Informasi Awal
TRIBUNNEWSWIKI.COM – Keumalahayati atau lebih dikenal dengan Malahayati adalah tokoh pejuang perempuan dari Aceh.
Malahayati mendapatkan gelar pahlawan nasional pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 11/TK/Tahun 2017.
Dalam peperangan, Malahayati mempunyai gelar ‘Laksamana’, sehingga cukup familiar dengan nama Laksamana Malahayati.
Pada masa pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam, Malahayati memimpin posisi sebagai Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Kemudian, pada era kepemimpinan Sultan Alauddin, Malahayati mendapat gelar Laksamana.
Pada pertempuran melawan pelaut Belanda, Malahayati memimpin pasukan Inong Balee atau barisan janda yang ditinggal mati suami dalam perang.
Salah satu tokoh Belanda yang tewas dalam peperangan melawan pasukan Inong Balee adalah Cornelis de Houtman.
Cornelis de Houtman tewas setelah berhadapan satu lawan satu dengan Malahayati di kapal milik Cornelis. [1]
Kehidupan Pribadi
Malahayati adalah seorang perempuan yang silsilahnya termasuk bagian dari keluarga inti Kerajaan Aceh.
Ayah Malahayati bernama Mahmud Syah (Laksamana) merupakan keturunan dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530).
Menurut sumber (Rusdi Sufi dalam Ismail Sofyan, eds Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, 1994 yang dikutip Tirto, (14/11/2017), Mahmud Syah adalah pendiri dari Kesultanan Aceh Darussalam.
Sejak masa kecil, Malahayati tidak terlalu menyukai berdandan atau bersolek.
Malahayati gemar berlatih fisik dan ketangkasan sebagai bagian dari cita-cita yang diinginkannya yaitu menjadi panglima perang.
Malahayati mewarisi bakat dari ayah dan kakeknya yang pernah menjadi Laksamana Angkatan Laut Kesultanan Aceh. [2]
Laksamana Perempuan Pertama
Tidak ada persoalan gender dalam urusan menjadi panglima perang.
Hal tersebut dibuktikan Malahayati saat ia diangkat menjadi Laksamana.
Kemudian di lingkungan kerajaan juga terdapat beberapa ratu atau sultan yang pernah dipimpin oleh seorang perempuan.
Selain itu, tidak menjadi persoalan ketika Malahayati memilih militer sebagai jalan hidupnya.
Malahayati merupakan salah satu perempuan hasil didikan Mahad Baitul Makdis, yaitu akademi ketentaraan dari Kesultanan Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh Darussalam pernah merekrut beberapa instruktur perang dari Turki.
Sebagai salah satu lulusan Mahad Baitul Makdis, Malahayati diangkat menjadi Komandan Istana Darud-Dunia – Kepala Pengawal dan Panglima Protokol Istana pada era kepemimpinan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil (1589-1604)
Diangkatnya Malahayati untuk posisi tersebut menggantikan suaminya yang wafat saat menghadapi Portugis di Teluk Haru, Perairan Malaka.
Selain sebagai Komandan Istana, Sultan Alauddin juga memberi pangkat tertinggi di Angkatan Laut Kerajaan Aceh yaitu dengan pangkat Laksamana.
Jabatan laksamana yang diemban Malahayati juga pernah dipegang oleh ayah dan kakeknya.
Menurut sumber (Endang Moerdopo, Perempuan Keumala, 2008 yang dikutip Tirto, (14/11/2017), Laksamana Malahayati disebut-sebut sebagai laksamana laut perempan pertama di Indonesia, bahkan diklaim sebagai laksamana perempuan pertama di dunia. [3]
Kedatangan Pelaut Belanda
Kapal berbendera Belanda tercatat merapat ke Pelabuhan Aceh pada pertengahan Juni 1599.
Terdapat dua kapal berbendera Belanda yang dinahkodai oleh dua orang saudara, yaitu Frederick dan Cornelis de Houtman. [4]
Dua kapal berbendera Belanda tersebut bernama de Leeuw dan de Leeuwin. (Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, 1999:67 dikutip Tirto, (14/11/2017).
Frederick de Houtman dan Cornelis de Houtman bertugas sebagai kapten masing-masing kapal tersebut.
Periode kedatangan orang Belanda menurut sejarawan Mona Lohanda pada tahun-tahun ini termasuk dalam masa ‘voorcompagnie’n’ atau disebut sebagai ‘pelayaran liar (wilde vaart) yang tidak mempunyai aturan dan sering menghadirkan persaingan antarperusahaan dagang.[5]
Bagi de Houtman bersaudara, pelayaran ke Aceh telah menjadi tujuan yang kesekian kali dalam tujuan utama menemukan pusat tanaman rempah-rempah.
Namun demikian, usaha mereka menemukan pusat tanaman rempah-rempah selalu gagal.
Pengalaman kegagalan pada awal kedatangan pelaut Belanda dalam mencari rempah-rempah juga terjadi di Banten, Madura, dan Bali.
Hal tersebut selalu berakhir dengan pertikaian kontra rakyat lokal.
Namun, kedatangan pelaut Belanda di Aceh memiliki pengalaman yang berbeda dari kunjungannya ke lain daerah.
Sebab, disinilah petualangan kakak-beradik Frederick de Houtman dan Cornelis de Houtman ini berakhir.
Peperangan Melawan Pelaut Belanda
Pada mulanya, kedatangan orang Belanda di Aceh disambut baik oleh kerajaan.
Namun, menurut beberapa sumber karena ketidakcocokan sikap atau adanya gap budaya, menyebabkan banyak pertikaian dengan masyarakat setempat.
Beberapa sumber lain mengatakan pertikaian terjadi karena provokasi yang dilakukan oleh orang-orang Portugis.
Situasi yang memanas antara rakyat setempat dengan para pelaut Belanda menjadikan Frederick dan Cornelis melakukan koordinasi di atas kapal.
Mereka berdua mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan yang mungkin datang.
Dugaan tersebut terbukti, Sultan Alauddin memerintahkan Laksamana Malahayati untuk menyerbu dua kapal Belanda tersebut yang masih bertahan di Selat Malaka.
Pertempuran pun terjadi, pasukan yang dipimpin Malahayati berjumlah ribuan melawan dua kapal berbendera Belanda.
Para armada Belanda kewalahan menahan serangan pasukan Malahayati yang sebagian besar terdiri dari barisan para janda yang berani mati.
Pasukan armada Belanda banyak yang mati dalam pertempuran tersebut, sedangkan beberapa sisanya ditangkap, ditawan dalam penjara, salah satunya adalah Frederick de Houtman.
Pertempuran antarpasukan membawa kedua pimpinan perang bertemu dalam duel satu lawan satu.
Dikisahkan dalam sumber, terjadi pertarungan antara Cornelis de Houtman yang menggunakan pedang melawan Malahayati yang membawa rencong.
Pada satu kesempatan pertarungan, Malahayati menikam Cornelis de Houtman hingga tewas.
Pertarungan Malahayati dengan Cornelis de Houtman berlangsung di atas kapalnya (de Houtman) sendiri.
Pasukan Perang
Malahayati tercatat pernah memimpin pasukan sejumlah kurang lebih 2000 orang.
Pasukan yang dipimpin oleh Malahayati tidak hanya terdiri dari para tentara yang didominasi pria, namun juga perempuan, terutama janda yang ditinggal mati suaminya.
Pasukan tersebut bernama pasukan Inong Balee atau pasukan yang berasal dari perkumpulan para janda.
Pasukan Inong Balee yang dipimpin oleh Malahayati berperang dengan pasukan Belanda yang berada di Aceh pada tanggal 11 September 1599.
Pada mulanya, Inong Balee yang dipimpin oleh Malahayati berjumlah kurang lebih 1000 orang.
Namun kemudian bertambah menjadi 2000 orang pada perkembangannya.
Selain bertugas untuk mengelola pasukan, Malahayati juga mengawasi seluruh aktivitas pelabuhan dan syahbandar / bandar dagang di wilayah Aceh Darussalam.
Pengawasan tersebut juga berlaku bagi kapal-kapal yang keluar dan masuk.
Pada masanya, Kesultanan Aceh Darussalam pernah memiliki kurang lebih 100 buah kapal berukuran besar yang pada setiap masing-masing kapal dapat mengangkut lebih dari 400 penumpang.
Dalam persoalan strategi perang, Malahayati membangun pangkalan militer di Teluk Lamreh Krueng Raya.
Selain itu, Malahayati juga membangun benteng sekaligus menara pengawas di dekat daerah tersebut.
Salah satu benteng yang terkenal bernama Benteng Indrapatra yang berada di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya.[6]
Wafat & Penghargaan
Beberapa tahun setelah peristiwa pertempuran dengan pelaut Belanda, dalam peperangan melawan Portugis di Selat Malaka pada tahun 1604, Laksamana Malahayati gugur dalam pertempuran.
Malahayati dikebumikan di kaki Bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar.
Nama besar Malahayati selepas pertempuran tersebut diakui oleh bangsa-bangsa di Eropa. Salah satu buku yang menceritakan mengenai peristiwa itu adalah dari Marie van C. Zeggelen (1935) yang berjudul Oude Glorie.
Nama Malahayati juga telah diabadikan sebagai nama pelabuhan di Teluk Krueng Raya, Provinsi Aceh, dan nama Universitas di Bandar Lampung.
413 tahun setelah wafatnya Malahayati dalam pertempuran melawan Portugis di Selat Malaka, pada tahun 2017, Malahayati mendapat gelar pahlawan nasional dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 11/TK/Tahun 2017. [7]