Hukuman Kebiri Kimia (Chemical Castration Law)

Penulis: Dinar Fitra Maghiszha
Editor: Ekarista Rahmawati Putri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi


Daftar Isi


  • Informasi Awal


TRIBUNNEWSWIKI.COM - Pada tahun 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Salah satu ketentuan dalam Perppu No. 1 Tahun 2016 adalah berisi tentang Kebiri Kimia.

Perppu mengenai Kebiri Kimia ini kemudian pada akhirnya telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Mayoritas fraksi di DPR sepakat dengan hukuman kebiri kimia sebagai bentuk pemberatan hukuman.

Hukuman Kebiri kimia adalah prosedur di mana seseorang nantinya apabila mendapat hukuman tersebut maka akan kehilangan fungsi testisnya, sehingga akan kehilangan libido dan mandul.

Tribunnewswiki.com merangkum catatan perihal hukuman kebiri kimia, risalah singkat, asal usul, penerapan, dan respon penolakan yang diambil dari berbagai sumber.

Ilustrasi (mirror.co.uk)

  • Kebiri Kimia: Risalah Singkat


Proses Kebiri Kimia mempunyai dua jenis prosedur yang berbeda.

Pertama adalah melalui pembedahan, yang kedua adalah melalui proses kimia.

Proses pengebirian dengan cara bedah, atau pembedahan testis, mempunyai efek permanen.

Sedangkan dalam proses pengebirian kimia, obat-obatan akan diberikan secara berkala untuk mengurangi kadar testosteron dalam tubuh, sehingga dorongan seksual akan berkurang.

Proses Kebiri Kimia dilakukan dengan menggunakan obat antiandrogen untuk mengurangi kadar testosteron.

Antiandrogen ini dapat menekan libido atau dorongan seksual.

Prosedur Kebiri Kimia biasanya digunakan untuk mengobati kanker prostat stadium lanjut.

Untuk beberapa kasus, Kebiri Kimia digunakan sebagai terapi rehabilitasi kejahatan seksual.

Berbeda seperti kebiri bedah yang bersifat permanen, efek kebiri kimia pada seseorang dapat hilang dari waktu ke waktu pasca pengobatan dihentikan.

Kebiri kimia akan bekerja mempercepat metabolisme testosteron alami, mengubah efek hormon dalam tubuh, dan mempengaruhi pelepasan kelenjar pituari dari hormon prekusor untuk
produksi testosteron.

Pilihan obat yang paling umum digunakan dalam prosedur Kebiri Kimia adalah medroxyprogesterone acetate (MPA) dan cyproterone acetate.

Obat tersebut dapat mengurangi kadar testosteron secara efektif pada pria.

Selanjutnya dapat menurunkan gairah seks, serta mengurangi kemampuan mereka untuk dirangsang secara seksual.

Perppu No. 1 Tahun 2016 (Tangkapan layar ilo.org)

  • Hukuman Kebiri Kimia: Awal Mula


Hukuman Kebiri Kimia yang akan digunakan sebagai hukuman pidana bagi pelaku kejahatan seksual pertama kali diwacanakan ke publik oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Wacana ini juga didukung oleh Menteri Sosial pada bulan Mei 2015.

Asrorun Niam Sholeh, selaku Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjelaskan bahwa hukuman berupa suntik antiandrogen adalah hukuman yang tepat bagi paedofil atau pelaku kekerasan seksual pada anak.

Menurut Asrorun, suntikan antiandrogen akan membuat mata rantai kejahatan seksual diharapkan terputus.

Senada dengan Ketua KPAI, Sekjen KPAI juga turut mengamini dengan pengharapan bahwa pemerintah dapat mengamandemen UU.

KUHP dan UU Perlindungan Anak Tahun 2002 agar hukumannya diperberat.

Wacana amandemen UU Perlindungan Anak Tahun 2002 pada mulanya didorong untuk memberikan pemberatan hukuman yang luar biasa bagi pelaku kejahatan seksual anak dengan kebiri lewat suntikan kimia (chemical castration).

Wacana ini kemudian mendapat dorongan dari berbagai pihak, serta diusulkan adanya percepatan melalui Perppu dengan mengusung isu darurat kejahatan seksual anak.

Pada Oktober 2015, Susanto selaku Wakil Ketua KPAI mendorong diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai hukuman kebiri untuk pelaku paedofil bisa jadi
solusi atas lemahnya hukum terhadap kejahatan seksual pada anak.

Dikutip dari Menguji Euforia Kebiri: Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri (Chemical Castration) bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak di Indonesia. (ICJR, Mappi FHUI, Ecpat Indonesie, Koalisi Perempuan Indonesia, Aliansi 99 Tolak Perppu Kebiri), menurut Susanto, kondisi kekerasan seksual pada anak sudah urgent.

Susanto menerangkan bahwa ada 3 alasan kenapa Perppu tersebut sangat diperlukan.

Pertama, adanya keadaan dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum.

Korban kejahatan seksual anak semakin banyak, sementara pelaku tak jera, bahkan tak jarang pelaku mengulangi perbuatannya tanpa rasa iba kepada korban. Ini butuh penjeraan sebagai upaya preventif.

Kedua, Tafsir HAM seringkali berfokus pada pelaku namun melupakan hak korban dan para calon korban.

Ketiga, Beberapa negara lain telah melakukan pengaturan kebiri. Dimana kebiri bukan bersifat pembalasan namun bersifat pencegahan dan penjeraan agar tak mengulangi perbuatannya.

Untuk mendorong langkah tersebut, secara bertahap KPAI dan beberapa lembaga Pemerintah bekerjasama mengusung darurat kejahatan seksual dengan berbagai versinya untuk mendukung kebijakan kebiri tersebut.

Atas dasar pertimbangan itu, Presiden Joko Widodo pada 26 Mei 2016  menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016. (1)

  • Respon dan Penolakan Kebiri Kimia


Wacana hukuman kebiri kimia kemudian mendapat  banyak respon dari berbagai pihak.

Misalnya Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Firman Soebagyo menyarankan agar pemerintah tidak mengobral Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Firman menyatakan bahwa regulasi tidak boleh dibentuk berdasarkan emosional nemun tetap harus memperhatikan hak-hak konstitusi warga negara.

KH Baidjuri selaku Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lebak  menjelaskan bahwa hukuman suntik kebiri melalui obat antiandrogen tidak tepat bagi paedofil pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Beberapa organisasi Hak Asasi Manusia juga turut menyatakan keprihatin dengan kegagalan pemerintah dalam menanggulangi kejahatan kekerasan seksual pada anak.

Mereka berpendapat bahwa penanganan korban kejahatan seksual harus memerlukan penanganan yang multi dimensi dan tidak boleh hanya mengandalkan penanganan melalui penegakkan hukum.

Penolakan dari organisasi – organisasi HAM mempunyai dasar alasan yaitu;

  • Pertama, Hukuman kebiri tidak dibenarkan dalam sistem hukum pidana nasional atau tujuan pemidanaan yang dianut oleh sistem hukum Indonesia.
  • Kedua, hukuman kebiri melanggar Hak Asasi Manusia sebagaimana tertuang di berbagai konevensi internasional yang telah diratifikasi dalam hukum nasional kita diantaranya Kovenan Hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol/ICCPR), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), dan juga Konvensi Hak Anak (CRC), penghukuman badan, dalam bentuk apapun harus dimaknai sebagai bentuk penyiksaan dan perbuatan merendahkan martabat manusia, terlebih apabila ditujukan untuk pembalasan dengan alasan utama efek jera yang diragukan secara ilmiah.
  • Ketiga,

Segala bentuk kekerasan pada anak, termasuk kekerasan seksual, pada dasarnya merupakan manifestasi atau operasionalisasi hasrat menguasai, mengontrol dan mendominasi terhadap
anak, dengan demikian, hukum kebiri tidak menyasar akar permasalahan kekerasan terhadap anak. 

Seto Mulyadi selaku pemerhati anak, turut meminta pemerintah untuk mengkaji ulang wacana memberikan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual.

Senada dengan Seto Mulyadi, Psikolog Klinis Fakultas Psikologi UI, Kristi Poerwandari juga menilai, hukuman kebiri berpotensi salah arah.

Menurut Kristi, hukuman tersebut hanya akan memunculkan asumsi di masyarakat bahwa, tidak ada yang perlu dibenahi dari ideologi atau cara hidup dalam masyarakat.

Hukuman tersebut, menurut Kristi, juga hanya akan membentuk anggapan di masyarakat bahwa kekerasan seksual 100 persen terjadi karena alat kelamin pelaku.

  • Isi Perppu No. 1 Tahun 2016


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2016 berisi tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berikut adalah isi dari Perppu 1 Tahun 2016:

  • PASAL I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

  • Pasal 81

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga
kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.

(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan
tindakan.

(9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi  pelaku Anak.

2. Di antara Pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 81A yang berbunyi sebagai berikut:

  • Pasal 81A

(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.

(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.

(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

3. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

  • Pasal 82

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banuak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 E.

(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu, atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

(8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak

4. Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:

  • Pasal 82A

(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok.

(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  • PASAL II

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Mei 2016

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 Mei 2016

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.

YASONNA H. LAOLY

--

Sumber (diakses online pada Minggu, (25/8/2019), pukul 14.32 WIB:

  1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
  2. Menguji Euforia Kebiri: Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri (Chemical Castration) bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak di Indonesia. (ICJR, Mappi FHUI, Ecpat Indonesie, Koalisi Perempuan Indonesia, Aliansi 99 Tolak Perppu Kebiri)
  3. Bob Friandy, Sanksi Kebiri Kimia (Analisis UU No. 35 Tahun 2014 Studi Komparatif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam), (Pascasarjana UIN Sumatera Utara)

--

Tribunnewswiki.com terbuka dengan data baru dan usulan perubahan untuk memperkaya informasi.

--

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)



Informasi Detail


Nama Hukuman Kebiri Kimia


Nama Lain Chemical Castration Law


Regulasi Perppu No. 1 Tahun 2016


Sumber :


1. regional.kompas.com


Penulis: Dinar Fitra Maghiszha
Editor: Ekarista Rahmawati Putri

Berita Populer