Dikutip dari Kompas.com, menurut Henry hal tersebut terjadi lantaran hoaks telah menjadi alat permainan politik untuk mencapai keuntungan politik.
“Saya melihat bahwa hoaks akan terus terjadi. Karena itu memang bagian dari permainan politik di berbagai negara," kata Henry dalam focus group discussion 'Hoax dalam Pemilu 2019' di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2019).
“Hoaks dipercaya bisa jadi alat sukses politik di berbagai negara,” ucap pakar komunikasi politik tersebut.
Tidak hanya di Indonesia, hoaks juga muncul selama pemilu yang terjadi di berbagai negara, terasuk negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa.
Hoaks banyak digunakan sebagai bisnis politik karena dinilai murah dan berisiko kecil.
Baca: Kemkominfo Benarkan Pemerintah Batasi Internet di Papua, Cegah Tersebarnya Hoaks Aksi di Manokwari
Baca: Inilah Perjalanan Karier Kimi Hime, Gamers Yang Baru Saja Dilaporkan Oleh DPR RI Ke Kemenkominfo
Baca: Dianggap Vulgar, Kominfo Panggil dan Ancam Take Down Konten YouTube Kimi Hime
Di sisi lain hoaks juga terbukti dan dipercaya bisa digunakan untuk mengelabuhi rakyat.
“Pesan hoaks dirancang untuk menciptakan kecemasan, kebencian, kecurigaan, atau ketidakpercayaan hingga permusuhan," ujar Henry.
Dalam politik hoaks memiliki pola yang sama, antara lain menyentuh persoalan keagamaan, suku, ras, dan antar-golongan.
Menurut Henry, yang paling sering terjadi yaitu hoaks menyinggung masyarakat mayoritas di suatu negara.
Hoaks diproduksi untuk menyasar kalangan tertentu.
Baca: 17 AGUSTUS - Seri Sejarah Nasional : Pemilu 1955
Baca: Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia
Baca: KPU Kembali Wacanakan Larangan Pencalonan Eks Napi Korupsi di Pilkada 2020
Mereka yang menjadi target antara lain, masyarakat mayoritas dan orang perkotaan.
“Yang diserang, yang dicoba untuk dimanipulasi, dipengaruhi itu pasti masyarakat mayoritas,” tuturnya.
Dibandingkan masyarakat yang tinggal di desa, orang kota lebih mudah diserang hoaks karena mereka lebih akrab dengan penggunaan media sosial.
"Masyarakat yang berpendidikan lebih banyak terkena hoaks, begitu pula dengan masyarakat yang beragama fanatik," kata Henri.
Oleh sebab itu Henry menilai diperlukan kerja sama dari berbagai pihak untuk mencegah dan melawan hoaks.
Henry juga memaparkan ciri-ciri tertentu suatu informasi yang dapat diidentifikasi sebagai berita hoaks.
"Ciri hoaks yaitu sumber informasi atau medianya tidak jelas identitasnya, mengeksploitasi fanatisme SARA," kata Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tersebut.
Baca: Tito Karnavian: Papua Adalah Bagian Dari Anak Bangsa Indonesia
Baca: Gubernur Jawa Timur Khofifah Minta Maaf pada Warga Papua dan Ajak untuk Saling Jaga Persatuan
Baca: Mobil Murah Dilarang Pakai Premium dan Pertalite, Begini Alasannya
Suatu informasi juga diduga sebagai hoaks jika pesannya tidak mengandung 5W+1H, yaitu what (apa), when (kapan), who (siapa), why (mengapa), where (di mana), dan how (bagaimana).
Selain itu, ciri berita hoaks adalah pihak yang menyebarkan informasi meminta informasi tersebut disebarkanluaskan semasif mungkin.
“Pesan hoaks dirancang untuk menciptakan kecemasan, kebencian, kecurigaan, atau ketidakpercayaan hingga permusuhan,” ujar Henri.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menyebut bahwa hoaks terkait penyelenggaraan pemilu meningkat dari tahun ke tahun.
Terhitung sejak 2014, hoaks menyerang penyelenggaraan pemilu melalui teknologi informasi.
Hal tersebut terus menerus terjadi, dan puncaknya pada Pemilu 2019.
Baca: Susunan Kabinet Jokowi Jilid II Sudah Rampung, Jokowi Umumkan 1 September 2019: Siapa yang Terpilih
Baca: Kejuaraan Dunia 2019: Dua Tunggal Putri Indonesia Lolos ke Babak Berikutnya
Baca: Dilantik Jadi Ketua Bidang Kebudayaan PDI-P, Tri Rismaharini Cium Tangan Megawati Soekarnoputri
"Tahun 2019 itu lebih melebar lagi. Spektrumnya jauh lebih luas jauh lebih beragam dan persebarannya meningkat sangat cepat dibanding pemilu sebelumnya," kata Arief dalam focus group discussion "Hoaks dalam Pemilu 2019" di Gedung KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2019).
Arief mengatakan, pada pemilu-pemilu sebelumnya, hoaks hanya menyerang KPU sebagai institusi penyelenggara pemilu.
Tetapi pada pemilu 2019 hoaks juga menyerang secara personal penyelenggara pemilu, bahkan peserta-peserta pemilu.
Sebagai contoh pada Pemilu 2019, terkait peristiwa tujun container surat suara tercoblos, settingan server KPU dan lainnya.
Menurut Arief peristiwa-peristiwa tersebut meski sudah ditindaklanjuti, tidak akan bisa terhapus dalam ingatan masyarakat.
"Sekali informasi tersampaikan, dia tak akan pernah bisa dihilangkan ataupun ditarik kembali," ujar Arief.
"Artinya di dalam pikiran masyarakat, sudah melekat bahwa KPU itu kotak (suara) kardus, bahwa KPU mencoblos surat suara tujuh kontainer," ujar Arief.
Arief menyebut diperlukan kersa sama dari berbagai pidaj tidak hanya melawan hoaks tetapi juga melakukan pencegahan.
Kerja sama itu, tidak hanya dari cybercrime Polri, tetapi bisa juga dari Badan Intelijen Negara (BIN), serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Baca: Ramalan Zodiak Besok Rabu 21 Agustus 2019, Gemini Jangan Abaikan Masalah, Aries Ikuti Arus
Baca: Klarifikasi Ahok terkait Kabar Jadi Kandidat Wali Kota Surabaya hingga Menteri Jokowi-Maruf Amin
Baca: Tanggapi Kerusuhan di Papua dan Rasisme Terhadap Mahasiswa Papua, Wiranto: Sabar, Saling Memaafkan
Jangan lupa subscribe Youtube channel TRIBUNNEWSWIKI di TribunnewsWIKI Official