Soal Razia Buku di Probolinggo, Najwa Shihab: Pelarangan Buku Adalah Kemubaziran Sempurna

Penulis: Widi Pradana Riswan Hermawan
Editor: Melia Istighfaroh
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Najwa Shihab kritik penangkapan dua pegiat literasi karena pajang buku DN Aidit di lapak baca gratis

TRIBUNNEWSWIKI.COM – Jurnalis senior, Najwa Shihab angkat bicara terkait aksi represif yang dilakukan aparat keamanan terhadap dua pegiat literasi di Probolinggo, Jawa Timur.

Dua pegiat literasi yang menggelar lapak baca gratis di Alun-alun Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur itu diamankan petugas karena kedapatan memajang buku tentang DN Aidit, Sabtu (27/7/2019).

Dua pegiat literasi yang ditangkap merupakan anggota Komunitas Vespa Literasi.

Satu orang bernama MN (24), warga Desa Jati Urip, Krejengan, sedangkan satu lagi bernama SA (25) warga Desa Bago, Besuk, Probolinggo.

Dikutip dari Kompas, Rabu (31/7/2019), keduanya diamankan karena empat buah buku yang dianggap pro terhadap komunisme di antaranya, Dua Wajah Dipa Nusantara, Menempuh Djalan Rakjat, DN Aidit Sebuah Biografi Rongkas, serta buku Sukarno, Maxisme, & Leninisme karya Peter Kasenda.

“Keempat eksemplar buku yang dinilai pro komunis itu diamankan. Selain buku, kedua pegiat literasi juga diamankan ke Mapolsek Kraksaan,” kata Kapolsek Kraksaan Kompol Joko Yuwono Minggu (28/7/2019).

Lebih lanjut, Joko Yuwono mengatakan bahwa buku-buku tersebut sudah dilarang di Indonesia, karena itu pihaknya mengamankannya.

Setelah diperiksa secara intensif, kedua pegiat literasi tersebut akhirnya dilepaskan.

Saat ini, pihak kepolisian masih terus melakukan pengembangan penyelidikan untuk mengetahui dari mana buku itu berasal.

Sementara itu, Komunitas Vespa Literasi merupakan sebuah komunitas yang diketuai oleh mahasiswa asal Desa Karanganyar, Paiton, Probolinggo, Abdul Haq.

Komunitas Vespa Literasi membuka lapak baca gratis di sekitar Alun-alun Kraksaan setiap Sabtu malam.

Najwa Shihab mengkritik keras aksi represif yang dilakukan kepada dua pegiat literasi tersebut.

Kritik itu ia sampaikan lewat akun media sosial Instagramnya, @najwashihab.

“Sungguh miris. Saya memahami sensitifitas yang menyelimuti isu komunisme dan peristiwa sejarah yang menyertainya pada tahun 1948 dan 1965.

Tapi menyikapi isu ini dengan pemberangusan buku adalah tindakan yang tidak tepat,” tulis Najwa.

Lebih lanjut, Najwa mengatakan bahwa negara lewat keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 sudah jelas mencabut kewenangan Kejaksaan Agung untuk melakukan pelarangan buku tanpa izin pengadilan.

Kegiatan penyitaan buku secara prinsipil menurut Najwa juga tidak sejalan dengan demokrasi yang menghargai perbedaan, kebebasan berpendapat, serta menjauhkan negara dari amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Tindakan ini bukan hanya keliru secara prinsip tapi secara praktik juga sia-sia,” lanjut Najwa.

Najwa juga mengatakan bahwa melarang membaca buku sama saja menghalangi upaya mencari, mengolah, dan menyikapi informasi dan pengetahuan secara bebas dan kritis.

Penyitaan buku juga dianggap sebagai usaha yang sia-sia, sebab di zaman teknologi digital setiap orang bisa mencari informasi dan mempelajari pengetahuan apa pun yang diinginkannya.

“Pelarangan buku adalah kemubaziran sempurna. Di tengah rendahnya minat baca, pelarangan buku adalah kemunduran luar biasa.

Indonesia bisa semakin tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang selalu terbuka kepada ide-ide baru dan pengetahuan-pengetahuan baru,” tutup Najwa.

Baca: 5 Zodiak Ini Paling Narsis dan Haus Perhatian, Kamu Termasuk?

Baca: D N Aidit

Sementara itu, Kepala Divisi Riset, Pengembangan, dan Kerjasama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Sahura juga ikut mengkritik aksi penyitaan buku oleh aparat tersebut.

Sahuri menilai tindakan yang dilakukan polisi merupakan tindakan sewenang-wenang dan melanggar hukum.

Senada dengan Najwa, Sahura mengatakan penyitaan buku tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), dimana untuk melakukan penyitaan buku harus melewati proses peradilan lebih dulu.

"Penyitaan terhadap buku-buku yang diduga melanggar peraturan perundang-undangan, harus dilakukan melalui proses peradilan, sebagaimana yang diperintahkan oleh putusan MK Nomor 20/PUU-VIII/2010. Artinya, penyitaan tanpa proses peradilan merupakan proses eksekusi ekstra yudisial yang ditentang oleh negara hukum," kata Sahura, Selasa (30/7/2019) seperti dikutip dari Kompas.

Lebih lanjut, penyitaan buku menurut Sahura telah mencederai hak kebebasan berpendapat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 E UUD 1945, bahwa kebebasan berpendapat khususnya dituangkan dalam bentuk produk akademik wajib dilindungi dan dijamin.

“Kami meminta polisi untuk segera mengembalikan buku-buku yang disita secara sewenang-wenang kepada Vespa Literasi,” tegas Sahura.

Selain itu, LBH Surabaya juga mendesak agar Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur mengambil langkah tegas, yakni menegur Kapolres Probolinggo, agar memberikan sanksi kepada Kapolsek Kraksaan, karena telah melakukan tindakan sewenang-wenang.

Sahura juha meminta kepada TNI supaya tidak ikut campur dalam proses penegakan hukum yang termasuk dalam ranah sipil.

(TribunnewsWIKI/Widi Hermawan)

Jangan lupa subscribe kanal Youtube TribunnewsWIKI Official



Penulis: Widi Pradana Riswan Hermawan
Editor: Melia Istighfaroh
BERITA TERKAIT

Berita Populer