Informasi Awal
TRIBUNNEWSWIKI.COM - Ferdinand Lumbantobing adalah seorang dokter di Tapanuli yang mengangkat senjata melawan penindasan pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia.
Ferdinand Lumbantobing dilahirkan di Sibuluan, salah satu desa di Sibolga, tanggal 19 Februari 1899
Ferdinand Lumbantobing adalah seorang Batak tulen, Kristen taat, yang menurut kesaksian Buya Hamka, teramat dicintai rakyat Sumatera Utara.
Lulusan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) tercatat pernah bekerja di berbagai bidang kedokteran di beberapa rumah sakit.
Kemanusiaan Ferdinand Lumbantobing tergugah saat menyaksikan penyiksaan dan penindasan kepada pekerja Romusha.
Ia pernah melakukan protes keras terhadap Jepang karena dianggap menyengsarakan rakyat, yang kemudian mengakibatkan ia dimasukkan ke daftar orang yang harus dibunuh oleh serdadu Jepang.
Seusai Jepang pergi, Belanda datang bersama sekutu.
Bersama dengan para pejuang lainnya, ia melakukan perlawanan di hutan-hutan di Sumatera.
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949, Ferdinand Lumbantobing pernah menjabat posisi menteri seperti Menteri Penerangan, Menteri Negara Urusan Transmigrasi, Menteri Urusan Daerah, dan Menteri Kesehatan (ad interim) pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I. [1]
Kehidupan Pribadi: Pendidikan
Ferdinand Lumbantobing adalah anak keempat dari sembilan bersaudara.
Ayah Ferdinand Lumbantobing bernama Herman Lumban Tobing dan ibunya bernama Laura Sitanggang.
Pada usia 5 tahun, F.L. Tobing dibawa oleh ayah angkatnya yang bernama Jonathan Pasanea ke Depok dan disekolahkan di Sekolah Dasar Belanda (Europesche Lagere School).
Ferdinand Lumbantobing juga merupakan lulusan dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA, kini Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).
Setelah luluis, Ferdinand Lumbantobing sempat bekerja di Central Burgelijke Ziekenhuis (CBZ) atau yang sekarang menjadi Rumah Sakit Tjipto Mangoenkoesoemo, Jakarta.
Deliar Noor dalam buku Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 yang dikutip Tirto, (7/10/2017) dalam artikel Iswara N. Raditya, "Mozaik Ferdinand Lumbantobing (FL Tobing)", menyebut Ferdinand Lumbantobing sebagai Kristen yang sangat taat.
Saat menjabat sebagai Menteri Kesehatan, Ferdinand Lumbantobing adalah satu-satunya orang Nasrani di Kabinet Ali Sastroamidjojo I pada periode 1953-1955. [2]
Riwayat Pekerjaan & Organisasi
Ketika menempuh pendidikan di STOVIA, Ferdinand Lumbantobing bergabung di organisasi Jong Batak, yang anggotanya merupakan siswa-siswa STOVIA yang berasal dari Sumatera Utara.
Setelah lulus dari STOVIA pada tahun 1924, Ferdinand Lumbantobing bekerja sebagai dokter bagian penyakit menular di Centrale Burgelijke Ziekenhuis / CBZ (sekarang Rumah Sakit Tjipto Mangoenkoesoemo) Jakarta.
Setelah menjadi dokter di CBZ beberapa tahun, Ferdinand Lumbantobing kemudian sering dipindahtugaskan.
Pada 1931, Ferdinand Lumbantobing dipindahkan ke Surabaya dan ditugaskan di bagian penyakit dalam.
Sejak 1935, Ferdinand Lumbantobing sudah bertugas di Sibolga, ibukota Karesidenan Tapanuli, yang kebetulan kampung halamannya sendiri.
Di daerah Tapanuli, pertama-tama Ferdinand Lumbantobing ditempatkan di Padang Sidempuan, kemudian dipindahkan ke Sibolga, ibukota Karesidenan Tapanuli.
Zaman Jepang berlangsung pada 1942, ketika Ferdinand masih bertugas sebagai dokter.
Pada suatu waktu, karena berhasil menyelamatkan nyawa seorang polisi Jepang yang jatuh dari kendaraan, Ferdinand diangkat menjadi anggota Syu Sangi Kai(Dewan Perwakilan Daerah) dan juga sebagai Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat) Tapanuli pada November 1943.
Di awal masa kemerdekaan, Ferdinand Lumbantobing diangkat menjadi Residen Tapanuli, sejak Oktober 1945.
Namun, Pemerintahan Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia yang berusaha kembali merebut kemerdekaan Indonesia dengan melancarkan Agresi Militer Belanda I dan II.
Pada awal revolusi, Ferdinand Lumbantobing berperan aktif mempertahankan kemerdekaan.
Pada perkembangan selanjutnya, pada Agresi Militer Belanda II, Ferdinand Lumbantobing kemudian diangkat menjadi Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan.
Selain itu, di masa-masa revolusi kemerdekaan ia juga pernah menjabat beberapa jabatan penting kenegaraan seperti Menteri Penerangan, Menteri Negara Urusan Transmigrasi, Menteri Urusan Daerah, dan Menteri Kesehatan (ad interim) pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I. [3]
Masa Perjuangan
Pada saat pecah Perang Dunia II diiringi dengan peralihan kekuasaan di Indonesia dari Belanda kepada Jepang pada 1942 memberikan pengalaman berharga bagi Dr. Ferdinand Lumbantobing.
Ferdinand Lumbantobing masih berdinas sebagai dokter, ketika Jepang datang ke Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, Ferdinand Lumbantobing diangkat menjadi dokter pengawas kesehatan romusha.
Disini ia menyaksikan bagaimana sengsaranya nasib para romusha yang dipaksa membuat benteng di Teluk Sibolga.
Ferdinand Lumbantobing melihat sendiri penderitaan saudara setanah airnya yang dipaksa bekerja untuk kepentingan lain, meski badan para pekerja sudah tinggal tulang yang dibalut kulit, dan terus diperlakukan sewenang-wenang.
Sebagai dokter, Ferdinand Lumbantobing tidak lagi berpikir hanya mengobati penyakit fisik, tetapi bagaimana caranya menggelorakan semangat untuk melawan penindasan tersebut.
Ferdinand Lumbantobing kemudian melancarkan protes terhadap pemerintah Jepang.
Akibat yang ditumbulkan, ia dicurigai dan termasuk dalam daftar orang terpelajar Tapanuli yang akan dibunuh oleh Jepang.
Akan tetapi, dalam usaha penangkapan yang dilakukan, Ferdinand Lumbantobing selalu lolos.
Pada suatu waktu, karena berhasil menyelamatkan nyawa seorang polisi Jepang yang jatuh dari kendaraan, Ferdinand diangkat menjadi anggota Syu Sangi Kai(Dewan Perwakilan Daerah) dan juga sebagai Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat) Tapanuli pada November 1943.
Di awal masa kemerdekaan, Ferdinand Lumbantobing diangkat menjadi Residen Tapanuli, sejak Oktober 1945.
Namun, Pemerintahan Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia yang berusaha kembali merebut kemerdekaan Indonesia dengan melancarkan Agresi Militer Belanda I dan II.
Pada awal revolusi, Ferdinand Lumbantobing berperan aktif mempertahankan kemerdekaan.
Pada perkembangan selanjutnya, pada Agresi Militer Belanda II, Ferdinand Lumbantobing kemudian diangkat menjadi Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan.
Ferdinand Lumbantobing pun memimpin perjuangan gerilya di hutan dan gunung.
Selain itu, di masa-masa revolusi kemerdekaan ia juga pernah menjabat beberapa jabatan penting kenegaraan seperti Menteri Penerangan, Menteri Negara Urusan Transmigrasi, Menteri Urusan Daerah, dan Menteri Kesehatan (ad interim) pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I.
Akhir tahun 1944, ketika sinyal kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya semakin terlihat, Gunseikan selaku kepala pemerintahan militer tertinggi Dai Nippon di Indonesia, mengundang tokoh-tokoh penting dari kalangan orang Indonesia untuk menghadiri pesta kebun di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Acara ini digelar untuk memikat hati para tokoh-tokoh pribumi.
Mereka yang diundang adalah orang-orang berpengaruh, baik tokoh masyarakat maupun agama, juga pejabat lokal.
Ferdinand Lumbantobing termasuk di dalamnya.
Pembagian hadiah, semacam lotere atau door prize, menjadi acara puncak dalam pesta kebun itu.
Ferdinand Lumbantobing ternyata beruntung, ia dapat hadiah berupa sarung.
Diceritakan oleh Buya Hamka, bahwa walaupun dirinya seorang kristen yang taat, ia sangat menyukai hadiahnya tersebut.
"Dr. Ferdinand Lumban Tobing dapat kain pelikat. Memang, meskipun dia seorang Kristen, simbolnya ialah sarung. Hatinya tetap Indonesia dan Batak sehingga tetap dicintai orang di Tapanuli, walaupun (oleh) rakyat yang beragama Islam,” kata Buya Hamka, tokoh Islam yang kelak menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama ini. [4]
Wafat & Penghargaan
Ferdinand Lumbantobing wafat di Jakarta dalam usia 63 tahun.
Jasadnya dimakamkan di Desa Kolang, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Untuk menghormati jasa-jasanya, nama Ferdinand Lumbantobing dijadikan sebagai nama bandar udara di Pinangsori, Tapanuli Tengah.
Selain itu, namanya juga dijadikan nama Rumah Sakit Umum di daerah Sibolga, Sumatera Utara.
Ferdinand Lumbantobing kemudian dikukuhkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 17 November 1962 berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 361 Tahun 1962
Ferdinand Lumbantobing (FL Tobing) adalah orang Batak kedua yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah RI setelah Sisingamangaraja XII.
Presiden Sukarno menetapkan Sisingamangaraja XII (1849-1907) sebagai pahlawan nasional pada 9 November 1961, sementara F.L. Tobing memperoleh gelar serupa kurang lebih setahun kemudian, tepatnya tanggal 17 November 1962. [5]
Baca: PAHLAWAN NASIONAL - Nuku Muhammad Amiruddin
Baca: PAHLAWAN NASIONAL - Kapten CZI (Anumerta) Pierre Andries Tendean
Baca: PAHLAWAN NASIONAL - KH Noer Ali
Baca: PAHLAWAN NASIONAL - Raden Mas Haji Oemar Said Tjokroaminoto