Kehidupan Awal
TRIBUNNEWSWIKI.COM - Soegijapranata lahir di Surakarta, pada 25 November 1896.
Ia lahir dari pasangan Karijosoedarmo dan Soepiah.
Soegijapranata merupakan anak kelima dari pasangan tersebut.
Semasa kecil, Soegijapranata dan saudara-saudaranya mendapat tempaan ajrih dan asih, atau hormat penuh kasih dan rendah hati.
Ia mendapatkan pendidikan karawitan untuk mengolah rasa dari ayahnya.
Karijosoedarmo sendiri merupakan abdi dalem Keraton Surakarta, seklaigus pengikut pujangga Ranggawarsita.
Setiap malam, sang ayah mengajarkan tembang yang dipetik dari Kitab Wedhatama.
"Anakku, kamu hendaknya rajin senantiasa melatih ketajaman hatil siang-malam siap sedia/mengatur tabiat tingkah laku/menguasai keinginan indrawi/agar menjadi orang bennartabat," terjemahan liriknya.
Tembang itu dilantunkan sang ayah agar Soegijapranata memiliki watak ksatria yang berbudi luhur.
Soegijapranata kecil gemar menonton pertunjukan tari.
Meski demikian, ia neggan belajar menari karena tidqak mau menjadi pusat perhatian.
Soegijapranata mendapatkan latihan askese (mati raga) dari sang ibu yang berprofesi sebagai pedagang setagen.
Latihan tersebut dilalui dnegan kegiatan sesirik atau berpantangan, seperti ngrowot atau mutih.
Orangtua Soegijapranata tinggal di Ngabeyan, Yogyakarta.
Lokasi ini merupakan tetangga Kauman, tempat tinggal KH Ahmad Dahlan.
Perjumpaan dengan kekristenan didapat Soegijapranata saat membesuk ke RUmah Sakit Petronella.
kala itu, ia melihat gambar penyaliban Yesus di bukit Kalvari.
Kini, rumah sakit tersebut bernama Bethesda.
Soegijapranata menempuh pendidikan dasar di Sekolah rakyat Wirogunan dan Hollands Inlandsche School (HIS) di Lempuyangan. (1)
Pendidikan
Pada 1896, Pater van Lith merintis pendidikan bagi anak pribumi di Muntilan.
Hal itu membuat Soegijapranata ingin bersekolah di sana.
Semula, kedua orang tuanya menentang.
Mereka khawatir apabila Soegijapranata menjadi kemlondo.
Akan tetapi, karena Soegija bertekad bulat, mereka mengizinkan.
Pada 1909, Soegijapranata masuk sekolah tersebut bersama 54 teman seangkatan.
Pada awalnya, Soegijapranata berfikir bahwa semua orang belanda sama.
Mereka datang ke Indoensia hanya untuk mnegeruk kekayaan Indonesia.
Pandangan itu berubah ketika ia mengetahui bahwa pastor yang mengajarnya tidak digaji.
Bahkan, terkadang mereka harus mengorbankan harta warisan di Belanda demi anak asuhnya.
Suatu ketika, Soegija mengungkapkan keinginan untuk ikut pelajaran agama Katolik kepada Pater Mertens SJ, pemimpin asrama.
kala itu, ia hanya ingin memperdalam pengetahuan tentang agama Katolik saja.
Pater Mertens tidak langsung mengiyakan, melainkan menyarankan agar meminta izin orang tua terlebih dahulu.
Setelah tiga bulan mengikuti pelajaran agama, Soegijapranata ingin menerima sakramen baptis.
Meski sempat berselisih paham, akhirnya kedua orangtua merestui.
Mereka menasihati Soegijapranata agar berani memeluk risiko sebagai ornag katolik dan hidup selaras dengan keyakinan barunya.
Kemudian, ia dipermandikan dengan nama Albertus pada 24 Desember 1910. (1)
Menjadi Uskup Agung
Setelah lulus daro Kolese Xaverius pada 1915, ia menjadi guru dan menetap di sana selama satu tahun.
Pada tahun 1919 ia berangkat ke Belanda.
Ia menjalani pendidikan calon biarawan dengan Serikat Yesus selama dua tahun di Yunani.
Pada tahun 1928, ia kembali ke Belanda untuk belajar teologi di Maastricht.
Pada masa inilah, Seogija menambah kata Pranata di belakang namanya.
Pada tahun 1933 Soegijapranata kembali ke Belanda untuk menjadi Pastor.
Soegijapranata memulai keimamannya sebagai vikaris paroki untuk Pr van Driessche di Paroki Kidul Loji, Yogyakarta.
Kemudian ia diberi paroki sendiri setelah Gereja St Yoseph di Bintaran dibuka pada tahun 1934.
Selanjutnya Paus Pius XII mengangkat Soegija menjadi Uskup Agung untuk daerah Vikariat Apotolik Semarang pada 1 Agustus 1940, dan dilantik pada 6 November 1940.
Wilayah apostolik Semarang itu meliputi daerah keresidenan Semarang.
Tak hanya kota dan kabupaten Semarang, tapi juga Jepara, Rembang, Temanggung, Magelang, Yogyakarta dan Surakarta. (2)
100% Katolik, 100% Indonesia
Kala itu ia menjadi pemimpin umat di masa perang.
Setidaknya, sejak perang Pasifik hingga masa revolusi kemerdekaan Indonesia.
Soegijapranata melakukan kegiatan-kegiatan pemeliharaan dan pembinaan rohani umat di tengah pergoalakan yang terjadi kala itu.
Di waktu itu, Soegijapranata mempersembahkan misa setiap hari.
Ketika Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, Soegijapranata turut pindah ke Yogyakarta dari Semarang, pada 13 Februari 1947.
Hal ini berlawanan dengan kebanyakan orang yang mencari hidup aman di Semarang.
Di samping peran Soegijapranata membimbing umat, hal ini juga menjadi bukti dukungan Soegijapranata terhadap kemerdekaan Indonesia.
Soegijapranata memiliki semboyan "seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia".
Ia juga dianggap berjasa dalam dukungan Tahta Suci Vatikan untuk kemerdekaan Indonesia.
Vatikan merupakan satu di antara negara Eropa yang pertama kali mengakui Kemerdekaan Indonesia.
Setelah pengakuan kedaulatan 1949, Soegijapranata kembali ke Semarang.
Ia terus memimpin umat Katolik, termasuk dalam perseteruan dengan Partai Komunis Indonesia.
Untuk membumikan katolik, Soegijapranata memperbolehkan penggunaan wayang dan gamelan untuk dakwah. (2)
Kematian
Soegijapranata menghadiri pemilihan Paus di Vatikan pada 30 Mei 1963.
Kala itu, Paus Paulus VI terpilih.
Selanjutnya ia bepergian ke Belanda.
Kemudian ia jatuh sakit ketika di Belanda.
Soegijapranata sempat di rawat di Canisius Hospital, Belanda, 29 Juni hingga 6 Juli 1963.
Pada tanggal 22 Juli 1963, ia meninggal di sebuah biara di Steyl, Belanda.
Kala itu Soekarno tidak menghendaki Soegijapranata dimakamkan di Belanda.
Setelah dilakukan doa yang dipimpin Kardinal Bernardus Johannes Alfrink, jenazah Soegijapranata diterbangkan ke Indonesia.
Pada tanggal 26 Juli 1963, ia dinyatakan sebagai seorang Pahlawan Nasional Indonesia, berdasarkan Kepres No 152/1963.
Jenazah Soegijapranata tiba di Bandar Udara Kemayoran di Jakarta pada tanggal 28 Juli.
Pada hari berikutnya, jenazahnya diterbangkan ke Semarang.
Pada tanggal 30 Juli 1963, ia dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal. (3)