Informasi Awal
TRIBUNNEWSWIKI.COM – TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid atau Muhammadi Zainuddin merupakan pahlawan nasional yang berasal dari Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dianugerahi sebagai pahlawan nasional pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Upacara penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Muhammad Zainuddin Abdul Madjid digelar di Istana Negara, Jakarta, Kamis 15 November 2017.
Adapun penganugerahan gelar pahlawan nasional itu didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 115 TK Tahun 20017 tanggal 6 November 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Pemberian gelar pahlawan nasional itu bersamaan dengan pemberian gelar pahlawan nasional kepada tiga tokoh lain di antaranya Laksamana Malahayati dari Aceh, Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kepulauan Riau, serta Lafran Pane dari Yogyakarta. (1)
Baca: PAHLAWAN NASIONAL - Untung Suropati
Baca: PAHLAWAN NASIONAL - Mas Mansoer
Kehidupan Pribadi
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid lahir pada 18 Rabu’ul Awal 1326 H atau bertepatan pada 20 April 1908.
Namun beberapa versi ada yang menuliskan tahun 1898 dan 1904.
Meski begitu, sumber yang dipercaya paling kredibel adalah biodata TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid saat menjadi anggota Dewan Konstituantehasil pemilu 1955, yaitu 18 Rabiul Awal 1326 H sedangkan tahun Masehinya hanya ditulis 1908.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid lahir di Kampung Bermi, Desa Pancor, Kecamatan Rarang Timur (sekarang Selong), Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat dengan nama Muhammad Saggaf.
Muhammad Saggaf kemudian diganti dengan nama Muhammad Zainuddin setelah ia berangkat haji pada usia sembilan tahun.
Nama itu diambil dari nama seorang ulama di Masjidil Haram, yaitu Syaikh Muhammad Zainuddin Sarawak.
Ayah Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bernama Abdul Madjid atau populer dengan sebutan Guru Mukminah.
Sementara ibunya bernama Inaq Syam atau dikenal dengan nama Hajjah Halimatussa’diyah.
Kelahiran TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid tahun 1908, terdapat sejumlah peristiwa besar di Nusantara maupun di Lombok, sebelum maupun sesudahnya.
Di tahun pertama abad 20, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan politik etis di daerah koloni Hindia Belanda sebagai tindak lanjut pidato ratu muda Belanda, Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau.
Kebijakan ini terangkum dalam program Trias van deventer yaitu irigasi, emigrasi, dan edukasi.
Masa kelahiran Muhammad Zainuddin Abdul Madjid merupakan dekade awal penjajahan Hindia Belanda yang ditandai dengan penaklukan Puri Cakranegara tahun 1894 M, dan pembuangan Raja Lombok, Ratu Agung-Agung Ngurah ke Batavia.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid memiliki dua orang istri yang masing-masing memberikannya seorang anak perempuan.
Pertama ia menikah dengan Siti Jauhariyah dan memiliki seorang anak bernama Siti Rauhan, dan kedua ia menikah dengan Hajah Siti Rahmatullah dan dikaruniai seorang anak yang bernama Siti Raihanun. (2)
Riwayat Pendidikan
Ketika memasuki masa remaja, Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mendapat pendidikan formal di Sekolah Desa (Volkscholen) sampai kelas III.
Lulus dari Sekolah Desa, Muhammad Zainuddin Abdul Madjid kemudian melanjutkan ke sekolah lanjutan the Gouvernement-Inlandsche School (GIS).
Kondisi perekonomian keluarga Muhammad Zainuddin Abdul Madjid yang cukup baik membuatnya bisa menjadi satu dari 845 anak-anak di Lombok yang bisa bersekolah saat itu.
Lulus dari GIS, Muhammad Zainuddin Abdul Madjid kemudian melanjutkan pendidikannya ke Mekah, Arab Saudi.
Namun sebelum berangkat ke Mekah, ia belajar secara sistem halawah ke sejumlah tuan guru seperti TGH Syarafuddin, TGH Muhammad Sa’id Pancor, TGH Abdullah bin Amaq Dulaji dari Kelayu, dan beberapa tuan guru lainnya.
Dari guru-guru itulah Muhammad Zainuddin Abdul Madjid belajar Bahasa Arab serta kitab-kitab Arab-Melayu.
Selain itu, TGH Abdul Madjid juga tidak mau ketinggalan untuk menggembleng anaknya.
Pada 1923, Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berangkat ke Mekah diantar langsung oleh ayah, ibu, serta adik lain ibu, Muhammad Faisal, Ahmad Rifa’I, serta seorang keponakan.
Seorang gurunya, TGH Syarafuddin juga ikut mengantarnya ke Mekah ketika menjelang musim Haji 1341 H.
Masa awal di Mekah, Muhammad Zainuddin mulai belajar halaqoh selama hampir dua tahun pada Syaikh Marzuki, seorang ulama yang mengajar di Masjidil Haram.
Dua tahun berikutnya, Muhammad Zainuddin mengembara dari satu guru ke guru lainnya.
Kondisi ini juga dipicu karena gejolak politik yang saat itu terjadi.
Proses belajar yang dijalani di Makkah dengan segala dinamikanya, merupakan sumbu utama pergulatan pemikiran dan visi TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.
Selama berada di Makkah 1923-1934 M, merupakan masa paling dinamis di jazirah Arab.
Sejumlah peristiwa maha penting terjadi para era ini, mulai dari invasi Raja Najed Abdul Aziz ke daerah Hijaz yang saat itu dikuasai Raja Syarif Husain.
Invasi Abdul Aziz ini didukung pasukan al-Ikwan dari kelompok Wahabi.
Awal kedatangan Zainuddin juga ditandai dengan runtuhnya kekhalifahan Ottoman Turki, dengan dideklarasikannya negara Republik Turki oleh Kemal Attaturk.
Tahun- tahun awal ketika Zainuddin muda datang ke Hijaz, situasi sedang memanas, sejak 1923-1924 M berlangsung konferensi antarnegara Arab yang terus menerus mengalami kebuntuan.
Dan terjadi sejumlah penyerangan terhadap Irak dan kejadian lain yang kian memperkeruh suasana.
Di Mekah, Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menempuh pendidikan di Mdrasah Al-Shaulatiyah.
Prestasi akademiknya sangat membanggakan, selalu meraih peringkat pertama dan juara umum.
Kecerdasan yang luar biasa, ia berhasil menyelesaikan studinya dalam kurun waktu 6 tahun dari waktu normal belajar 9 tahun.
Dari kelas II, langsung ke IV.
Tahun berikutnya ke kelas VI, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya secara berturut-turut naik kelas VII, VIII, dan IX.
Studi di madrasah al-Shaulatiyah tuntas tahun 1351 H atau 1933 M, dengan predikat istimewa (mumtâz).
Bahkan dalam ijazah Muhammad Zainuddin tertulis “Diberikan gelar yang melekat pada pemilik Ijazah ini: Al-Akh Al-Fadhil Al-Mahir Al-Kamil Al-Syaikh Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Alanfanany”, yang terjemahannya“Saudara yang mulia, sang genius sempurna, guru terhormat Zainuddin Abdul Madjid”.
Bahkan Sebagian guru besar Zainuddin menyebutnya Sibawaihi zamaanihi (yang tak tertandingi).
Nilai ijazah ini tidak ada yang tidak bernilai 10 dalam semua mata pelajaran. (3)
Riwayat Karier
Sepulang dari Mekah pada 1934, Muhammad Zainuddin kemudian mendirikan Pesantren al-Mujahidin memanfaatkan bangunan musala kecil di dekat rumahnya di Bermi, Pancor.
Penamaan al-Mujahidin yang berarti Para Pejuang merupakan manifestasi Muhammad Zainuddin sebagai intelektual muda terdidik ketika melihat kondisi bangsnya.
Nama pesantren ini juga sama dengan nama kelompok perjuangan yang dipimpin Pendiri Madrasah al-Shaulatiyah, Syeikh Rahmatullah al-Hindi.
Sebelum bermukim di Mekkah, Syeikh Rahmatullah merupakan seorang revolusioner penentang penjajahan Inggris di India.
Napas dan semangat perjuangan Syeikh Rahmatullah ini menjadi inspirasi bagi Zainuddin muda melihat kondisi bangsanya yang juga sedang terjajah dan terbelakang.
Pascapproklamasi kemerdekaan, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga mendirikan Laskar al-Mujahidin, pasukan perang melawan militer Hindia Belanda yang kembali ingin menguasai Nusantara. Laskar al-Mujahidin dipercayakan komandonya pada adik kandungnya, TGH Muhammad Faishal.
Sikap dan kiprah TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam gerakan perjuangan kemerdekaan ini yang kemudian mendapat julukan sebagai pejuang perintis kemerdekaan.
Muhammad Zainuddin muda cepat mendapatkan pengaruh di masyarakat, dengan kemampuan dan moralitas yang ditunjukkan.
Masyarakat Pancor mempercayainya sebagai imam dan khatib shalat Jumat di Masjid Jami’ Pancor.
Figur anak muda alim yang memiliki integritas, keilmuan, serta perjuangan yang dilakukan, masyarakat menyandangkan gelar dengan sebutan “Tuan Guru Bajang” atau “Tuan Guru Muda”.
Masyarakat memintanya memberikan pengajian di Masjid Jami’ Pancor secara periodik.
Pengajian ini dihadiri masyarakat luas, bahkan para tuan guru, seperti Tuan Guru Haji Abu Bakar Sakra, Abu Atikah, TGH Azhar Rumbuk, Raden TGH Ibrahim Sakra, bahkan TGH Syarafuddin Pancor yang pernah mengajarnya selalu hadir dalam pengajian.
Umat Islam dari luar daerah, salah satunya yang dikenal adalah Haji Ahmad Jemberana dari Bali.
Di samping dakwah dari kampung ke kampung, Muhammad Zainuddin juga terus mengembangkan pesantrennya.
Pola pembelajaran yang dipraktikkan awalbya menggunakan model halaqah, namun sistem itu kemudian dipandang tidak efektif karena sulit mengukur keberhasilan santri dan tidak dapat mengawasi proses pembelajaran, sehingga metodenya diubah menggunakan metode klasikal.
Namun penerapan sistem klasikal menghadapi kendala, terutama soal pengelompokan usia santri, sehingga pada tahun berikutnya diterapkan sistem semi klasikal.
Masing-masing kelas dilengkapi papan tulis, santri tetap duduk bersila, meskipun belum ada pengelompokan batas usia.
Sistem semi klasikal ini menarik perhatian masyarakat dan disenangi santri.
Dalam waktu singkat sekitar 200 orang santri bergabung dari Pancor dan desa lainnya.
Pencapaian Pesantren al-Mujahidin hanyalah fase awal dari visi TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.
Dalam waktu dua tahun, Tuan Guru Bajang sudah menempatkan Pesantren al-Mujahidin sebagai episentrum aktivitas baru di Lombok.
Pada 1936, Muhammad Zainuddin mengajukan izin pembukaan madrasah kepada pemerintah kolonial Belanda di Selong.
Madrasah yang didirikan bernama Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI).
Secara etimologis, nahdlah berarti perjuangan, kebangkitan, dan pergerakan, sedangkan Wathan, berarti tanah air, bangsa atau negara.
Sedangkan dîniyah islâmiyah berarti agama Islam.
Di sisi lain, sebelum madrasah itu berdiri, muncul prasangka negative dari sebagian masyarakat, bahwa NWDI diasumsikan sebagai kepanjangan tangan dari sistem pembelajaran ala Barat dan akan menyebarkan ajaran Wahabi atau Mu’tazilah.
Provokasi dan fitnah dilakukan dengan menghasut para pemilik tanah wakaf dan para wali santri, hasutan ini membuahkan hasil.
Sejumlah tanah wakaf dan santri dari pancor dikeluarkan dari Pesantren oleh orangtuanya, tersisa 50 orang yang berasal dari luar Desa Pancor, seperti Sakra dan Praya.
Haji Syazali kemudian menawarkan tanaghnya sebagai tempat pendirian madrasah.
Pada 22 Agustus 1937, Madrasah NDWI resmi beroperasi.
Madrasah NDWI terus mengalami kemajuan sekaligus mencatat sejarah baru dalam perkembangan pendidikan Islam di NTB.
Pada 1943, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mendirikan lembaga pendidikan agama yang dikhususkan untuk kaum perempuan.
Saat masih berbentuk halaqah di Pesantren Al-Mujahidin, kaum perempuan juga mendapat kesempatan yang sama dengan kaum laki–laki.
Budaya patriarki menempatkan kaum perempuan seperti berada dalam lapis dua masyarakat.
Padahal keberadaannya vital, mulai dari peranan sebagai ibu rumah tangga yang siginfikan membentuk karakter anak-anak, yang akhirnya membentukan karakter masyarakat.
Akhirnya ada 21 April 1943, Muhammad Zainuddin resmi mendirikan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) yang dipimpin langsung olehnya.
Pendirian madrasah NWDI dan Madrasah NBDI beserta cabang-cabangnya, oleh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, bukan sekedar sebagai media belajar agama, tetapi juga sebagai sebagai basis awal dan epicentrum perjuangan melawan penjajah.
Madrasah bukan sekedar tempat persemaian ilmu pengetahuan.
Di tengah kuatnya tekanan pemerintah kolonial, madrasah digunakan untuk menumbuhkembangkan jiwa dan semangat perjuangan, serta sikap patriotisme dan pantang mundur dalam menghadapi perlakuan pemerintah kolonial.
Tidak hanya di zaman Hindia Belanda, saat penjajahan Jepang, keberadaan dua madrasah ini juga dipermasalahkan.
Apalagi dengan adanya mata pelajaran bahasa Arab dan Inggris.
Kedua bahasa tersebut diminta oleh pemerintah Jepang untuk dihapuskan dari kurikulum madrasah.
Madrasah ini juga dituding sebagai tempat menyusun taktik dan strategi melawan pemerintah.
Namun setelah melalui berbagai upaya, Muhammad Zainuddin akhirnya berhasil mempertahankan madrasahnya, termasuk pelajaran Bahasa Arab.
Kemerdekaan Indonesia baru terdengar di Lombok sekitar bulan Oktober.
Mendengar itu, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid tidak berdiam diri, ia terus mengawal kemerdekaan Indonesia dengan berbagai hal.
Pertama, mengkonsolidasikan murid-murid yang memang sejak awal melakukan jihad fisabilillah, di bawah komando TGH Muhammad Faishal.
TGKH Zainuddin Abdul Majid membagi kepada murid-murid tersebut 27 buah keris yang sudah dibacakan doa-doa tertentu.
Kedua, Muhammad TGKH Zainuddin Abdul Majid memerintahkan beberapa muridnya untuk mengibarkan bendera sederhana dengan warna merah putih di depan komplek madrasah.
Dua santri yakni Nursaid dengan Sayid Hasyim ditugaskan agar bendera tidak diganggu.
Setelah informasi pasukan Jepang menyerah kepada Sekutu, serta proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia menyebar di Lombok.
Para pejuang bergerak merebut senjata dan peralatan lain dari tentara Jepang.
Seperti peristiwa Wanasaba (Lombok Timur) yang menelan korban jiwa, karena Jepang tidak mau begitu saja menyerah, sehingga terjadi pertumpahan daerah.
Ada juga penyerangan markas Jepang di Kopang (Lombok Tengah).
Dan yang terbesar penyerangan di Labuhan Haji awal Januari 1946, kali ini penyerangan berhasil merampas senjata, tanpa ada korban jiwa, penyerangan ini dipimpin Sayid Saleh, salah seorang murid sekaligus sahabat dari TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.
Pendirian Madrasah NWDI dan NBDI merupakan bagian pergerakan kebangsaan yang dilakukan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.
Melalui kedua madrasah ini, berkiprah dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada masa revolusi fisik dan diplomasi kemerdekaan Indonesia (1945-1950) di Lombok.
Pasukan Australia yang ditugaskan Sekutu mendarat di Ampenan, 30 November 1945, dan mulai beroperasi di Lombok.
Para pengurus Komite Nasional Indonesia (KNI) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berharap, pasukan Sekutu akan banyak membantu.
Namun, kedatangan tentara Asutralia yang tugas utamanya melucuti senjata Jepang, tidak membawa perubahan lebih baik di Lombok.
Justru kedatangan pasukan ini berperan memuluskan langkah Hindia Belanda kembali mencengkeramkan kekuasaannya, melalui kedok NICA (Nederlandsch Inde Civil Administratie).
Pascakedatangan NICA, kondisi mulai berubah, terutama setelah pasukan Australia meninggalkan Lombok.
Maret 1946, pasukan Brigade Y atau dikenal dengan pasukan Gajah Merah NICA memasuki Sunda Kecil, di Bali maupun Lombok.
Di Bali, Dewan Raja-Raja dan Paruman Agung duakui sebagai kekuasaan yang sah di Bali dan bekerjasama dengan Belanda.
Sekaligus menegaskan, kekuasaan militer Belanda di Bali adalah kekuasaan tertinggi dan peraturan-peraturan penguasa militer harus dipatuhi.
Tidak lama kemudian, NICA menguasai Provinsi Sunda Kecil, Gubernur IGK Ketut Pudja ditahan bersama jajarannya, sehingga di bulan yang sama kekuasaan kembali seperti zaman penjajahan Belanda, sebelum Jepang.
Bendera Belanda dikibarkan kembali, larangan-larangan kembali diberlakukan.
Di sejumlah tempat NICA menarik simpati rakyat dengan cara membagi-bagikan sandang, pangan, permen, dan lain-lainnya kepada rakyat.
Sikap NICA ini melahirkan reaksi penolakan.
Para tokoh pejuang di Lombok Barat, Lombok Tengah, maupun di Lombok Timur, termasuk Kepala Daerah yang sudah dibentuk sebelumnya oleh Ketut Pudja, ditangkap NICA.
Posisi pejabat pemerintahan digantikan dengan tokoh yang dianggap lebih kooperatif.
Pasukan Hindia Belanda dalam waktu singkat menguasai daerah-daerah yang diduduki Pasukan Australia dengan pasukan Belanda dan bekas pegawai pamong praja, seperti residen, asisten residen, kontrolir atau jabatan lainnya.
Bahkan mendirikan tangsi-tangsi militer.
Dengan demikian, sesungguhnya tentara Australia telah bekerja untuk kepentingan Belanda.
Kondisi ini, secara politis wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku yang kemudian disebut sebagai Negara Indonesia Timur menjadi daerah yang berdiri sendiri terpisah dengan Pemerintah RI yang saat itu berpusat di Yogyakarta.
Di Bali pejuang pergerakan kemerdekaan mulai menyerang keb eradaan NICA sejak April 1946, seperti Operasi Lintas Laut di Selat Bali tanggal 3 April 1946, penyerangan Pos NICA di Penebel tanggal 15 April 1946, Pertempuran Kalanganyar 26 April 1946.
Pertempuran Munduk Malang 11 Mei 1946, Pertempuran Sawah Tabanan 11 Mei 1946, Long March Gunung Agung Juni-Juli 1946, Pertempuran Tanah Aron 9 Juli 1946, dan lainnya.
Puncaknya, Pertempuran yang terjadi pada tanggal 20 Nopember 1946 yang kemudian dikenal dengan Puputan Margarana.
Tidak hanya di Bali, di Lombok juga demikian, manuver Belanda kembali melakukan aksi penguasaan membuat para pejuang yang baru saja menikmati angin kemerdekaan, melakukan perlawanan dengan membentuk laskar baru, maupun mengaktifkan kembali laskar-laskar perlawanan rakyat yang sudah ada.
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga mendirikan laskar perjuangan yang dinamakan “al-Mujahidin” yang dipimpin adiknya, TGH Muhammad Faisal.
Laskar ini beranggotakan guru dan santri Madrasah NWDI, NBDI dan jemaah pengajian TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.
Laskar ini selanjutnya bergabung dengan gerakan Banteng Hitam, Badan Keamanan Rakyat, dan kelompok pejuang lainnya di pulau Lombok untuk menyatukan langkah mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pandangan mengenai penyerangan NICA sebelum ditangkap disampaikan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid saat konsolidasi Laskar al-Mujahidin.
Apalagi perpecahan antar kelompok di tengah masyarakat akibat provokasi NICA mulai terlihat.
Saat mengumpulkan Laskar al-Mujahidin, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menyampaikan tiga hal pokok, yakni harus melakukan penyerangan lebih awal ke markas NICA, sebelum NICA menangkap para pejuang, khususnya orang-orang yang aktif mengajar di Madrasah.
Kedua, perkuat iman dan niat dalam berjuang, bahwa perjuangan ini adalah dalam rangka menegakkan agama Allah dan mempertahankan kemerdekaan yang sudah di proklamirkan.
Ketiga, strategi harus betul-betul tepat.
Selanjutnya, secara teknis mengenai arahan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid ini dibahas dalam forum yang lebih besar di Repok (pondok tani TGH Muhammad Faishal).
Koordinasi antar barisan pejuang terus dilakukan di desa-desa agar jauh dari pantuan pasukan NICA.
Di Otak Aik Pancor digelar pertemuan singkat antara sejumlah tokoh seperti Djumhur Hakim (BKR Lendang Nangka), Haji Misbah (Kepala Desa Masbagik) dan Mamiq Rojihatun (BKR Masbagik).
Pertemuan berikutnya Mamik Muhammad, Djumhur Hakim, Lalu Sahak, Raden Soekro, Mohasioen, dan Mas Soemidjan.
Hasil perundingan mereka antara lain:
- Mengusahakan agar pimpinan yang masih dalam tahanan secepatnya dikeluarkan
- Akan menghimpun kekuatan untuk mengadakan aksi terhadap NICA
- Membentuk organisasi perjuangan bernama Badan Perjuangan Rakyat Indonesia (BPRI).
Pertemuan lanjutan digelar di rumah Haji Misbah Masbagik, 27 Mei 1946. Sayyid Saleh (Sahabat TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid) mendesak agar secepatnya melakukan serangan terhadap NICA sebelum ditangkap.
Keinginan ini terus dimatangkan dalam sejumlah pertemuan, termasuk di rumah pimpinan BKR Lombok Timur M Asmo di Selong.
Saat pertemuan para pejuang di Kopang, Lombok Tengah diputuskan untuk melakukan penyerangan ke Markas NICA 2 Juni 1946.
Namun informasi ini bocor, sehingga urung dilakukan.
NICA juga memprovokasi rakyat dengan mengatakan bahwa akan ada perampok dari jurusan barat menuju Selong.
Masyarakat Pancor diancam jika perampok bisa masuk Pancor maka NICA tidak segan-segan akan membumihanguskan Pancor.
Di Rempung rakyat diancam akan dibakar desanya jika tidak mau keluar rumah untuk menghalangi pasukan Sayyid Saleh.
Oleh karena itulah, Sayyid Saleh dan pasukannya mengurungkan niat menyerang NICA karena khawatir akan terjadi pertempuran dengan sesama rakyat.
Setelah gagalnya penyerangan markas tentara NICA pada tanggal 2 Juni 1946 dan penangkapan pemimpin pejuang di daerah, para pejuang yang masih bebas dari tangkapan NICA mengadakan koordinasi untuk mengadakan perlawanan kembali.
7 Juni 1946 dini hari, kelompok pejuang pimpinan TGH Muhammad Faisal dan Sayid Saleh mengempur Markas Gajah Merah NICA di Selong, Lombok Timur.
Sebagian besar pasukan hanya menggunakan senjata tajam seperti Keris, Klewang (Pedang panjang tradisional), dan senjata lain sejenisnya.
TGH Muhammad Faishal berada paling depan dan masuk ke dalam markas, dan akhirnya tertembak.
Sedangkan Sayid Saleh dan Abdullah meninggal di luar markas NICA.
Tembakan terus menerus dari pasukan NICA membuat para pejuang kocar-kacir.
Pejuang lain yang belum sampai di Markas NICA, juga ikut bubar dan membatalkan penyerangan.
Paskapenyerangan ini, Madrasah NWDI dan NBDI dicap sebagai markas gelap pribumi dan akhirnya ditutup.
Sejumlah guru Madrasah NWDI dan NBDI ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.
Beberapa di antaranya yang diungsikan ke daerah-daeran lain.
Namun, ancaman dan intimidasi dari pihak NICA bersama kaki tangannya semakin gencar dan langsung ditujukan kepada pribadi TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.
Namun ancaman demi ancaman tidak menyurutkan aktivitas dakwahnya.
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga tergabung sebagai Anggota Misi Kehormatan (Haji) NIT ke Mekah pada 1947.
Pascakemerdekaan, Muhammad Zainuddin juga mulai terjun ke dunia politik.
Ia ditunjuk sebagai Dewan Syuriah Partai Masyumi di Lombok.
Pada 1950, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga tercatat sebagai Konsulat Nahdlatul Ulama Sunda Kecil sebelum ia kemudian mendirikan Nahdlatul Wathan pada 1 Maret 1953.
Pendirian Nahdlatul Wathan sebagai fase lanjutan bagi perjuangan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, sebagai sebuah pembentukan identitas dan ideologi kolektif.
Secara ideologi dan filosofis, nama ini sama dengan nama madrasah yang didirikan, yakni Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah.
Melalui organisasi ini, kemudian menunjukkan bentuk dan upaya unity atau penyatuan terhadap common sense masyarakat Islam Nusantara dalam negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal ini juga sebagai visi futuristik TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, meletakkan konteks perjuangan pada level nasional, dari Lombok untuk Indonesia.
Pada Pemilu 1955, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante, bersama TGH Abdul Hafidz Sulaiman, Kediri Lombok Barat.
Keduanya mewakili Partai Masyumi dari Provinsi Sunda Kecil.
Selama menjadi anggota konstituante, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid aktif ikut bersidang dan berdinamika, berkantor di Bandung, Jawa Barat.
Berbagai hal terkait sidang serta pengalamannya selama menjadi Anggota Dewan Konstituante, seringkali diceritakan kepada para muridnya, sebagai bahan pembelajaran.
Berbagai manuver politik di internal Masyumi mulai berkembang, kuatnya pengaruh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid tidak disukai para politisi, sebab tidak bebas dalam bertindak.
Sedikit demi sedikit, kelompok dalam Partai Masyumi Lombok mulai mengkebiri peran dan posisi TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid.
Pascapembubaran Partai Masyumi, tahun 1960 perpolitikan nasional terus mengalami kegoncangan.
Situasi ini kemudian diperparah dengan kian menguatnya Partai Komunis Indonesia, yang juga diiringi dengan krisis ekonomi dengan kondisi kemiskinan dan kelaparan di tengah masyarakat.
Pada Pemilu 1971 dan 1977 TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid terpilih sebagai anggota MPR RI dari Golkar.
Pada Pemilu selanjutnya, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid tidak mau lagi menempati posisi sebagai Anggota MPR RI, tetapi lebih memilih untuk fokus berjuang membangun daerah dan mengembangkan Nahdlatul Wathan melalui pendidikan, sosial dan dakwah.
Apalagi Golongan Karya sebagai partai pemerintah kian menunjukkan inkonsistensi dalam berbagai hal, sehingga di internal Nahdlatul Wathan lahir gagasan kembali ke khittah, yakni berkonsentrasi pada kerja kultural, seperti pendidikan, sosial, dan dakwah.
Gagasan untuk kembali ke Khittah ini mendapat momentumnya pada perayaan Hari Ulang Tahun (Hultah) NWDI ke-47, tahun 1983.
Muhammad Zainuddin juga tercatat prenah menjadi Deawn Pertimbangan MUI pada periode 1971 sampai 1982.
Ia menghembuskan napas terakhir pada 21 Oktober 1997 di rumahnya di kompleks Musala al-Abror di kompleks Pondok Pesantren Darunnahdlatain, Pancor, Lombok Timur.
Di sana juga ia dimakamkan. (4)
Baca: PAHLAWAN NASIONAL - dr Soetomo
Baca: Muhammad Zainul Majdi
Karya
Dalam risalah Nadzam Batu Ngompal, Zainuddin Abdul Madjid menulis:"Seandainya aku mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup untuk menulis dan mengarang, niscaya aku akan mampu menghasilkan karangan dan tulisan-tulisan yang lebih banyak, seperti yang dimiliki Syaikh Zakaria Abdullah Bila, Syaiikh Yasin Padang, Syaiikh Ismail dan ulama-ulama lain tamatan Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah.”
Tentunya, kata-kata itu merupakan cerminan pribadi rendah hati Zainuddin Abdul Madjid.
Sebab, jumlah buku karyanya mencapai 19 judul, yakni dalam bahasa Arab sebanyak 16 kitab, sedangkan tiga buku sisanya dengan bahasa Melayu atau Sasak.
Daftarnya adalah sebagai berikut.
- Risalah Tauhid,
- Sullamul Hija Syarah Safinatun Naja,
- Nahdlatul Zainiyah,
- At-Tuhfatul Ampenaniyah Syarah Nahdlatuz Zainiyah,
- Al-Fawakihul Ampenaniyah,
- Mi'rajush Shiibyan Ila Sama'i Ilmi Bayan,
- An Nafahat 'Alat Taqriratis Saniyah,
- Nailul Anfal,
- Nizib Nahdlatul Wathan,
- Hizib Nahdlatul Banat,
- Shalawat Nahdlatain,
- Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan,
- Ikhtisar Hizib Nahdlatul Wathan,
- Shalawat Nahdlatul Wathan/Shalawat Iftita,
- Shalawat Miftahi Babi Rahmatillah,
- Shalawat Mab'utsi Rahmatan Lil 'Alamin.
Adapun yang berbahasa Melayu-Sasak ialah:
- Batu Nompal,
- Anak Nunggal Taqrirat Batu Ngompal, dan
- Wasiat Renungan Masa I dan II/Nasihat dan Petunjuk Perjuangan untuk warga Nahdlatul Wathan.
Selain berupa kitab-kitab, Zainuddin Abdul Madjid juga menghasilkan belasan karya lagu nasyid.
Kepiawaian Zainuddin Abdul Madjid juga mengundang kekaguman dari para gurunya.
Bahkan, dia diminta untuk menulis kata pengantar untuk kitab Baqi'ah al-Mustarsyidin karya gurunya, Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat.
Satu kutipan dari sang guru yang diguratkannya adalah mengenai keteguhan diri dalam menjalani kehidupan namun tetap menganggap diri fakir ketika mendalami ilmu agama. (5)