Informasi Awal
TRIBUNNEWSWIKI.COM - Shigetada Nishijima adalah seorang staf dan juru bahasa Laksamana Tadeshi Maeda yang lahir di Gunma-Ken, Usuigan Annakamachi pada 4 Juni 1911.
Shigetada Nishijima juga merupakan saksi perumusan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Dokumen Shigetada Nishijima ditemukan di Rijksinstituut voor Oorlogsdocumentatie, sebuah lembaga kerajaan untuk dokumentasi perang di Amsterdam, Belanda.
Kode arsip dokumen Shigetada Nishijima adalah kode: Doc.6076-6089.
Isi dokumen tersebut adalah kesaksian Shigetada Nishijima seputar pengalamannya selama di Indonesia.
Penelusuran bahan arsip dari Shigetada Nishijima dilakukan oleh sejarawan, Sarwono Pusposaputro.
Risalah tulisan Sarwono dapat ditemui di halaman 141-162, dalam buku karangan St. Sularto dan D. Rini Yunarti yang berjudul 'Konflik Di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan', yang diterbitkan oleh Kompas.
Dalam tulisan berikut, Tribunnewswiki menghimpun kesaksian Shigetada Nishijima dalam buku St. Sularto & D. Rini Yunarti, 'Konflik Di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan', yang diterbitkan oleh Kompas di Jakara tahun 2010.
Kesaksian Shigetada Nishijima terdiri dari tiga bagian.
Berikut ini adalah bagian dua yang garis besarnya berisi pengawalan terhadap Soekarno-Hatta, laporan Sukarni di Rengasdengklok, Soekarno-Hatta di rumah Maeda dan pergerakan emuda dini hari 17 Agustus 1945.
Tribunnewswiki tidak mengubah maupun melakukan interpretasi atas keterangan Shigetada Nishijima untuk menjaga otentisitas kesaksian.
Shigetada Nishijima: Pengawalan terhadap Soekarno-Hatta
Saya sangat takut jangan-jangan kelompok itu akan memberontak sebab Soenoto juga mengisyaratkan bahwa mereka berniat menduduki pemancar radio. Dan, dari sana memberitahukan ke seluruh dunia bahwa Indonesia telah merdeka.
Ketika saya mendesak terus, akhirnya ia mengatakan bahwa ia tak bisa berbuat apa-apa, sebab “saya tidak sendirian di dalam persoalan ini”, karena saya bergabung dengan kelompok yang akan merencanakan suatu kudeta. Setelah lama bercakap-cakap, akhirnya ia berjanji kepada saya untuk menanyakan kepada yang lain-lain apa yang harus dilakukan.
Kemudian saya kembali ke kantor di Schoolweg yang tidak begitu jauh. Lalu menunggu di sana hingga Soenoto menelepon. Di kantor, selama waktu tunggu ini, tak terjadi apa-apa yang istimewa.
Setelah Soenoto menelepon sekitar pukul 13.00, saya lalu pergi ke rumahnya. Ketika itu, ia menceritakan “Kami telah memutuskan bahwa kami tidak akan mengadakan pembicaraan dengan para militer Jepang, sebab para militer Jepang selalu berbohong.”
Akan tetapi, kami dapat mendatangkan Soekarno dan Hatta ke tempat itu, jika, keselamatan mereka dijamin Maeda., artinya jika Soekarno dan Hatta dapat mengunjungi Maeda untuk mengadakan pembicaraan dengan militer Jepang, di bawah perlindungan Maeda.
Setelah menerima jawaban itu saya pergi ke tempat Maeda untuk menyampaikan berita itu dan untuk mengingatkan akan kemungkinan adanya suatu pemberontakan di kalangan para revolusioner muda yang kiranya di mana-mana mempunyai pengaruh di kalangan PETA, Heiho, yang semuanya masih bersenjata dan total berjumlah paling sedikit 50.000 orang di seluruh Jawa.
Maeda lalu menjawab, ia akan menjamin keselamatan Soekarno dan Hatta, tetapi terlebih dahulu mereka harus datang ke sana. Mengenai kemungkinan adanya pemberontakan ia akan memberitahu Gunseireibu (Staf Tentara Jepang) untuk mengadakan usaha penjagaan menghadapinya. Ini langsung dikerjakannya. Pemancar radio Batavia lalu dijaga oleh 300 hingga 500 orang.
Siang hari pukul 13.00 atau 14.00 saya mengunjungi Soenoto dan mengatakan, Laksamana Maeda setuju dengan usul mereka. Mengenai tempat tinggal Soekarno dan Hatta, waktu itu ia sama sekali belum memberitahukan apa-apa. Ia hanya mengatakan, masih akan memakan waktu 4 atau 5 jam sebelum Soekarno dan Hatta tiba di tempat Maeda.
Shigetada Nishijima: Laporan Sukarni di Rengasdengklok
Baru sekitar pukul 11 malam Soekarno dan Hatta tiba di rumah kediaman Maeda di Nassauboulevard no. 1 (bekas Konsulat Inggris), dikawal seorang propagandis muda Sukarni yang mengenakan seragam opsir PETA bersenjatakan revolver dan pedang opsir Jepang, demikian pula Subardjo. Subardjo bercerita kepada saya, ia sementara itu atas permintaan Soenoto dengan beberapa orang muda, menjemput Soekarno dan Hatta.
Kemudian ia menceritakan pula kepada saya, ia menjumpai Soekarno dan Hatta di tangsi dekat Des Denkasdengklok (sic) sekitar 100 km arah Cikampek dan Karawang dekat muara Citaroem. Subardjo ketika tiba kembali di rumah Maeda sangat pucat dan gugup. Ia bercerita, para pemuda di Denkasdengklok (sic) sangat beringas dan mengancamnya dengna revolver sebab mereka mengira ia adalah mata-mata Jepang. Ia harus berbicara dengan para pemuda itu selama sekitar satu jam untuk meyakinkan mereka, yang sebaiknya ialah supaya Soekarno dan Hatta bersama-sama Subardjo ke tempat Maeda.
Subardjo tidak pernah bercerita kepada saya bagaimana Soekarno dan Hatta sampai di sana. Ia hanya menceritakan, ternyata ada semacam organisasi rahasia di antara pada pemuda yang sangat meluas dan ternyata lebih kuat daripada yang ia perkirakan.
[…]
Shigetada Nishijima: Soekarno-Hatta di Rumah Maeda
Kini saya kembali ke soal cerita saya tentang kembalinya Sukarno, Hatta, dan Subardjo ke rumah Maeda pukul 11 malam tanggal 16 Agustus 1945.
Ketika Subardjo dan beberapa pemuda (Soenoto tidak termasuk) sedang mencari Soekarno dan Hatta, saya selama itu, sudah sekitar pukul delapan berdiri menunggu di serambi Nassaulaan.
Maeda waktu itu ada di atas, di kamar tidunya: selanjutnya hanya ada beberapa pembantu di bawah.
Saya berdiri di pintu paling kiri di serambi depan, ketika pada pukul 11.00 dua mobil memasuki pekarangan. Yang pertama-tama keluar dari mobil ialah beberapa pemuda dalam pakaian preman bersenjatakan pistol. Mereka memasaukkan tangan kanan ke saku kanan (celana) sehingga jelas tampak, siap menghadapi kemungkinan.
Di antara mereka saya melihat Sukarno yang mengenakan seragam PETA dan membawa pedang opsir Jepang dan revolver. Lalu Soekarno , Hatta, dan Subardjo keluar (mobil) dan mereka semua masuk (rumah). Saya mempersilakan mereka masuk ke kamar depan di dekat serambi depan. Di situ Soekarno dan Hatta lalu duduk, sementara para pemuda berjajar di kursi mereka. Ketika itu saya di serambi depan bercakap-cakap dengna Subardjo seperti telah diutarakan di atas, dan Maaeda turun secara langsung masuk ke kamar depan.
Ketika ia masuk, Soekarno dan Hatta berdiri, dan seperti yang lain-lain memberi hormat secara Jepang kepada Maeda. Waktu itu saya masih beberapa menit berbicara dengan Subardjo di luar.
Apa yang dibicarakan Soekarno dan Hatta dengan Maeda saya tidak tahu, tetapi terlalu singkat untuk dapat membicarakan hal penting. Untuk mengadakan pembicaraan-pembicaaan penting Maeda selalu menggunakan juru Bahasa.(Sebenarnya ia berbicara Inggris dengan baik; sedang Bahasa Belanda ia hanya bisa membaca sedikit, tetapi tak dapat berbicara; dan ia hanya berbicara beberapa kata Melayu).
Kemudian saya bersama Subardjo masuk dan melapor kepada Maeda apa yang diceritakan Subardjo kepada saya. Maeda tampak serius, tapi tenang ketika mendengar berita itu. Ketika itu Maeda lalu berbicara kepada saya dalam Bahasa Jepang yang kemudian diceritakan kembali oleh saya sebagai juru bahasa.
Syukurlah Sukarno dan Hatta telah kembali ke sini. Memang sebuah kejadian serius, Soekarno dan Hatta pergi tanpa memberitahu terlebih dahulu kepada para penguasa Jepang sebagaimana tuntutan adar kebiasaan Jepang yang baik. Seandainya mereka tidak kembali lagi, maka pasti akan berakibat buruk bagi keamanan dan ktertiban. Para pemimpin gerakan nasional harus berhati-hati dengan hal-hal semacam itu sebab akan membahayakan tata-tertib.
Kepada para pemuda ia berkata: Berjuang untuk kemerdekaan bisa saya hargai. Dan, tidak saya duga dorongan di antara orang-orang Indonesia untuk itu demikian besar. Tetapi, saya pasti tidak dapat menyetujui metode-metode revolusioner demikian itu.
Kemudian Maeda mengambil beberapa contoh menyedihkan dari beberapa revolusi sejarah.
Sikap para pemuda terhadap itu sangat kaku dan mereka membusungkan dada untuk mengisyaratkan, mereka tak mau tahu tentang cerita-cerita demikian itu.
Sesudah itu Maeda mengatakan, ia akan menjamin keselamatan Sukarno-Hatta, tetapi ia bukannya penguasa tertinggi di Jawa dan Madura sehingga ia tidak berwenang untuk memberitahukan sesuatu mengenai kemerdekaan (Indonesia).
Pada saat itu Soekarno bertanya kepada Sukarni apakah tidak terlalu larut untuk hal itu. Ketika itu Sukarno terkejut dan melihat jam yang tergantung di kamar dan ia berkata pada diri sendiri: “Oh, saya lupa. Saya musti pergi !”.
Shigetada Nishijima: Pergerakan Pemuda Dini Hari 17 Agustus 1945
Saya tidak tahu apa artinya itu semua. Dan, saya anggap sangat aneh. Saya langsung bertanya kepada mereka ada apa. Lalu dijawab, para pemuda di luar tidak mempercayai orang-orang Jepang, dan mereka bila Soekarno, Hatta, Sukarno, dan lain-lain tidak kembali lagi sebelum pukul 12.00, mereka akan melancarkan pemberontakan pada saat itu juga.
Saya lalu mempermasalahkan mereka bahwa mereka datang untuk berbicara dan dengan demikian itu mereka akan mengacaukan segalanya. Saat itu sudah pukul setengah dua belas lebih, dan oleh karena Soekarno dan Sukarni, demikian pula kami semua, gelisah, dan Sukarni langsung hendak pergi ke luar, maka saya pikir sebaiknya ikut bersama Sukarni.
Sukarno, Hatta, Subardjo dan seorang dari para pemuda tinggal bersama Maeda, sementara saya dengan Sukarni serta seorang pemuda keluar untuk mencegah adanya pemberontakan di beberapa tempat.
Kami pertama-tama bermobil ke Jalan Cikini, Di jalan ada beberapa pemuda tidak berseragam. Selanjutnya pada umumnya jalan sepi. Di dalam mobil, Sukarni berkata kepada saya, ia khawatir jangan –jangan tidak berhasil sebab sudah terlambat, tetapi ia akan berusaha sebaik-baiknya. Ia sangat gugup dan melihat-lihat ke segala penjuru. Ia berkata, para pemuda itu yang di dalam gelap tak dapat saya lihat apakah mereka bersenjata, juga bergabung dengan kelompok mereka.
Di sepanjang jalan kami juga masih melihat di berbagai tempat di bawah pepohonan dan di pinggir jalan gerombolan para pemuda. Sukarni turun dari mobil di sudut jalan Cikni, lalu masuk ke sebuah rumah. Saya duga tempat kediaman seorang dokter. Sebab di pekarangan depan ada papan putih. Beberapa menit lagi Sukarni kembali dan kami meneruskan ke Markas Besar Jalan Prapatan 10, sebuah asrama mahasiswa.
Mobil dihentikan di situ oleh sekitar sepuluh pemuda yang berseragam PETA. Semua bersenjatakan senapan denan bayonet, serta pedang Jepang danrevolver. Semua opsir PETA menggunakan pedang Jepang itu. Sukarni turun dari mobil dan terjadilan beberapa pembicaraan yang tidak saya dengar. Saya harus tetap di mobil sementara Sukarni dan salah seorang di antara mereka masuk rumah.
Baca: 17 AGUSTUS - Kesaksian Tokoh Jepang: Shigetada Nishijima (Bagian 1)
Baca: 17 AGUSTUS 1945 - Tokoh Jepang Saksi Proklamasi: Shigetada Nishijima
Baca: 17 AGUSTUS - Seri Sejarah Nasional: Tentara Keselamatan Rakyat (TKR)