Sejarah
TRIBUNNEWSWIKI.COM - Sarung adalah sepotong kain lebar yang pemakaiannya dengan cara dibebatkan pada pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh, yakni dari pinggang ke bawah.
Sarung berasal dari Yaman dan sering dipakai oleh suku badui di sana.
Saat itu sarung hanya berasal dari kain putih yang dicelupkan ke dalam neel pewarna bewarna hitam.
Setelah itu akhirnya penggunaan sarung meluas dari semenanjung Arab hingga Asia Selatan, Afrika dan Asia Tenggara.
Di Yaman sendiri, sarung disebut dengan futah, izaar, wazaar atau ma'awis.
Di Oman, sarung dikenal dengan nama wizaar dan di Arab Saudi dikenal dengan nama izaar.
Sejak saat itu sarung sudah menjadi pakaian tradisional di Yaman, hingga sekarang pun tradisi sarung masih melekat.
Sarung juga merupakan salah satu oleh-oleh tradisional khas dari Yaman.
Maka ketika orang-orang berkunjung ke Yaman, sarung merupakan buah tangan dari sana. (1)
Masuk di Indonesia
Sejarah sarung di Indonesia diperkirakan mulai pada abad ke 14 yang dibawa oleh pedagang Arab dan India.
Seiring berjalannya waktu, sarung menjadi identik dengan budaya Muslis di Indonesia dan mulai digunakan sehari-hari.
Namun, gaya busana berubah menjadi celana dan rok saat Belanda menguasai Indonesia.
Kelompok pertama kali memakai pakaian ala Belanda ini merupakan orang-orang Jawa yang mengenyam pendidikan Barat, seperti sekolah pelatihan guru kolonial, STOVIA dan para priyayi yang menjadi pegawai negeri pangkat rendah.
Setelah penerapan politik etis Belanda di awal abad 20, tren pakaian tersebut menyebar luas hingga semua pribumi mengenakan pakaian berupa celana panjang dan topi.
Seperti yang ditulis oleh Pangeran Djajadiningrat dari Kesultanan Banten, hingga tahun 1902, masyarakat Jawa masih memakai sarung, jas Jawa dan kain tutup kepala yang disebut destar.
Mereka juga masih memakai sandal kain sebagai alas.
Namun generasi tua masih beranggapan bahwa sarung dan Jawa tidak bisa dipisahkan.
Dan generasi muda sudah banyak yang mengenyam pendidikan Barat sehingga celana merupakan simbol kemajuan, kebebasan dan modernitas.
Pedagang juga tertarik dengan tren dan merasa pemakaian celana meringankan hubungan bisnis dengan orang Eropa dan Tionghoa.
Maka sekitar tahun 1910, pengusaha dari Batam bernama Haji Muhammad menyatakan bahwa sarung dan turban tak lagi efisien dipakai di tempat kerja.
Ia pun mengganti pakaiannya dengan celana panjang, jaket, kopiah dan sepatu.
Gaya berpakaian seperti itu diklaim mempermudah untuk berbisnis dengan orang asing.
Hingga lambat laun sarung menjadi pakaian yang ketinggalan zaman. (2)
Kondisi Saat Ini
Di beberapa daerah di Jawa Timur seperti Gresik dan Pasuruan, masih menganggap sarung sebagai elemen penting dari pakaian laki-laki.
Disana sarung masih digunakan ketika menghadiri momen tertentu seperti menghadiri shalat Jum'at, pesta pernikahan, atau khitanan.
Di beberapa daerah, pemakaian sarung juga dianggap sebagai simbol status.
Walaupun sarung sudah tidak begitu populer namun dipastikan hampir di setiap rumah penduduk Indonesia masih menyimpan sarung.
Bagi umat Islam, sarung biasanya dipakai untuk beribadah.
Beberapa orang juga memakainya sebagai selimut atau ayunan untuk bayi yang baru lahir.
Sarung juga dipakai ketika melakukan patroli untuk menjaga keamanan desa di malam hari untuk penghalau dinginnya angin malam.
Saat bantuan korban bencana alam, selain uang, makanan dan obat-obatan, masyarakat juga menyediakan sarung sebagai selimut.
Selain itu, sarung juga menjadi pakaian yang identik dengan momen membahagiakan seperti Idul Fitri.
Terbukti dengan meningkatnya angka penjualan sarung pada momen lebaran.
Sarung yang dianggap sebagai pakaian kelas bawah, kini kembali diangkat oleh perangcang Indonesia sebagai identitas nasional lewat kreasinya.
Bahkan para desainer kenamaan Indonesia, seperti Iwan Tirta, Ghea Panggabean, Asmoro Damais, Afif Syakur dan Carmanita, telah menyesuaikan dan mendaur ulang banyak motif dari seluruh Indonesia.
Sarung juga kadang menjadi dress code pada pesta mewah dan menjelma menjadi sesuatu yang eksotis dan modis.
Saat ini sarung telah menjadi pakaian yang menyatukan seluruh Bangsa Indonesia.
Sarung dapat ditemukan di seluruh Nusantara dan dipakai oleh seluruh lapisan masyarakat. (2)
Jenis
1. Sarung Ulos dari Sumatera Utara
Ulos merupakan khas dari Budaya Batak.
Kain Ulos pun bermacam-macam, dengan ragi atau motif sebagai pembeda.
Ulos Mangiring memiliki ragi saling beriringan yang melambangkan kesuburan dan kesepakatan.
Biasanya Ulos Mangining diberikan orang tua pada cucunya sebagai ulos Parompa.
Ulos Bintang Maratur memiliki ragi barisan bintang yang beraturan sebagai lambang orang yang patuh, tekun, setia, atau ikatan kekeluargaan.
Ulos ini diberikan untuk orang yang melahirkan anak pertama.
Ulos juga menjadi simbol penyalur berkat pada pengantin dan keluarganya atau disebut dengan prosesi "Mangulosi". (3)
2. Sarung Tenun Goyor dari Jawa Tengah
Sarung Tenun Goyor dari Jawa Tengah sudah terkenal hingga Timur Tengah.
Sarung ini dibuat dengan teknik tenun berseni tinggi dengan hasil yang tidak kaku, halus, dan memiliki beragam motif indah.
Terdapat dua jenis yaitu sarung tenun goyor botolan dan sarung tenun goyor werengan.
3. Sarung Tenun Poleng dari Bali
Sarung Poleng khas bali ini bermotif hitam putih.
Sarung ini adalah benda sakral bagi masyarakat Hindu, sehingga digunakan dalam upacara keagamaan dan penutup patung, pohon, atau sebagai umbul-umbul di jalan.
Poleng memiliki beberapa jenis, walau warna utamanya biasanya hitam dna putih.
Kain Rwabhineda berwarna putih dan hitam, sarung Poleng Sudhamala berwarna putih, abu-abu dan hitam, serta Tridatu yang berwarna putih, hitam, dan merah.
4. Sarung Tenun Samarinda dari Kalimantan Timur
Sarung Tenun Samarinda dikenal dengan sebutan sarung ikat.
Sarung ini diproses secara tradisional dengan memakai alat tenun yang disebut dengan “gedokan".
Dibutuhkan waktu 2-3 hari untuk membuat satu sarung tenun Samarinda ini.
Karena motif-motif geometris yang mendominasi sarung maka disebut sarung motif kotak-kotak.
Sarung ini sekarang mengalami perkembangan yaitu dibuat menjadi baju resmi, misalnya dibuat kemeja.
5. Sarung Sutera Bugis dari Sulawesi Selatan
Sarung Sutera Bugis digunakan untuk melengkapi penggunaan baju bodo maupun pakaian tradisional Bugis.
Sarung ini bermotif kotak-kotak dan garis-garis yang membentuk segitiga.
Dulunya, motif seperti ini untuk memperlihatkan bahwa sang pemilik sarung berarti sudah menikah atau masih lajang.
Perbedaannya biasanya terdapat nama dari setiap motif.
Motif Ballo Renni, merupakan motif kotak-kotak berukuran kecil dan berwarna cerah dipakai oleh wanita belum menikah.
Untuk motif Balo Lobang memiliki ukuran kotak lebih besar dengan warna merah terang atau merah keemasan untuk pria Bugis yang belum menikah.
Saat ini sarung sutera Bugis ini tidak hanya digunakan sebagai padanan baju bodo di upacara adat, namun juga dipakai dalam aktivitas sehari-hari.
Dan simbol sarung untuk menandakan seorang lajang atau sudah menikah sudah tidak berlau lagi. (4)
Jangan lupa subscribe channel Youtube TribunnewsWiki