17 AGUSTUS - Kesaksian Tokoh Jepang : Shigetada Nishijima (Bagian 3)

Penulis: Dinar Fitra Maghiszha
Editor: Putradi Pamungkas
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Shigetada Nishijima


Daftar Isi


  • Informasi Awal


TRIBUNNEWSWIKI.COM - Shigetada Nishijima adalah seorang staf dan juru bahasa Laksamana Tadeshi Maeda yang lahir di Gunma-Ken, Usuigan Annakamachi pada tanggal 4 Juni 1911.

Shigetada Nishijima juga merupakan saksi perumusan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Dokumen Shigetada Nishijima ditemukan di Rijksinstituut voor Oorlogsdocumentatie, sebuah lembaga kerajaan untuk dokumentasi perang di Amsterdam, Belanda.

Kode arsip dokumen Shigetada Nishijima adalah kode: Doc.6076-6089.

Isi dokumen tersebut adalah kesaksian Shigetada Nishijima seputar pengalamannya selama di Indonesia.

Satu di antaranya adalah saat berada di rumah Laksamana Maeda menyaksikan perumusan proklamasi pada dini hari tanggal 17 Agustus1945.

Penelusuran bahan arsip dari Shigetada Nishijima dilakukan oleh sejarawan, Sarwono Pusposaputro.

Risalah tulisan Sarwono dapat ditemui di halaman 141-162, dalam buku karangan St. Sularto dan D. Rini Yunarti yang berjudul 'Konflik Di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan', yang diterbitkan oleh Kompas.

Dalam tulisan berikut, Tribunnewswiki menghimpun kesaksian Shigetada Nishijima dalam buku St. Sularto & D. Rini Yunarti, "Konflik Di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan", yang diterbitkan di Jakarta oleh penerbit Kompas tahun 2010.

Kesaksian Shigetada Nishijima terdiri dari tiga bagian.

Berikut ini adalah bagian ketiga yang garis besarnya berisi peristiwa seputar Proklamasi 1 dan 2.

*Tribunnewswiki tidak mengubah maupun melakukan interpretasi atas keterangan Shigetada Nishijima untuk menjaga otentisitas kesaksian.

  • Shigetada Nishijima: Peristiwa Seputar Proklamasi 1


Saya dijaga oleh para para opsir yang berkata kepada saya bahwa saya tak boleh keluar mobil dan juga tidak boleh pergi bermobil.

Ini berlangsung cukup lama hingga akhirnya Sukarno.

Sementara itu, saya melihat sebuah truk jalan pelan-palan keluar masuk yang mengangkut beberapa pemuda PETA.

Hal itu memberi kesan seakan-akan pemuda itu dipekerjakan dalam dinas perhubungan atau sejenis itu.

Ketika Sukarni kembali, ia berkata bahwa telah berhasil mencegah pemberontakan.

Namun, telah ada beberapa orang yang keluar, sehingga ada beberapa tempat yang masih harus diberitahu.

Ketika itu ia berkata kepada saya “Mereka ini semuanya kepala baru, susah”.

Kemudian kami pergi ke Pasar Senen. Dan, mobil berhenti di belakang Pasar Senen.

Sukarni keluar dan masuk ke dalam gang. Di situ hampir tak ada orang di jalan dan pemuda-pemuda juga sedikit.

Setelah kembali kami meneruskan perjalanan melintasi  rel kereta, dan setelah beberapa saat lagi berhenti lagi di sebuah gang, dan  Sukarni beberapa saat lagi kembali lagi. Di situ ada beberapa kelompok pemuda, saya kira tidak berseragam.

Kemudian kami melanjutkan bermobil ke Koningsplein untuk selanjutnya menuju ke kota, tetapi di tengah jalan, Sukarni berubah gagasan dan kami menuju stasiun pemancara radio Koningsplein.

Ketika kami tiba di sana, stasiun pemancar radio ternyata telah dijaga tentara Jepang, dan kami dicegat oleh tentara jaga dengan senapan berbayonet terhunus.

Ketika itu saya lalu menjelaskan kepada perwira bahwa saya dari Angkatan Laut Jepang dan datang ke situ untuk mencegah  jangan sampai ada pemberontakan.

Oleh karena itu, saya bersama-sama Sukarni, mereka tidak mau saya percaya. Kami lalu masuk ke pekarangan dalam.

Di situ saya menjelaskan kepada perwira Jepang supaya ia tidak menahan kami kerna mungkin akan ada suatu pemberontakan.

Sementara saya berbicara dengan perwira itu, Sukarni berjalan beberapa langkah mendekati tiga orang Indonesia yang ada di sana dan kemungkinan besar para jaga malam.

Ia berteriak kepada mereka, “Ini hari tidak jagi, bung” atau dalam ungkapan sejenis itu.

Oleh karena itu, opsir Jepang itu menjadi sangat marah, dan kami lebih sulit lagi untuk dilepas.

Saya lalu berkata kepada perwira itu supaya menelepon Maeda saja.

Dan, memang terjadi demikian. Kemudian kami dapat berangkat ke rumah Maeda.

Ketika kami tiba di sana, kira-kira pukul satu atau setengah dua, maka Sukarno, Hatta, dan Subardjo sudah berangkat.

Waktu itu saya kira mereka bersama Maeda pergi ke Jenderal Mayor Nishimura yang jadi Somobucho oleh karena sudah ada berita bahwa ialah penguasa yang sebenarnya yang harus mereka ajak bicara mengenai masa depan selanjutnya.

Di rumah Maeda, ketika kami tiba, sudah hadir beberapa tokoh Indonesia terkemuka dari Jawa dan Madura.

Jadi, saya harus menunggu hingga Maeda kembali. Sekitar pukul 2 atau 3, saya tidak tahu lagi dengan tepat, sebab saya sangat gelisah setelah pengalamanku malam itu, maka Maeda kembali bersama Soekarno dan Hatta.

Saya lalu melapor kepada Maeda, kami telah berusaha sebaik-baiknya untuk mencegah pemberontakan.

Ia tampak sangat gembira dan berterima kasih kepada saya.

Sesudah itu datanglah tokoh-tokoh orang Indonesia lain, demikian, Miyoshi Shunkichiro (Administratif Militer Urusan Indonesia; lagi pula ia biasanya jadi juru Bahasa Melayu dan Belanda dan yang dulu bekerja di Konsulat di Batavia, kini telah tua, dan telah pulang ke Jepang).

  • Shigetada Nishijima: Peristiwa Seputar Proklamasi 2


Setelah saya melapor kepada Maeda, maka ia bercerita kepada saya bahwa kunjungannya bersama Sukarno dan Hatta pada Jenderal Mayor Nishimura: Somobucho dari Gunseikanbu berjalan tidak begitu lancar, tetapi toh menghasilkan sesuatu yang dapat memuaskan orang-orang Indonesia.

Hasilnya, ialah pembukaan sidang Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia dimajukan sehari jadi pada tangal 18 Agusuts 1945 oleh karena Soekarno dan Hatta mendesak supaya dengan diperawalnya tanggal itu situiasi berbahaya bisa diselamatkan.

Apakah ada hal-hal lain lagi yang dibicarakan dengan Nichimura, saya tidak tahu, sebab ia tak bercerita apa pun mengenai hal itu.

Namun, ia berkata kepada saya, Soekarno telah meminta kepadanya apakah mereka, sehubungan dengan mendesaknya pesoalan, boleh mempergunakan rumah Maeda, untuk membicarakannya dengan para pemimpin Indonesia bagaimana bisa menerobos saat gawat itu.

Maeda juga masih berkata, sehubungan dengan kenyataan bahwa hal itu secara resmi hanyalah persoalan Gunseikanbu, maka ia telah meminta kepada Miyoshi untuk hadir di situ, oleh karena ia sendiri bukannya instansi yang berwenang, dan hanya memberikan perantaraan untuk menghindari kesulitan.

Maeda waktu itu lalu pergi tidur.

Saya sendiri ketika itu sangat letih. Di dapur saya minum bir. Lalu saya langsung naik ke atas untuk istirahat.

Saya langsung tertidur. Saya terbangun sekitar pukul 6 pagi. Dan, turun ke bawah.

Waktu itu tidak ada orang Indonesia lagi.

Miyoshi juga tidak ada.

Saya lalu mengendarai mobil Maeda ke rumah saya di Kebon Sirih 60.

Dan, langsung tertidur lagi sampai sekitar pukul 10 atau 11.000.

Ketika saya bangun saya mendengar di luar di jalan derap orang-orang berbaris, ketika saya menengok ke luar saya melihat beribu-ribu orang berbagai usia dan bermacam-macam dalam larikan empat berbaris pasukan teratur menuju Koningsplein (Kini lapangan Monas).

Mereka membawa bambu runcing dan bendera mera putih. Mereka juga menyanyikan lagu-lagu Indonesia.

Sudah barang tentu juga banyak teriakan.

Saya sangat terheran-heran dan menelepon kantor, dan salah seorang pegawaiku seorang Indonesia (ada sekitar 10 orang pegawai Indonesia) aku tak ingat lagi namanya, mengatakan kepadaku, akan diadakan rapat raksasa di Lapangan Ikada.

Saya lalu dengan mobil kantor pergi ke kantor untuk memperoleh ketarangan lebih lanjut.

Pada waktu itu saya mendapat keterangan dari pegawai-pegawai Indonesia hari itu akan diproklamasikan merdeka dan bahwa Soekarno akan berpidato di Koningsplein.

Pada siang hari tanggal 17 Agustus 1945 saya masih berusaha mendapatkan ketertangan di berbagai kantor Jepang, tetapi tidak berhasil.

Sebab semua kantor itu sudah “dilumpuhkan”.

Baru kemudian pada sore hari sekitar pukul lima atau enam, saya mendapat keterangan dari pegawai saya bangsa Indonesia yang telah saya utus untuk memperoleh keterangan dari luar, bahwa rapat raksasa di Koningsplein tidak jadi, tetapi dipindah ke rumah Sukarno di Pegangsaan dekat Stasiun Manggarai.

Kemudian mereka menceritakan, Soekarno di sana membacakan Proklamasi; dengan demikian Soekarno dan Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Mereka lalu memberikan selembar Proklamasi ini yang telah mereka bagi-bagikan.

Ini merupakan proklamasi yang tercetak di atas kertas putih.

Hari berikutnya (18-8-1945) saya mendengar di kantor orang-orang Indonesia bahwa hari itu diselenggarakan rapat Badan Persiapan Kemerdekaan indonesai dan bahwa dalam rapat itu Soekarno dan Hatta telah terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia oleh para anggota Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang di antaranya juga telah ditambah dengan beberapa pemimpin pemuda.

Mengenai situasi yang dialami dalam batin Maeda sulit saya evaluasika. Maeda selalu sangat pendiam, menahan diri, dan tenang.

Maka, dalam hidup sehari-hari ia dijuluki “the silent admiral”. Ia sangat jarang berkontak langsung dengan bawahannya.

Maka misalnya berita penting tentang kapitulasi tidak dibacakan olehnya melainkan oleh Kolonel Nakasuji, tangan kanan Maeda.

(Nakasuji sudah pulang ke Jepang).

Sumber Literatur :

St. Sularto & D. Rini Yunarti, "Konflik Di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan", (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010)

Tribunnewswiki.com terbuka dengan data dan sumber baru serta usulan perubahan untuk memperkaya informasi.

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)

JANGAN LUPA SUBSCRIBE CHANNEL YOUTUBE TRIBUNNEWSWIKI.COM



Informasi Detail


Nama Shigetada Nishijima


Kesaksian Bagian 3


Peristiwa Seputar Proklamasi 1


Peristiwa Seputar Proklamasi 2


Sumber :




Penulis: Dinar Fitra Maghiszha
Editor: Putradi Pamungkas

Berita Populer