Hal ini berdasarkan pada situs Air Visual pada Kamis (1/8/2019), sebuah situs daring pemantau kondisi udara di kota-kota besar di seluruh dunia.
Sebenarnya apa penyebab utama parahnya polusi udara yang terjadi di Jakarta?
Dikutip dari Kompas.com, Kamis (1/8/2019), penyebab utama polusi udara di Jakarta ternyata berasal dari kendaraan bermotor.
Penggunaan kendaraan bermotor pribadi yang tidak terkontrol, akhirnya membuat polusi udara di Jakarta semakin menggila.
Dikutip dari National Geographic, Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) merilis data yang menunjukkan penyumbang particulate matter (PM) 10 terbesar di Jakarta adalah kendaraan bermotor, yakni sebesar 47%.
Baca: Hujan Buatan Pertama di Indonesia untuk Atasi Pencemaran Jakarta, Bagaimana Metodenya?
Baca: Agustus Nanti Pemprov DKI Jakarta Bagikan Tanaman Lidah Mertua untuk Atasi Polusi, Efektifkah?
Sekadar informasi, particulate matter (PM) 10 merupakan partikel kecil udara yang mampu menembus saluran pernapasan.
Masih dari KPBB, pada 2018 tercatat ada sembilan juta pengguna kendaraan roda empat dan 21 juta kendaraan roda dua di wilayah Jabodetabek.
Jumlah itu padahal belum termasuk kendaraan baru yang mencapai angka 1.500 unit setiap harinya.
KPBB sebenarnya sudah menyarankan kepada Pemprov DKI Jakarta supaya segera mengambil langkah dalam mengontrol emisi gas kendaraan bermotor yang semakin tidak terkendali itu.
Hal tersebut karena sebagai pemangku kekuasaan, Pemprov DKI dinilai memiliki wewenang dalam pembatasan penggunaan kendaraan bermotor serta membatasi angka penjualannya.
Dikutip dari Kompas, Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad Safrudin bahkan mengatakan pemerintah bisa dipidanakan apabila mengabaikan masalah polusi udara di Ibu Kota Jakarta yang semakin mengkhawatirkan.
Lebih lanjut, ia mengatakan pemerintah memiliki alat pemantau kondisi atau kualitas udara yang seharusnya terus diinformasikan kepada masyarakat.
Setelah menyampaikan kondisi atau kualitas udara secara berkala, maka tugas pemerintah selanjutnya adalah memberikan arahan yang mesti dilakukan masyarakat agar bisa menghindari udara kotor atau tercemar.
Hal itu sesuai dengan UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Kemudian didukung Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang menyebutkan hasil pemantauan kualitas udara harus disampaikan gubernur kepada masyarakat sebagai peringatan dini.
“Sesungguhnya pemerintah itu terkena pasal 112 undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan, dalam undang-undang, pembiaran pencemaran lingkungan termasuk tidak memberikan peringatan dini kepada masyarakat merupakan tindak pidana.