poin utama, yang pada intinya adalah:
(1) Penarikan pelajar yang bersekolah/kuliah di seluruh pulau di Indonesia agar pulang ke Papua,
(2) Pembiayaan kepulangan pelajar di luar pulau Papua,
(3) Membawa masalah rasisme Papua ke tingkat internasional.
Tribunnewswiki.com menghimpun isi teks dalam pernyataan sikap yang diterima dan tidak mengubah atau melakukan interpretasi atas sumber untuk menjaga otentisitas.
Isi
Berikut adalah isi dari pernyataan sikap masyarakat adat Papua:
Disampaikan Kepada:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ir. JOKO WIDODO
Di Jakarta
--
Syukur Bagi-Mu Tuhan
Bapak Presiden yang terhormat, pada menyelang Perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-74, rakyat Papua mendapat kado istimewa, yaitu hujatan monyet, anjing, babi, dan sejenisnya disampaikan kepada anak-anak, mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, dan Semarang oleh TNI, Polri dan Ormas Reaksioner pada tanggal 16 Agustus 2019, kami mengucapkan terima kasih kepada pemerintah dan rakyat Indonesia telah merubah rupa dan wujud orang Papua seperti binatang. Dan secara langsung telah merendahkan martabat Tuhan Sang Pencipta rupa dan wujud orang kulit hitam. Sekali lagi kami mengucapkan dalam salam nasional kami: waa waa waa.
Dahulu kala, orang Papua tidak pernah bermimpi atau didak mempunyai wasiat hidup, ketika suatu saat akan hidup bersama Indonesia menjadi korban rasisme, sama sekali tidak ada dalam kitab kehidupan nenek moyang kami. Wasiat kehidupan kami, adalah orang Papua mandiri dalam pemerintahan adat, secara konsisten mempertahankan otoritas dan mengelola hak-hak dasar untuk hidup dan berkembang diatas tanah Papua dari sorong sampai samarai sebagai ras negriod, rumpun melanesia di Pasifik Selatan yang hidupnya sangat polos, terbuka, jujur, dan hati mulia dengan nilai-nilai cinta kasih.
Sejak orang luar masuk di tanah Papua, kehidupan mulai berubah dan beralih dari polos, terbuka, jujur, dan hati mulia yang dilandasi oleh nilai-nilai cinta kasih menjadi hampa. Orang Papua ditekan dan dipaksakan ikut hidup dengan gaya dan kebiasaan orang luar, sampai nyawapun dipertaruhkan. Otoritas dihancurkan, hak-hak dasar terlebih tanah, hutan, laut dikuasai dan dieksploitasi untuk kepentingan luar, orang Papua menjadi miskin dan dimarginalkan diatas tanahnya. Identitas secara perlahan dan merangkak dimusnahkan, sedang terjadi depopulasi orang asli Papua.
Rasisme ini berawal dari pencaplokan Tanah Papua menjadi percaturan politik dunia antara Amerika dan Belanda tanpa melibatkan orang Papua sebagai pemilik otoritas dan hak dasar. Konspirasi politik tersebut melahirkan perjanjian-perjanjian yang tidak berpihak kepada orang Papua. Amerika secara sepihak melalui UNTEA menganeksasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Indonesia sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang. Orang Papua didiskriminasi, dimaginalisasi, dirasialis dan melanggar Hak Asasi seperti binatang buruan. Orang Papua harus tunduk pada laras senjata dan dicaci maki. Akibatnya orang asli Papua tidak berdaya dan menjadi korban diatas tanahnya.
Hujatan Rasisme terhadap orang Papua, bukan baru pertama kali dialami dan didengar, numun sudah ada sejak aneksasi Papua ke dalam Indonesia. Di mulai dari operasi-operasi tumpas perebutan Papua tahun 1965-1996 banyak orang Papua mati dan lain eksodus ke Papua New Guinea sampai sekarang. Pernyataan terbuka Jenderal Ali Murtopa, di kota NICA (sekarang kampung Harapan Sentani) tahun 1970, mengatakan bahwa Indonesia tidak butuh monyet-monyet seperti kalian, namun Indonesia hanya butuh pulau Papua. Jika orang Papua mau hidup mintalah kepada Tuhanmu atau kepada Amerika di planet sana. Rasisme terus dirawat tidak hanya di pulau Jawa, namun sering didengar keluhan dari anak-anak kami kuliah di Sulawesi, di Sumatera dan pulau lain di Indonesia, bahkan sering muncul di media sosial (facebook, twitter dll). Diantara korban rasisme adalah Frans Kaisepo pada uang kertas 10.000;, Natalius Pigay, dan para pemain persipura. Hujatan rasisme ini dialamatkan kepada kita semua termasuk Gubernur Papua dan Papua Barat, DPR Propinsi dan Kabupaten/Kota setanah Papua, MRP, Bupati dan Walikota setnah Papua, TNI/Polri, Akademisi, Pimpinan Agama, LSM, Pelajar, Aktivis dan Masyarakat Adat Papua ada diatas tanah Papua.
Rasisme dialami Mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, dan Semarang, tanggal 16 Agustus 2019 merupakan akumulasi. Seluruh Orang Papua secara spontan merespons dengan melakukan aksi damai seperti getaran gempa. Aksi damai ini, dibeberapa tempat mengalami dikriminalisasi, misalnya di Manokwari, Sorong, Fak-fak, dan Timika. Di Fak-fak kantor Dewan Adat Baham Mata dibakar oleh kelompok Barisan Merah Putih atau Kelompok Nusantara. Respons Rasisme tidak hanya dari kalangan rakyat saja namun Pejabat Papua juga bersuara keras, Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat secara tegas menyatakan untuk memulangkan mahasiswa ke tanah Papua. Majelis Rakyat Papua (MRP) sudah mengelurkan makmulat memulangkan mahasiswa Papua. Rasisma orang Papua juga menjadi viral global, saudara-saudara kami kulit hitam di Pasifik, Karibian dan Afrika turut merasak rasisme, sedang bersolider dengan kami. Kita tidak sendirian, kita ada bersama komunitas dunia dalam rasisme. Dampaknya Jakarta melokalisir rasisme dengan mematikan jaringan Internet seluler, guna tidak berkembang berita-berita hoaks rasisme. Apa kata dunia nanti!.
Bapak Presiden, sebagai mandataris negara mewakili rakyat Indonesia telah menyampaikan permohonan maaf kepada orang Papua. Namun kata maaf ini, orang Papua tidak bisa diterima, karena rasisme terus akan ada, hal ini terlihat pada kejadian rasisme ini benar namuan menurut Jakarta Hoaks atau tipu, sekalipun sudah ada bukti juga dianggap hoaks dan masih menyangkal. Dengan demikian orang Papua tidak ada harga dan nilai sedikitpun dimata Indonesia, pelecehan rasisme terus akan tumbuh subur di Indonesia. Kami di ciptakan oleh Tuhan menurut Rupah dan wajahnya bersama alam semesta tanah Papua. Harga diri tidak bisa ditawar dengan kata minta maaf, sudah lama rakyat Papua hidup dalam bayang-bayang rasisme, diskriminasi dan marginalisasi. Dalam memoria hidup orang Papua terus akan teringat rasisme oleh Indonesia. Ibarat sama dengan hanyalah hewan yang tidak menghargai dan melupakan sejarah masa lalunya.
Bahwa kami sungguh sadari beda ras dan beda warna kulit, beda nenek moyang. Perbedaan inilah kami tidak punya harapan hidup dimasa depan bersama Indonesia. Hak hidup kami sudah dihancurkan dan dikuasai oleh kejahatan negara, kami terus dimiskinkan dan diisolasi menjadi minoritas atas tanah Papua. Karena Presiden Republik Indonesia, sudah berjanji akan menyelesaikan masalah Papua secara komprehensif dan tuntas. Namun itu hanya janji palsu untuk merebut hati kami dengan memperpanjang penderitaan. Semua ini hanya grand design mempercepat pemusnahan identitas yang disebut Monyet ini. Sebab potret kecil, anak-anak kami sudah diperlakukan seperti binatang mencerminkan konsep induk untuk Papua tidak jauh bedah, kami sedang mengalami mimpi buruk.
- Anak-anak kami yang sedang belajar/kuliah di seluruh pulau di Indonesia pulang ke Tanah Papua. Agar anak-anak dapat dihargai seperti manusia dan melanjutkan pendidikan di Papua.
- Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat bersama masyarakat adat akan membiayai kepulangan anak-anak yang sedang belajar/kuliah di luar pulau Papua.
- Persoalan rasisme ini masalah dunia, oleh sebab itu, kami akan bawa ke Forum yang lebih tinggi yaitu United Nations Permanen Forum on Indigenous Issue (UNPI) pada bulan September 2019, dibawah Dewan HAM PBB dan di forum-forum lain di Internasional.
Demikian pernyataan sikap kami melalui aksi Nasional Masyarakat Adat Papua, kepada Presiden Republik Indonesia. Atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Waa waa waa.
Wamena 26 Agustus 2019
TTD
Dominikus Sorabut
Menyetujui:
TTD: Tanda tangan berjumlah 9 (sembilan)